Kita membutuhkan kepemimpinan dan pemerintahan yang kuat dan tegas untuk mengatasi masalah fundamental bangsa: korupsi sistemik, kualitas SDM yang memprihatinkan, hingga ancaman krisis pangan dan energi berkelanjutan.
Oleh
SUWIDI TONO
·6 menit baca
Semasa Depresi Besar 1930-an dan menjelang Perang Dunia II, para tokoh pergerakan kemerdekaan jeli membaca tanda-tanda bakal timbul perang dahsyat di Pasifik. Kecerdasan mencermati konstelasi geopolitik dan geoekonomi dunia pada era itu tersurat dalam risalah Tan Malaka: Naar de Republiek Indonesie (Menuju Republik Indonesia) tahun 1925, pidato inaugurasi Bung Hatta sebagai Ketua Perhimpunan Indonesia di Belanda: ”Bangun Ekonomi Dunia dan Pertentangan-pertentangan Kekuasaan” tahun 1926, dan ikhtisar Bung Karno: ”Mencapai Indonesia Merdeka”, tahun 1933.
Kecerdikan pemuda terpelajar menelaah kegentingan situasi dunia pada saat itu sekaligus menyiasatinya untuk kepentingan bangsa mengejawantah dalam menyusun strategi perjuangan meraih kemerdekaan. Perihal ini dijelaskan Ben Anderson dalam tesisnya: Revolusi Pemoeda, 1972: ”Revolusi Indonesia tidak digerakkan oleh kaum intelektual yang tersisihkan (alienated intellectual), juga bukan oleh kelas tertindas (oppressed classes), namun oleh pemuda terdidik yang memiliki kesadaran tinggi atas kondisi bangsanya”.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Pahami informasi seputar pemilu 2024 dari berbagai sajian berita seperti video, opini, Survei Litbang Kompas, dan konten lainnya.
Kita sekarang dihadapkan kepada situasi darurat dan tantangan berat yang membelenggu gerak kemajuan bangsa. Negara dirongrong korupsi sistemik, kualitas sumber daya manusia memprihatinkan, demokrasi semu, krisis hukum dan keadilan, serta ancaman krisis pangan dan energi berkelanjutan.
Pada 1970, Indonesia dan Korea Selatan—merdeka 15 Agustus 1945—tercatat memiliki pendapatan per kapita setara, yaitu sekitar 70 dollar AS. Kedua negara sama-sama mengalami periode panjang era rezim otoritarian dan kemudian merengkuh era kebebasan, tetapi menggapai tingkat kemajuan jauh berbeda. Tahun 2022, pendapatan per kapita Korsel melonjak jadi 34.983 dollar AS dan tergabung dalam kelompok negara maju, berbanding Indonesia 4.783 dollar AS dan terus dibayang-bayangi kekhawatiran jebakan pendapatan kelas menengah (middle income trap).
Melalui analogi dan latar sejarah ini, kita berharap angkatan muda pembaru dapat memetik pelajaran, sanggup memikul tanggung jawab guna merespons tantangan berat itu dan mengubahnya menjadi momentum besar untuk menggerakkan perubahan.
Korupsi sistemik
Setelah 25 tahun reformasi, pencegahan dan pemberantasan korupsi, kolusi, nepotisme (KKN) dapat disimpulkan jalan di tempat. Bahkan, pada 2022 Indeks Persepsi Korupsi mencatat skor terendah dan terburuk sepanjang era reformasi sebagaimana dirilis Transparency International. Ironisnya, KKN berkembang biak seiring keterbukaan sistem politik yang ditandai dengan demokrasi multipartai. Kondisi ini merefleksikan tidak bekerjanya check and balance dalam praktik demokrasi.
Kita tidak punya banyak pilihan untuk menjinakkan kanker ganas korupsi tanpa political will dan konsensus bersama yang tegas. Hanya ada dua opsi guna mencegah korupsi yang telanjur meluas dan mengakar ke semua sektor. Opsi pertama memastikan bekerjanya praktik tata kelola seharusnya (good governance) pada semua institusi negara. Akar penyebab korupsi sudah lama diketahui dan diinventarisasi. Hakikatnya mencakup kelemahan mendasar desain perencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kebijakan.
Sejumlah studi dan hasil evaluasi menunjuk pada beberapa variabel pokok penyebab korupsi, yaitu remunerasi birokrasi tidak wajar, pendanaan parpol tidak transparan, sistem pengadaan barang dan jasa rawan penyalahgunaan, audit output dan serapan anggaran lebih mengemuka ketimbang audit outcome, penegakan hukum bagi koruptor lemah dan tidak menimbulkan efek jera, merajalelanya mafia terutama di sektor perdagangan dan industri, absennya pembuktian terbalik (illicit enrichment), dan tidak adanya sanksi perampasan aset atau pemiskinan koruptor.
Kita tidak punya banyak pilihan untuk menjinakkan kanker ganas korupsi tanpa political will dan konsensus bersama yang tegas.
Pilihan menegakkan good governance akan menemui jalan terjal karena tidak kompatibel dengan realitas obyektif. Produk legislasi, perundang-undangan dikontrol dan dikendalikan oleh kepentingan parpol di parlemen. Dengan kata lain, korupsi sulit dicegah dan diberantas akibat sedari awal sudah bermasalah secara regulasi dan kelembagaan.
Opsi kedua dengan menempuh jalan ”radikal”, tetapi efektif mencegah berulangnya tindak pidana korupsi skala masif. Negara mencanangkan perlawanan total terhadap korupsi dengan mengedepankan prinsip enough is enough. Tutup lembaran lama (berhenti mempersoalkan kasus), buka halaman baru yang tidak lagi mentoleransi korupsi dengan ancaman sanksi sangat berat. Apa pun yang dipilih, kedua opsi itu membutuhkan kepemimpinan dan pemerintahan yang kuat dan tegas.
SDM memprihatinkan
Gambaran umum kualitas sumber daya manusia (SDM) bangsa harus diakui tidak cukup membersitkan optimisme. Potret situasi ketenagakerjaan terbaru (BPS, 2023) mengonfirmasi 59 persen tenaga kerja di sektor formal hanya lulusan tingkat SMP ke bawah (39,76 tamat SD dan 18,24 persen tamat SMP).
Kita juga harus menghadapi kenyataan tingginya prevalensi anak tengkes (stunting) akibat defisiensi nutrisi esensial sebesar 21,7 persen tahun 2022 dari 4,8 juta kelahiran bayi dan 15.000 kematian ibu saat melahirkan. Kendati prevalensi tengkes turun dari 23,4 persen tahun 2021, angka itu masih tergolong sangat tinggi.
Selain itu, rendahnya literasi, kemampuan menguasai matematika dan sains pada anak-anak usia sekolah seperti terekam pada data Programme for International Studens Assessment yang dirilis OECD sejak 2000 dan tiadanya intervensi negara pada pendidikan anak usia dini (PAUD) menunjukkan absennya kebijakan mendasar di hulu sehingga terus-menerus menciptakan problem besar di hilir. Semua data dan fakta ini memberi petunjuk mengkhawatirkan di tengah harapan memetik manfaat bonus demografi.
Praktik perdagangan ilegal manusia yang terus terjadi, krisis enterpreneurship, dan rendahnya inovasi, merupakan hasil sekaligus bukti dari kurangnya komitmen dan kebijakan terencana dalam membangun SDM berkualitas unggul. Pada skala makro, tren deindustrialialisasi yang ditandai regresi industri manufaktur (penurunan kontribusi industri manufaktur) dan pertumbuhan ekonomi yang kurang optimal menyerap angkatan kerja, menegaskan kelalaian menyiapkan faktor pendukung strategis itu.
Demokrasi semu
Esensi demokrasi sejati adalah tegak dan bekerjanya daulat rakyat. Sistem dan praktik politik harus memastikan dan berpedoman kepada teorema ini. Apabila praktik dan realitas demokrasi mengingkari pemenuhan asas deliberasi publik, cepat atau lambat akan menjemput keruntuhannya. Petunjuknya cukup jelas, dalam sejumlah survei sejak lama diketahui kepercayaan publik terhadap parpol sangat rendah.
Sejak Reformasi 1998, sudah berlangsung lima kali pemilu dengan anggaran yang terus meningkat. Pada 1999 anggaran pemilu sebesar Rp 1,3 triliun, selanjutnya Rp 4,45 triliun pada 2004, Rp 8,5 triliun pada 2009, Rp 15,62 triliun pada 2014, dan Rp 25,59 triliun pada 2019. Tahun 2024 biaya pemilu dianggarkan Rp 76,6 triliun. Ironisnya, selama 2015-2022, sebanyak 90 kepala daerah (gubernur, bupati, wali kota) dari semua parpol terjerat korupsi.
Kontestasi elektoral sarat transaksi dan berbiaya tinggi menjerumuskan demokrasi hanya sebagai ajang pertarungan modal dan kepentingan. Dalam keriuhan ritual demokrasi prosedural lima tahunan bercorak hiperliberal dan mengandung cacat sistemik itu mustahil mewujudkan tujuan berbangsa dan bernegara seperti dipesankan para pendiri republik.
Krisis hukum dan keadilan
Dalam ekosistem politik tidak sehat dan kolutif, keadilan semakin menjauh. Pelayanan, perlindungan, dan pemenuhan hak-hak dasar rakyat terpinggirkan. Merajalelanya mafia tanah, tambang, perdagangan manusia, pupuk, pangan, peradilan, pajak, dan lainnya demikian meruyak.
Kompilasi data berupa ratusan bahkan ribuan kasus di seluruh tanah air yang melibatkan kolusi penguasa-pemodal-aparat ibarat ”gunung es” dan mengendap dalam ingatan kolektif rakyat.
Kondisinya semakin menyedihkan manakala institusi penjaga benteng keadilan terakhir, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi justru terlibat dalam konflik kepentingan.
Memudarnya marwah keadilan dalam penegakan hukum karena kentalnya konflik kepentingan, intervensi politik dan kekuasaan, menafikan eksistensi negara yang menjunjung tinggi supremasi hukum.
Kondisinya semakin menyedihkan manakala institusi penjaga benteng keadilan terakhir, Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi justru terlibat dalam konflik kepentingan. Fakta bahwa berulang kali hakim MA dan MK tersandung korupsi, cukup membuktikan bahwa lembaga tinggi negara itu tidak steril dari pengaruh kekuasaan dan modal. Reformasi hukum menjadi kebutuhan mendesak dan tidak dapat ditunda lagi.
Krisis pangan dan energi
Struktur dan produksi pangan nasional mengkhawatirkan apabila tidak ditempuh kebijakan mendasar untuk mengamankan stok secara berkesinambungan. Jantung masalah produksi adalah harga pokok input dan kelembagaan di tingkat petani. Jika pendekatan atas akar masalah ini tidak diselesaikan, kerawanan pangan akan terus membayangi. Indeks pendapatan rumah tangga petani yang awet di bawah indeks pendapatan non-pertanian merupakan bukti bahwa tujuan menggenjot produksi tidak simetris dengan peningkatan kesejahteraan petani.
Dalam kaitan dengan krisis energi, isyarat net importer borrower sudah diingatkan jauh hari, sejak era 1970-an. Antisipasinya sangat lamban dalam tekanan laju konsumsi energi yang semakin melonjak. Data terakhir menyebutkan, jumlah kendaraan bermotor di Indonesia mencapai 150,7 juta unit (123, 377 juta unit di antaranya kendaraan bermotor roda dua dan hampir 21 juta mobil pribadi).
Jumlah pelanggan listrik PLN mencapai 82,54 juta dan 91 persen di antaranya konsumen rumah tangga. Konsumsi BBM harian nasional—menurut Kementerian ESDM—mencapai rata-rata 800.000 barrel atau setara Rp 1,2 triliun. Kenaikan harga BBM di pasar dunia secara langsung membebani APBN, memicu inflasi, dan menggerus pendapatan masyarakat. Pengembangan energi alternatif nonfosil tidak menunjukkan upaya besar transformasi energi. Sumber energi potensial dan melimpah seperti panas bumi (geothermal) belum dimanfaatkan optimal.
Lima problem fundamental tersebut membutuhkan peta jalan penyelesaian terukur. Jika para pemimpin (pusat dan daerah), wakil-wakil rakyat dan parpol bersatu untuk mengatasi masalah mendasar itu atau bersama-sama meletakkan pijakan yang kokoh untuk memulai kerja besar, kita boleh optimistis bahwa semangat reformasi 1998 tidak dikorupsi. Sebaliknya, apabila para pemangku kepentingan hasil Pemilu 2024 menganggap problem itu ”biasa-biasa saja”, kita patut khawatir atas kelangsungan republik dan nasib generasi penerus.
Suwidi Tono, Koordinator Forum “Menjadi Indonesia”