Resesi AS yang Tak Kunjung Datang
Pola pemulihan ekonomi AS berbeda dari pemahaman konvensional tentang relasi antara pertumbuhan, pengangguran, dan inflasi. Data terkini di AS berbeda dari peringatan beberapa CEO dan ekonom sebelumnya soal resesi.

Dalam situasi inflasi tinggi, strategi pendaratan keras atau hard landing merupakan satu alternatif untuk mendinginkan perekonomian dengan memaksakan resesi (Persson dan Tabellini, 1994). Dalam hal ini, instrumen yang digunakan adalah suku bunga acuan.
Risikonya, bukan memperhalus siklus bisnis, melainkan malah membuat perekonomian makin berfluktuasi. Perekonomian yang resesi menjadi semakin terpuruk atau inflasi yang sudah tinggi semakin tinggi.
Hal ini terkait dengan penentuan waktu (timing) kebijakan karena pelaku ekonomi di tingkat mikro yang mempunyai ekspektasi tersendiri memberi respons setelah membaca sinyal makroekonomi bank sentral Amerika Serikat (The Fed).
Ekspektasi dapat saja berubah akibat suatu shock pada perekonomian, seperti pandemi dan ketegangan geopolitik. Shock tersebut menyebabkan gangguan atau perubahan dalam rantai pasokan dunia. Akibatnya, timbul pola perilaku yang berbeda dari catatan historis.
Risikonya, bukan memperhalus siklus bisnis, melainkan malah membuat perekonomian makin berfluktuasi.
Tidak konvensional
Pola pemulihan ekonomi AS berbeda dari pemahaman konvensional tentang relasi antara pertumbuhan, pengangguran, dan inflasi. Data terkini di AS berbeda dari peringatan beberapa CEO dan ekonom soal resesi pada paruh kedua 2023.
The Fed pada 14 Juni 2023 memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di tingkat 5 persen setelah dalam sepuluh kali pertemuan sebelumnya selalu menaikkannya. Indeks dollar AS melemah ke kisaran 100 karena ekspektasi kenaikan suku bunga pada Juli adalah untuk terakhir kalinya. Namun, hal yang menarik, tanpa kenaikan suku bunga acuan, inflasi tetap turun menjadi 2,97 persen pada Juni dari 4,05 persen pada bulan sebelumnya.

Sementara itu, angka pengangguran tetap di bawah 4 persen. Biro Statistik AS juga mengumumkan pertumbuhan AS pada triwulan I-2023 setelah dikoreksi adalah 2 persen, jauh dari definisi resesi. Salah satu faktor penting adalah tetap kuatnya aktivitas di sektor jasa.
Turunnya inflasi dan resesi yang tak kunjung datang tecermin dari indeks keyakinan konsumen terkini pada Juli. Angkanya melonjak drastis menjadi 72,6 dari 64,4 pada Juni. Masyarakat pun lebih optimistis terhadap masa depan perekonomian AS.
Prediksi survei resesi yang dilakukan The Wall Street Journal (WSJ) pada 69 ekonom bereputasi di AS juga berubah (Torry dan Debarros, WSJ, Juli 2023). Peluang resesi dalam 12 bulan ke depan menurun ke 54 persen dari 61 persen dalam survei sebelumnya. Pemenang Nobel Ekonomi, Paul Krugman, juga mengatakan, peluang AS untuk menghindari resesi tanpa hard landing sudah dalam jangkauan (Business Insider, Juli, 2023).
Sementara itu, institusi keuangan Goldman-Sach memangkas peluang resesi dari 35 persen ke 25 persen. Jikapun terjadi resesi, akan bersifat lunak (mild). Namun, pandangan hawkish bahwa tetap diperlukan resesi untuk menurunkan inflasi tidak hilang begitu saja. Tim ekonom dari Well Fargo, misalnya, ”memundurkan” jadwal resesi ke awal 2024.
Baca juga: Interaksi Ekspektasi dan Dilema Kebijakan

Para pialang saham di bursa efek New York, Amerika Serikat, mengamati siaran konferensi pers Gubernur Bank Sentral AS (The Fed) Jerome Powell setelah pengumuman suku bunga acuan The Fed di New York, Rabu, 1 Februari 2023.
Manufaktur dan jasa
Pola menarik lain adalah perbedaan pemulihan antara sektor manufaktur dan jasa. Ini terlihat dari besaran Purchasing Managers’ Index (PMI) sektor manufaktur di AS pada Mei dan Juni yang berturut-turut kembali ke zona kontraksi pada 48,5 dan 46,3. Padahal, pada April berada di zona ekspansi 50,2.
Di sisi lain, PMI sektor jasa secara konsisten berada di zona ekspansi (di atas 50) sejak Februari 2023. Ini disebabkan oleh revenge traveling dari masyarakat dan juga fragmentasi rantai pasokan manufaktur dunia akibat pandemi. Selain itu, juga dipengaruhi perubahan geopolitik dunia, termasuk konflik Ukraina-Rusia dan ketegangan hubungan AS-China. Di lain pihak, masyarakat juga cenderung menunda pembelian barang tahan lama manufaktur karena tingginya bunga kredit.
Walaupun prospek perekonomian AS membaik, pemulihan global masih tetap diliputi ketidakpastian karena situasi di lokomotif dunia yang lain. China menunjukkan pemulihan pascapandemi dengan pertumbuhan 6,3 persen pada triwulan II-2023, tetapi masih di bawah ekspektasi 7,3 persen.
Pertumbuhan sektor eceran di China melandai pada Juni. Produksi industri mulai menunjukkan akselerasi meskipun di bawah target. Pengangguran di perkotaan mencapai 5,2 persen. Sementara pengangguran kaum muda tercatat 21,3 persen. PMI manufaktur China naik tipis antara Mei dan Juni, dari 48,8 ke 49,4, tetapi tetap berada di zona kontraksi.
Data PMI menunjukkan zona euro masuk dalam resesi. Indeks PMI komposit turun dari 52,8 pada Mei ke 49,9 pada bulan Juni. Turunnya indeks ini terjadi karena kontraksi tajam di sektor produksi. Sektor manufaktur berada semakin dalam di zona kontraksi dengan turunnya indeks PMI dari 44,8 pada Mei ke 43,4 pada Juni. Penurunan tajam ini mengakibatkan indeks PMI di sektor jasa yang masih berada di zona ekspansi dengan besaran 52 pada Juni tidak mampu membuat indeks komposit PMI zona euro tetap bertahan di zona ekspansi.
Pertumbuhan sektor eceran di China melandai pada Juni. Produksi industri mulai menunjukkan akselerasi meskipun di bawah target.
Dampak dalam negeri
Dampak dari situasi global di atas terlihat dari data PMI untuk sektor manufaktur dunia yang turun dari 49,6 pada Mei ke 48,8 pada Juni. Transmisi situasi global di atas terjadi melalui ekspor-impor dan kurs rupiah. Ekspor kembali ke pertumbuhan negatif secara tahunan pada Juni sebesar minus 21,8 persen setelah tercatat positif tipis pada Mei sebesar 0,96 persen.
Baca juga: Prospek Konservatif Pertumbuhan Ekonomi Dunia
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F07%2F20%2Fb8e04f34-c9fc-4056-af5a-500677fca23e_jpg.jpg)
Kapal tunda dan kapal pandu membantu kapal barang untuk meningalkan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, usai melakukan bongkar muat peti kemas, Kamis (20/7/2023).
Kandungan impor yang signifikan dari ekspor membuat impor ikut terkontraksi. Setelah pertumbuhan tahunan naik 14,35 persen pada Mei, impor kembali tercatat minus 18,35 persen pada Juni. Terkesan melawan intuisi, pelemahan ekspor-impor membuat surplus neraca dagang meningkat dari 0,43 miliar dollar AS pada Mei menjadi 3,45 miliar dollar AS pada Juni. Diharapkan hal ini dapat ikut menopang nilai tukar rupiah.
Bersama dengan dampak pelemahan indeks dollar AS, nilai tukar rupiah kembali berada sedikit di bawah Rp 15.000 per dollar AS setelah sempat mendekati Rp 15.200. Ini berpotensi menurunkan ekspektasi inflasi di waktu mendatang karena imported inflation yang turun sehingga mendukung daya beli dalam negeri.
Resiliensi daya beli tecermin dari perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen publikasi Bank Indonesia, yang sejak Januari 2023 selalu di atas 120. Yang menarik, indeks ekspektasi pembelian barang tahan lama turun dari 110,2 pada Mei ke 107,7 pada bulan Juni walaupun tetap dalam zona optimistis (di atas 100). Hal ini mungkin karena adanya sedikit pergeseran ke keperluan mobilitas pada waktu liburan.
Resiliensi daya beli tecermin dari perkembangan Indeks Keyakinan Konsumen publikasi Bank Indonesia, yang sejak Januari 2023 selalu di atas 120.
Tren ini juga tampak dari rata-rata proporsi pendapatan konsumen untuk dibelanjakan (average propensity to consume) yang konsisten di atas 75 persen sejak Februari 2023. Tercatat, naik dari 75,4 persen pada Mei ke 75,7 persen pada Juni.
Akumulasi tabungan tetap terjadi dengan kecenderungan menabung (average propensity to save) yang turun tipis dari 15,7 persen ke 15,3 persen untuk membiayai pengeluaran ekstra di beberapa liburan hari raya yang lalu. Dampaknya, angka PMI Indonesia naik ke 52,5 pada Juni dari 50,3 di bulan sebelumnya. Ini merupakan potensi pertumbuhan di triwulan mendatang.
*Ari Kuncoro, Rektor Universitas Indonesia