Ganjal Pita sebagai Calon PM, Parlemen Thailand Bunuh Aspirasi Rakyat
Perjalanan Pita Limjaroenrat menuju kursi perdana menteri Thailand harus berakhir di sini. Militer dan kelompok pro-kerajaan menjegal langkahnya lewat parlemen, sekaligus membunuh aspirasi mayoritas rakyat Thailand.
BANGKOK, RABU — Perjuangan dan perjalanan Ketua Partai Bergerak Maju (Move Forward Party/MFP) Pita Limjaroenrat untuk memimpin Thailand terpaksa berakhir sampai di sini. Parlemen Thailand dalam sidang di Gedung Parlemen, Bangkok, Rabu (19/7/2023), memutuskan tidak menerima pencalonan Pita untuk kedua kali sebagai perdana menteri.
Ini adalah sidang kedua parlemen Thailand dengan agenda memilih perdana menteri (PM) setelah pekan lalu Pita gagal memperoleh dukungan suara yang dibutuhkan untuk menjadi PM. ”Pita tidak bisa dicalonkan untuk kedua kali dalam sidang parlemen ini,” kata Ketua DPR Thailand Wan Muhamad Noor Matha, Rabu (19/7/2023), yang segera disambut teriakan-teriakan protes dan bernada marah dari para pendukung Pita.
Dalam pemungutan suara yang digelar setelah perdebatan selama lebih dari tujuh jam, seperti dilaporkan Bangkok Post, sebanyak 394 suara—sebagian besar adalah anggota senat yang tak dipilih lewat pemilu—menolak pencalonan Pita, sedangkan 312 suara mendukung pencalonannya, dengan delapan suara abstain dan satu anggota tak memilih. Rapat parlemen kemudian ditunda tanpa kejelasan kapan ada pemungutan suara lagi untuk memilih PM.
Sebelum pemungutan suara dilakukan, Mahkamah Konstitusi (MK) Thailand mengeluarkan keputusan penangguhan keanggotaan Pita di parlemen, sambil menanti putusan pengadilan, apakah ia terbukti melanggar pemilu atau tidak. Kasus pelanggaran pemilu yang didakwakan kepadanya berkaitan dengan kasus dugaan kepemilikan saham Pita di sebuah perusahaan media. Menurut aturan, seorang anggota parlemen di Thailand tidak diperbolehkan memiliki saham media.
Meski telah diputuskan oleh MK bahwa keanggotaannya di parlemen ditangguhkan, Pita sebenarnya masih bisa dicalonkan dan dipilih sebagai PM melalui pemungutan suara di parlemen. Namun, parlemenlah—melalui pemungutan suara—yang mengubur pencalonan Pita sebagai PM Thailand.
Belum diketahui secara jelas pula, apakah sebelum pemungutan suara itu dilakukan, koalisi delapan partai telah berupaya kembali mencalonkan diri Pita dengan mekanisme yang berbeda dari sebelumnya.
Baca juga : Pita Gagal Menjadi Perdana Menteri dalam Pemungutan Suara Pertama
Setelah gagal dicalonkan lagi sebagai PM, Pita masih dalam posisi di ujung tanduk. Jika putusan pengadilan nanti menyatakan dirinya bersalah dalam kasus pelanggaran pemilu yang didakwakan kepadanya, Pita bisa divonis hukuman penjara.
”Saya pikir, Thailand sudah berubah dan tidak akan sama lagi sejak 14 Mei,” kata Pita, merujuk tanggal kemenangan partainya, MFP, dalam pemilu, Mei 2023. ”Rakyat telah memenangi separuh jalan. Masih ada separuh jalan berikutnya.”
”Meskipun saya masih belum bisa melaksanakan tugas saya, saya akan meminta seluruh anggota untuk membantu melayani rakyat mulai saat ini,” lanjut Pita. ”Terima kasih banyak,” kata Pita sebelum meninggalkan ruangan sidang, diiringi tepuk tangan aplaus para pendukungnya.
Buat apa pemilu?
Keputusan parlemen tersebut menghancurkan harapan rakyat Thailand. Partai Pita yang berhaluan progresif telah memenangi suara terbanyak dalam pemilu, Mei lalu. Parlemen yang mayoritas dikuasai militer dan kelompok pro-kerajaan tidak memedulikan suara mayoritas rakyat Thailand yang mendukung ide-ide perubahan partai Pita.
Baca juga: Duet Monarki-Militer Hadang Arus Perubahan di Thailand
Ratusan pendukung Pita di luar gedung parlemen menangis dan meneriakkan kata-kata makian di depan barisan polisi antihuru-hara yang menjaga gerbang parlemen. ”Saya marah. Mereka (anggota parlemen) tidak menghormati kehendak rakyat,” ujar Wilasini Sakaew (21), salah satu pendukung Pita. ”Mereka tidak mau mendengarkan suara 14 juta rakyat.”
”(Kalau seperti ini jadinya), mengapa rakyat diminta ikut pemilu?” tanya pengunjuk rasa lainnya, yang tak mau disebutkan namanya, kepada AFP.
Partai Bergerak Maju (MFP) dalam pemilu, Mei 2023, mendapatkan banyak dukungan dari anak muda dan warga perkotaan Thailand yang merasa frustrasi dengan pemerintahan yang didukung tentara. Namun, sejak awal setelah kemenangan partainya, Pita sudah diganjal. Mahkamah Konstitusi Thailand menyatakan akan melanjutkan kasus kepemilikan saham di perusahaan media yang bisa membuat Pita didiskualifikasi dari parlemen.
Konstitusi Thailand menyebutkan anggota parlemen dilarang memiliki saham di perusahaan media. Padahal, media itu sudah tidak lagi aktif sejak 2007. Saham di perusahaan itu, kata Pita, diwarisi dari ayahnya. Kasus serupa pernah muncul ketika pemimpin MFP, Thanathorn Juangroongruangkit, juga didiskualifikasi sebagai anggota parlemen pada 2019.
Ganjalan kedua datang ketika pengadilan setuju untuk menyidangkan kasus terkait janji kampanye MFP untuk mengamendemen undang-undang pencemaran nama baik Kerajaan Thailand, yang dinilai sama saja dengan rencana menggulingkan monarki konstitusional. MFP tidak mau mengompromikan janjinya untuk merevisi UU lese majeste, yang memungkinkan pengkritik monarki bisa dihukum penjara hingga 15 tahun.
Pukulan ketiga datang ketika pemungutan suara di sidang pertama parlemen, 13 Juli 2023. Pita gagal meraih suara dukungan yang dibutuhkan. Hanya 13 dari 249 senator aktif yang memilih Pita, pekan lalu. ”Selamat tinggal dan sampai kita bertemu lagi,” kata Pita sambil mengangkat tinjunya saat meninggalkan ruang sidang di parlemen, Rabu.
Baca juga: Pita Limjaroenrat, dari Bangku Harvard hingga Jadi Motor Musim Semi Bangkok
Pita, lulusan Universitas Harvard itu, sebelumnya sudah berjanji akan minggir dan memberikan jalan kepada partai lain untuk membentuk pemerintahan jika upaya keduanya gagal.
Peluang Pheu Thai
Koalisi partai yang mendukung Pita diperkirakan akan berada di belakang taipan properti, Srettha Thavisin (60), yang berpotensi mendorong MFP untuk menjadi oposisi. Partai Pheu Thai pimpinan Srettha dipandang sebagai kendaraan bagi klan politik Shinawatra. Dua mantan PM dari klan itu digulingkan oleh kudeta militer pada tahun 2006 dan 2014.
Sebagai pengusaha sukses yang disukai sesama pemimpin bisnis, Srettha dianggap sebagai jalan kompromi yang bisa diterima kalangan elite Thailand.
Calon lain yang kemungkinan bisa ditunjuk adalah Prawit Wongsuwan (77), mantan panglima militer Thailand yang menjabat sebagai orang nomor dua di junta militer. Ia juga dicalonkan oleh kelompok militer di parlemen meski mayoritas rakyat Thailand sudah tegas menolak partai-partai yang didukung tentara.
Analis politik Thailand, Thitinan Pongsudhirak, menilai prospek kehadiran militer di pemerintahan berikutnya bisa memicu kerusuhan politik kembali. ”Sekarang sudah jelas bahwa dalam sistem yang ada sekarang ini, mendapat suara terbanyak dari rakyat itu tidak cukup untuk bisa menjalankan negara. Dibutuhkan juga persetujuan dari Senat,” unggah Thitinan di akun Instagram-nya.
MFP gencar berkampanye dan menguasai media sosial untuk meraih dukungan dari pemilih muda dan perkotaan. Mereka menjanjikan reformasi kelembagaan yang berani untuk mengubah status quo konservatif. Hanya saja, agendanya itu bertentangan dengan kepentingan kelompok-kelompok konservatif yang kuat.
Konstitusi yang disusun oleh militer setelah kudeta 2014 memastikan langkah Pita terblokir di Senat yang juga anggota-anggotanya ditunjuk junta militer. Senat berfungsi semacam benteng untuk menghadang para politisi yang hendak membuat perubahan di Thailand dan membentuk pemerintahan yang berbeda visi dari kelompok konservatif.
Baca juga : Menangkan Oposisi, Rakyat Thailand Pilih Perubahan
Guru besar di Ubon Ratchathani University, Thailand, Saowanee Alexander, menilai isu reformasi monarki selalu membuat upaya politik di Thailand sulit bergerak maju. ”Saya khawatir jika mengangkat isu reformasi monarki itu terus, tidak akan ada yang bisa melakukan perubahan di Thailand,” ujarnya. (REUTERS/AFP/AP)