Politik Transisi Energi Bersih
Transisi energi bersih menjadi isu global yang marak digaungkan. Namun, proses ke sana tidak mudah karena kita tidak pernah berhasil menyelesaikan jalur atau wilayah politik. Perlu ada terobosan baru.
Insentif yang diberikan kepada perilaku energi terbarukan dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik dan instruksi mobil dinas berupa mobil listrik merupakan perkembangan baru dari proses transisi energi. Kebijakan ini merupakan upaya serius pemerintah dalam melepaskan diri dari ketergantungan dunia pada energi fosil yang melahirkan krisis energi dunia.
Krisis energi dunia diperparah perang Rusia-Ukraina yang menyebabkan negara-negara Eropa kelimpungan memenuhi pasokan energi untuk kepentingan domestik. Selain itu, sistem ekonomi dunia yang terintegrasi ini juga melahirkan dampak negatif kepada negara-negara Asia termasuk Indonesia.
Hari ini semua warga dunia sangat bergantung dengan pasokan energi. Tidak ada kehidupan dan urat nadi perekonomian yang steril dari energi, utamanya bahan bakar fosil. Baik untuk urusan domestik maupun industri, manusia menggantungkan kepada energi fosil tersebut.
Baca juga: Keberlanjutan Transisi Energi
Baca juga: Energi Fosil Mendorong Ketidakpastian Ekonomi
Berbeda dengan masyarakat pra-industri yang masih bergantung kepada alam dan hidup subsisten, kita masuk pada abad ketergantungan. Semua alat yang mempermudah kehidupan manusia dipasok oleh energi, maka sama dengan pasokan makanan, menipisnya cadangan energi pasti mengganggu stabilitas manusia.
Belum lagi, bencana iklim mengganggu pasokan energi tersebut. Seperti sumber daya air diandalkan sebagai pengganti batubara untuk memasok listrik, tetapi apa jadinya jika sungai-sungai kering karena ketidakstabilan iklim.
Tidak heran, isu seperti ketahanan dan ketidakadilan energi menggaung keras sebagai semacam solidaritas untuk menyelamatkan warga bumi. Semua penghuni, baik pengambil kebijakan maupun masyarakat kebanyakan, harus mengubah perilaku ekologis selama ini pada konsumsi sumber-sumber energi baru dan terbaharukan.
Dilema peradaban
Transisi energi menemukan dilema karena perkembangan umat manusia ditentukan oleh modernisasi yang ”galak” kepada lingkungan. Modernisasi bukan perubahan sosial yang netral, tetapi terpelihara oleh jejaring ekonomi politik global yang terbentuk sudah puluhan tahun sejak revolusi menjadi cara hidup manusia.
Jalinan struktural ini memfasilitasi ”prestasi” manusia serakah pada penaklukan alam. Sistem neoliberalisme dan berkembangnya korporasi transglobal yang agresif membangun industri-industri besar. Industri ini bertumpu pada energi fosil yang sulit melepaskan dari ketergantungan tersebut.
Transisi energi menemukan dilema karena perkembangan umat manusia ditentukan oleh modernisasi yang ”galak” kepada lingkungan.
Baru pada tahun 1972 dalam Konferensi bertajuk ”United Nations Conference on the Human Environment”, komunitas dunia menyadari kondisi-kondisi sumber daya alam yang kian menipis (Yoesgiantoro, 2017). Isu ini kemudian berkembang pada menipisnya cadangan energi, ketidakmerataan industrialisasi antarbangsa dan kesenjangan energi dan dampak langsung dari perubahan iklim.
Dalam How to Avoid A Climate Disaster: Solusi yang Kita Miliki dan Terobosan yang Kita Perlukan (2021), Gates menyatakan, bencana hidrometerologis terjadi sebagai akibat perubahan iklim dan konsumsi energi fosil yang melampaui daya dukung.
Kini, perang Rusia dengan Ukraina membelalakkan mata dunia. Ketergantungan Eropa kepada energi fosil dari Rusia menyadarkan bahwa pasokan energi termasuk instrumen kekuasaan satu negara dalam menundukkan negara lain. Tidak berhenti di situ, kondisi ini juga memicu kemunculan krisis ekonomi, inflasi, dan bahkan gejolak politik yang lain.
Baca juga: Perang Ukraina-Rusia Mengakslerasi Transisi Energi Di Eropa
Baca juga: Invasi Rusia dan Energi yang Dipersenjatai
Sebenarnya transisi ke energi bersih atau EBT (energi baru terbarukan) sebagai solusi untuk mengatasi dilema tersebut. Ketergantungan bisa dilepaskan jika setiap negara memiliki kemandirian EBT. Tetapi, langkah ke sana tampaknya tidak mudah. Salah satu sebabnya, kebijakan ini akan berhadapan dengan negara-negara pro-energi fosil yang terintegrasi sistem ekonomi dunia.
Dengan demikian, transisi energi tidak sekadar jargon normatif atau komitmen antara menyelamatkan atau tidak menyelamatkan bumi. Di dalamnya terdapat benturan kepentingan dan pertaruhan terkait dampak pada pertumbuhan ekonomi dan teknologi negara adikuasa. Tata kelola global (global governance) belum mampu diandalkan untuk mengatur keseimbangan itu.
Kesadaran bersama
Diperlukan langkah-langkah strategis untuk mendukung berjalannya transisi energi global, yang penulis singkatkan sebagai berikut. Pertama, kebijakan sebagai senjata. Kebijakan dirancang untuk memfasilitasi dan mendorong pengarusutamaan energi-energi baru terbarukan terutama pada bidang industri. Indonesia dikenal memiliki sumber daya alam yang berlimpah yang bisa dimaksimalkan.
Kebijakan global sudah mendukung, seperti ratifikasi Paris Agreement yang diperkuat oleh Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to The United Nations Framework Convention On Climate Change (Persetujuan Paris atas Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa-Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) memfasilitasi terciptanya transisi. Pengembangan ekonomi hijau merupakan kebijakan global demi transisi energi bersama yang lebih ramah lingkungan. Terbuka peluang bahwa proyek-proyek yang memanfaatkan energi bersih digenjot.
Pelaku industri besar menjadi sasaran utama, pada sisi lain masyarakat bawah diminta untuk mengembangkan EBT berbasis komunitas melalui sumber daya alam di sekitar sebagai sumber daya alternatif. Di sinilah kita membutuhkan perbaikan kebijakan, implementasi, kelembagaan, platform, roadmap, dan kepastian kebijakan (Lestari, 2020). Kini kita lihat bagaimana output dan outcome buah pelaksanaan kebijakan ini. Sudahkah menghasilkan progres positif atau masih jalan merayap?
Baca juga: Sublimasi Paradigma Energi Bersih
Kedua, kerja terukur. EBT yang tersedia di Indonesia sudah diidentifikasi oleh pemerintah. Juga kita memiliki skema dan platform pengurangan dan target-target bauran. Penetapan ukuran yang memfasilitasi ketahanan energi sudah menjadi kebijakan negara, pemerintah sudah menjanjikan perubahan-perubahan tertentu.
Angka menjadi tidak mudah karena pengambil kebijakan dan pelaku industri dengan dukungan modal dan kekuasaan yang terlibat pada target ini tidak hanya satu. Jelas kepentingan dari berbagai pemangku kepentingan tidak sama dan tidak sedikit yang bertabrakan.
Meskipun demikian, otoritas dan kekuasaan negara mampu melakukan tekanan-tekanan agar semua pihak benar-benar serius. Perlu perubahan dari pengelolaan lingkungan atur sendiri menjadi reward dan punishment yang memberi kesempatan, apresiasi, dan hukuman pada banyak pihak yang mampu memanfaatkan energi terbarukan (Suwignyo, 2022).
Ketiga, menata relasi kuasa. Kita masih memasuki ilusi kebijakan mengingat hari ini wujudnya masih sedikit. Sekalipun pada praktik-praktik lokal sudah terlihat, seperti: PLTMH (pembangkit listrik tenaga mikrohidro) sudah dikembangkan di desa-desa tertentu, energi biogas dihasilkan dari pengelolaan sampah, dan produksi mobil listrik sudah masuk dalam ranah global.
Persoalan mendasar dari perubahan perilaku ialah relasi kuasa baik dalam ranah nasional maupun ketimpangan global. Negara yang memiliki energi besar bisa mengancam keberadaan negara berkembang/miskin yang masih bergantung kepada energi fosil.
Dari sinilah, kampanye energi baru terbarukan tidak akan ada artinya karena kekuasaan menjadi batu sandungan ke arah sana. Transisi energi bukan disebabkan kendala kultural karena aktor-aktor tidak tahu atau tidak sadar tentang ancaman bumi, tetapi transisi energi melibatkan benturan kekuasaan bahkan paksaan dari kelompok pemilik modal.
Baca juga: Energi Bersih Penopang Menjadi Negara Industri Maju
Keempat, menyiapkan katup penyelamat. Transisi energi sama halnya dengan rekayasa sosial masyarakat global. Banyak sekali perubahan yang tidak berlangsung secara revolusioner, tetapi melalui tahapan-tahapan tertentu. Optimisme menyatakan sebagai kecenderungan positif tren dunia, seperti larisnya mobil listrik di Norwegia (Harinowo & Khaidir, 2022). Dan, kita pasti mengalami kondisi anomi berupa lahirnya krisis ekonomi dan krisis sosial sebagai imbas transisi energi.
Krisis sosial dan pergolakan atau pembangkangan sipil akan merusak capaian-capaian peradaban manusia. Ia akan memperparah krisis multidimensi yang sebelumnya ada dan dihadapi hari ini. Kenaikan harga BBM Global pasti menambah beban berat penderitaan masyarakat miskin. Selain itu, berbagai gejolak akan mewarnai kota, di sinilah katup penyelamat (safety valve) dioptimalkan. Katup penyelamat ini mampu meminimalkan dampak sosial akibat dari energi. Komitmen maupun otoritas dari sistem politik ekonomi negara tinggal dimainkan.
Rachmad K Dwi Susilo, Dosen Politik Lingkungan pada Program Studi Hubungan Internasional Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Malang (UMM); PhD lulusan Public Policy and Social Governance, Hosei University, Tokyo, Jepang