Menanti Kehadiran Bursa Karbon
Pembentukan bursa karbon tidak boleh menjadi media "greenwashing" akibat "carbon offset", di mana perusahaan seolah telah berkontribusi menurunkan emisi karbon, padahal masih menyumbang emisi secara besar-besaran.
Indonesia kini bersiap untuk memasuki babak baru dalam perdagangan karbon.
Meski bukan menjadi yang pertama di Asia, kehadiran bursa karbon di Indonesia telah dinanti banyak pihak. Pemerintah menargetkan perdagangan perdana bursa karbon dalam negeri dapat dilaksanakan September mendatang.
Saat ini telah ada banyak bursa karbon di dunia. Uni Eropa memulai sejak 2006, Swiss sejak 2008, dan Korea Selatan 2015. Negara tetangga kita, Singapura dan Malaysia, juga baru saja mendirikan bursa karbon. Kondisi ini tak menyurutkan niat pemerintah untuk membentuk bursa karbon di Indonesia.
Pemerintah menangkap peluang besar dari penyelenggaraan bursa karbon karena banyaknya manfaat yang akan diperoleh, seperti peningkatan devisa negara, pendapatan pajak karbon, hingga terbukanya peluang ekonomi baru.
Ada alasan untuk optimistis bahwa Indonesia mampu menjadi hub dalam perdagangan karbon di dunia jika melihat modal awal berupa potensi sumber daya alam, seperti hutan tropis, mangrove, dan gambut yang sangat luas.
Baca juga : Perdagangan Karbon Hanya di Bursa Karbon Indonesia
Baca juga : Pasar Karbon Mengakselerasi Dekarbonisasi Global
Komitmen pemerintah
Keberadaan bursa karbon ini menandai komitmen pemerintah dalam mendorong penurunan emisi karbon di sektor pembangkit listrik, transportasi, dan dekarbonisasi industri. Pemerintah telah meratifikasi Kesepakatan Paris melalui Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2016 tentang Pengesahan Paris Agreement to the United Nations Framework Convention on Climate Change.
Dalam kerangka ini, kita berkomitmen mencapai Target Nasional Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (Nationally Determined Contribution/NDC) di 2030, sebesar 29 persen secara mandiri, dan 41 persen dengan dukungan internasional dari Baseline Business as Usual.
Usaha pencapaian target NDC dan Net Zero Emission termuat dalam Perpres No 98/2021 bertanggal 29 Oktober 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon untuk Pencapaian Target Kontribusi yang Ditetapkan Secara Nasional dan Pengendalian Emisi Karbon dalam Pembangunan Nasional.
Perpres No 98/2021 memuat ketentuan implementasi penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon, yang salah satunya dilakukan dengan skema perdagangan karbon yang terdiri atas Perdagangan Emisi Karbon (Cap and Trade/Emission Trading System) dan Pengimbangan Emisi Gas Rumah Kaca (Carbon Offset).
Diterbitkannya UU No 4/2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK) semakin memperkuat dan memperjelas amanat pembentukan bursa karbon di Indonesia. Dinyatakan bahwa pelaksanaan tugas perizinan, pengaturan, dan pengawasannya dilaksanakan otoritas independen, yaitu Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Tantangan dan regulasi
Di samping peluang dan manfaat, tentu ada berbagai tantangan dalam penyelenggaraan bursa karbon. Sejumlah pelajaran dari bursa karbon di luar negeri adalah bagaimana membentuk bursa karbon yang kredibel dan transparan.
Kemudian, timing pembentukan bursa karbon harus pula mempertimbangkan momentum yang tepat. Patut dicatat, pembentukan bursa karbon tidak boleh menjadi media greenwashing akibat carbon offset, di mana perusahaan seolah telah berkontribusi menurunkan emisi karbon, padahal praktiknya masih menyumbang emisi secara besar-besaran. Hal ini jelas keluar dari tujuan awal pembentukan karbon.
Di samping peluang dan manfaat, tentu ada berbagai tantangan dalam penyelenggaraan bursa karbon.
Dalam menyiapkan penyelenggaraan bursa karbon, berbagai tantangan tersebut harus mampu dijawab melalui regulasi yang akan dikeluarkan. Dalam ekosistem perdagangan karbon yang nantinya akan diatur, OJK tak hanya berperan mengatur dan mengawasi perdagangan unit karbon pada pasar sekunder, tetapi juga secara koordinatif mengawal perdagangan unit karbon di pasar primer.
Pada saat ini OJK tengah menyusun rancangan peraturan OJK mengenai penyelenggaraan bursa karbon. Beberapa pokok substansi pengaturan perlu dipertimbangkan menjadi cakupan dalam peraturan OJK tersebut, antara lain mengenai persyaratan, perizinan, pengawasan, dan pengembangan perdagangan karbon melalui bursa karbon.
Selanjutnya, perlu pula ditetapkan Unit Karbon sebagai Efek yang dapat ditransaksikan, kegiatan usaha Penyelenggara Bursa Karbon. Juga persyaratan perdagangan karbon yang harus memenuhi prinsip teratur, wajar, dan efisien; permodalan; operasional dan pengendalian internal; serta pengawasan OJK terhadap bursa karbon dan lembaga terkait lainnya dalam penyelenggaraan bursa karbon, termasuk kewenangan dalam memberikan sanksi atas pelanggaran yang dilakukan.
infografik Konsep Ekosistem Perdagangan Karbon
Beberapa pokok substansi pengaturan dalam rancangan peraturan OJK itu menunjukkan prinsip-prinsip bahwa pembentukan bursa karbon yang kredibel, transparan, dan akuntabel secara umum perlu diantisipasi dan dimitigasi.
Artinya, pembentukan bursa karbon yang berintegritas dimulai sejak tahap perizinan, pelaksanaan transaksi, hingga pengawasan. Dalam regulasi ini, diberikan kewenangan bagi OJK untuk mengenakan sanksi atas setiap pelanggaran. Ini termasuk pelanggaran oleh Penyelenggara Bursa Karbon ataupun pihak-pihak yang melakukan transaksi.
Meski demikian, dalam proses penyusunan regulasi ini, OJK perlu menggali berbagai usulan dan masukan dari para pemangku kepentingan (stakeholders), dari pemerintah, instansi terkait, akademisi, hingga pelaku bisnis dan praktisi yang kompeten untuk memperkaya kajian dan substansi regulasi OJK.
Berdasarkan data luasnya hutan yang dimiliki Indonesia, potensi pendapatan dari perdagangan karbon sangat menjanjikan.
Potensi dan ekosistem
Jika melihat data perbandingan harga perdagangan karbon di beberapa Emission Trading System (ETS) global yang dirilis oleh Bank Dunia, diketahui bahwa harga satuan perdagangan karbon di ETS wilayah Uni Eropa menjadi yang tertinggi di dunia, yaitu 96,3 dollar AS per ton CO2e, diikuti Swiss 93,81 dollar AS per ton CO2e, dan Inggris 88,13 dollar AS per ton CO2e, sementara harga satuan terendah adalah di China National ETS 8,15 dollar AS per ton CO2e.
Berdasarkan data luasnya hutan yang dimiliki Indonesia, potensi pendapatan dari perdagangan karbon sangat menjanjikan. Dengan asumsi harga jual kredit karbon 5 dollar AS per ton CO2, diperkirakan Indonesia mampu mencapai pendapatan Rp 8.000 triliun (Siaran Pers Menko Perekonomian, 14 Maret 2022).
Selain itu, dengan mulai beroperasinya bursa karbon nantinya akan terbentuk ekosistem perdagangan karbon yang turut serta melibatkan berbagai pihak yang pada gilirannya akan menciptakan kebutuhan keahlian dan usaha baru yang dapat membantu menciptakan lapangan kerja dan berkontribusi menggerakkan perekonomian nasional.
Pada umumnya, ekosistem perdagangan karbon mencakup para pelaku, pasar primer, dan pasar sekunder.
Para pelaku perdagangan karbon terdiri dari pelaku usaha yang memiliki kewajiban untuk mematuhi aturan emisi karbon, para pengembang proyek pengurangan emisi karbon, korporasi yang membeli efek karbon—baik karena keinginan sendiri tanpa diwajibkan maupun untuk diperdagangkan—serta lembaga keuangan dan perantara yang terlibat untuk mendorong likuiditas dan kelancaran perdagangan karbon.
Pada pasar primer, di mana di Indonesia diamanatkan berada dalam kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), efek karbon yang akan diperdagangkan di pasar sekunder harus didaftarkan di sistem register nasional (SRN-PPI) dan memperoleh penetapan terlebih dulu dengan memenuhi persyaratan yang ditentukan.
Selanjutnya, setelah lolos dan memenuhi persyaratan dalam pasar primer, efek karbon tersebut baru bisa diperdagangkan di pasar sekunder yang diselenggarakan oleh bursa karbon yang diatur dan diawasi oleh OJK.
Dengan asumsi harga jual kredit karbon 5 dollar AS per ton CO2, diperkirakan Indonesia mampu mencapai pendapatan Rp 8.000 triliun (Siaran Pers Menko Perekonomian, 14 Maret 2022).
Aset nasional
Pada prinsipnya, saat ini kita perlu membangun upaya-upaya mewujudkan perdagangan karbon yang optimal dan berdaya saing. Dalam hal ini OJK tak hanya berfokus pada proses penyusunan regulasi saja, tetapi juga pada pembangunan infrastruktur perdagangan karbon yang tangguh, stabil, dinamis, dan berkelanjutan.
Kita berharap potensi perdagangan yang akan dilaksanakan di Indonesia dapat diaktualisasikan menjadi kontribusi nyata dalam proses penurunan emisi karbon sekaligus mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Jangan pula dilupakan, berdasarkan pengalaman di sejumlah negara, proses pembentukan bursa karbon yang matang memerlukan proses dan waktu. Dengan demikian, menjadi kewajiban kita bersama, baik OJK, pemerintah, penyelenggara bursa karbon, maupun seluruh stakeholder terkait, untuk mengawal serta mendukung pembentukan dan pelaksanaan operasionalnya dengan semangat positif dan konstruktif agar bursa karbon menjadi aset nasional yang mampu memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan berkelanjutan.
Antonius Hari PMKepala Departemen Pengaturan dan Pengembangan Pasar Modal OJK