Sistem zonasi dalam PPDB bisa menjadi langkah awal untuk memeratakan kualitas pendidikan, tetapi banyak yang harus dibenahi terlebih dahulu. Jika tidak, PPDB zonasi hanya akan menjadi masalah yang tak berujung.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Hingga tahun ketujuh pada 2023, permasalahan demi permasalahan selalu mewarnai pelaksanaan penerimaan peserta didik baru dengan sistem zonasi.
Dimulai pada 2017, penerimaan peserta didik baru (PPDB) dengan sistem zonasi menjadi salah satu upaya untuk percepatan pemerataan pendidikan yang berkualitas. Dengan PPDB yang tak lagi berdasarkan nilai akademik, tetapi wilayah tempat tinggal siswa, diharapkan tak ada lagi kasta dalam pendidikan: sekolah favorit versus nonfavorit, rivalitas antarsekolah, dan diskiriminasi di sekolah negeri.
Dalam pelaksanaannya, dampak PPDB zonasi masih jauh panggang dari api. Meski diskriminasi berkurang, belum terlihat pemerataan pendidikan yang berkualitas sehingga konsep sekolah favorit masih melekat di masyarakat. Justru setiap tahun muncul masalah, bahkan penyelewenangan dalam pelaksanaan PPDB zonasi, dan tidak terselesaikan.
Berbagai masalah, mulai dari kecurangan data kependudukan untuk menentukan zona siswa, pungutan liar, jual beli kursi, hingga titipan oknum pejabat (Kompas, 20/7/2023) demi memburu sekolah tertentu, terus terjadi. Tafsir berbeda terhadap peraturan Mendikbudristek tentang PPDB, bahkan terbitnya peraturan pemerintah daerah yang berbeda soal peraturan tersebut, memunculkan permasalahan baru yang menimbulkan ketidakadilan bagi calon siswa.
Dalam masalah ini, keterbatasan daya tampung sekolah negeri sering kali jadi kambing hitam. Sejak republik ini berdiri, kemampuan pemerintah dalam menyelenggarakan pendidikan terbatas sehingga diperlukan peran aktif masyarakat dan sektor swasta untuk turut menyelenggarakan pendidikan. Tingginya minat masyarakat masuk sekolah negeri, luasnya wilayah RI, serta kebijakan sekolah unggulan yang dilengkapi fasilitas dan guru berkualitas pada masa lalu menciptakan ketimpangan kualitas pendidikan.
Dalam masalah ini, keterbatasan daya tampung sekolah negeri sering kali menjadi kambing hitam.
Karena itu, upaya memeratakan kualitas pendidikan tidak bisa hanya dari pemerataan input siswa melalui PPDB zonasi, apalagi pelaksanaannya banyak masalah. Sistem zonasi bisa menjadi langkah awal untuk memeratakan kualitas pendidikan, tetapi banyak yang harus dibenahi terlebih dahulu. Pertama, hilangkan konsep sekolah favorit dengan pemerataan kualitas dan kuantitas sarana prasarana pendidikan serta guru. Hal itu didukung ekosistem pendidikan yang baik. Guru berkualitas akan menghasilkan pendidikan yang berkualitas pula.
Kedua, laksanakan PPDB zonasi dengan benar dan konsisten. Evaluasi dan memperbaiki pelaksanaan PPDB zonasi mendesak dilakukan. Menambah rombongan belajar untuk menampung anak-anak yang berminat masuk sekolah negeri bukan keputusan tepat untuk mengatasi masalah PPDB zonasi. Daya tampung sekolah, negeri dan swasta, sudah memadai, bahkan di pendidikan dasar cenderung berlebih.
Selain itu, hal mendasar, kebijakan pendidikan harus bersandar kepada kebutuhan peserta didik untuk pendidikan yang berkualitas, baik di sekolah negeri maupun swasta. Sebab, adalah hak anak untuk memperoleh pendidikan yang adil. Tanpa semua upaya itu, PPDB zonasi akan menjadi masalah yang tak berujung.