Dapat dimaklumi, belasan juta pendukung partai pemenang pemilu di Thailand kecewa dan marah. Kemenangan mereka dijegal melalui peradilan dan parlemen.
Oleh
Redaksi
·2 menit baca
Media Thailand, The Nation, menyebut drama politik di negerinya dengan istilah ”kudeta parlemen”. Di Thailand, drama seperti itu bukan hal baru. Setidaknya dua dekade terakhir tersaji pertarungan antara partai pilihan rakyat dan kelompok konservatif pro-monarki yang didukung militer.
Judul ceritanya bermacam-macam: larangan politik, intervensi pengadilan, kudeta militer, atau unjuk rasa yang tidak jarang diwarnai kekerasan. Mengutip profesor hubungan internasional Universitas Chulalongkorn, Bangkok, Thitinan Pongsudhirak, kekuatan politik riil pengendali negara itu berada di kelompok mapan: dari militer dan monarki hingga pengadilan dan birokrasi (Bangkok Post, 14 Juli 2023).
Drama terbaru berawal dari kemenangan mengejutkan Partai Bergerak Maju (Move Forward Party/MFP) pimpinan politisi muda nan energik, Pita Limjaroenrat, dalam pemilu pada 14 Mei lalu. Didukung 14 juta suara, partai itu meraup 151 dari 500 kursi Majelis Rendah di parlemen. Pita memimpin koalisi delapan partai dan jadi calon perdana menteri (PM).
Disadari dari awal, dengan total 311 kursi yang dimiliki koalisinya, Pita belum aman dalam pemilihan PM di sidang parlemen, 13 Juli. Ia membutuhkan 375 suara dukungan. Selain 500 anggota Majelis Rendah, ada 250 anggota Senat yang ditunjuk militer, penentu terpilihnya PM. Pada pemungutan pertama, Pita meraih 324 suara: 311 suara dari Majelis Rendah dan hanya 13 suara dari Senat. Kandaslah langkah pertama Pita.
Kegagalan Pita mengonfirmasi efek intrik politik yang ditanam dalam konstitusi 2017 buatan junta pimpinan Prayuth Chan-ocha. Konstitusi itu memberikan kewenangan 250 anggota Senat untuk ikut ambil bagian dalam pemilihan PM.
Pada sidang kedua pemilihan PM, Rabu (19/7/2023), Pita dihadang dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menangguhkan keanggotaan Pita di parlemen, tepat pada hari pemilihan, terkait kasus kepemilikan Pita atas saham televisi—yang sudah tidak siaran sejak 2007—oleh Komisi Pemilu.
Wajar, muncul kecurigaan MK menjadi bagian ”yudisialisasi (judicialisation) politik”. Istilah itu mengacu pelibatan hakim dalam ikut menentukan proses politik sesuai keinginan kubu pro-kemapanan. Langkah Pita menuju kursi PM kandas setelah parlemen menolak pencalonannya kedua kali.
Berbeda dari Thaksin Shinawatra (PM 2001-2006) dan adiknya, Yingluck Shinawatra (PM 2011-2014), yang digulingkan melalui kudeta, Pita dijegal sebelum mencapai kursi PM. Mungkin ini cara yang dianggap ”lebih halus” ketimbang kudeta yang dapat memantik reaksi internasional.
Bagi pro-monarki yang mencengkeram kekuasaan, Pita harus dihadang karena menjadi ancaman. Ia mengusung amandemen aturan lese majeste, pisau tajam untuk menghukum pengkritik monarki, sebagai bagian dari reformasinya. Karena itu, di mata pendukungnya, ia seorang martir.