Peningkatan tajam angka ketimpangan ekonomi menjadi sebuah ironi di tengah kinerja impresif pertumbuhan ekonomi dan menurunnya angka kemiskinan nasional.
Oleh
Redaksi
·1 menit baca
Ketimpangan, sebagaimana juga pengangguran dan kemiskinan, sudah lama menjadi momok dalam pembangunan ekonomi kita. Periode pertumbuhan ekonomi yang relatif tinggi selama beberapa dekade ternyata belum mampu mengatasi problem utama pembangunan, seperti pengangguran, kemiskinan, serta ketimpangan ini.
Bahkan, pemulihan pertumbuhan dan angka kemiskinan ke level sebelum pandemi atau mendekati level sebelum pandemi, seperti dilaporkan BPS, tak serta-merta menurunkan angka ketimpangan. Yang terjadi justru sebaliknya: kian melebarnya jurang kaya dan miskin, sebagaimana tecermin dari rasio gini. Ketimpangan ekonomi dari sisi pengeluaran per Maret 2023 disebut yang terburuk dalam lima tahun terakhir. Hal ini membuktikan, pemulihan ekonomi belum dirasakan secara merata sampai lapisan terbawah masyarakat.
Tren lonjakan kemiskinan dan memburuknya ketimpangan memang menjadi fenomena global pascapandemi Covid-19. Kelompok miskin dan rentan, terutama di perkotaan, paling terpukul oleh dampak pandemi dan paling sulit untuk bisa bangkit lebih cepat pascapandemi. Pendapatan mereka turun seiring gelombang PHK sektor padat karya, dan hal ini menekan tingkat konsumsi mereka.
Sebaliknya, kelompok kaya, karena penguasaan akses, justru banyak diuntungkan dan semakin kaya karena pandemi. Pukulan yang dirasakan kelompok miskin dan rentan kian berat dengan perlambatan ekonomi nasional, di tengah ancaman resesi ekonomi global dan dampak perang Rusia-Ukraina.
Kondisi ini memunculkan desakan kepada pemerintah negara-negara untuk mengambil pendekatan yang juga ekstrem dalam mengatasi kemiskinan ekstrem dan kesenjangan kaya-miskin global. Pertumbuhan ekonomi tak cukup hanya tinggi, stabil, dan berkelanjutan, tetapi juga harus berkeadilan.
Pada akhirnya, keberhasilan pembangunan tak hanya diukur dari tingginya pertumbuhan, tetapi juga sejauh mana mampu mengangkat rakyat dari kemiskinan, lewat pemberdayaan dan penyediaan lapangan kerja produktif, karena salah satu tujuan utama pembangunan adalah kesejahteraan.
Di tengah ancaman resesi global, Indonesia mampu membukukan pertumbuhan 5,33 persen pada 2022 dan 5 persen pada triwulan I-2023; salah satu tertinggi di dunia, setelah China dan India. Sebagai dampak perlambatan ekonomi global, pertumbuhan kita tahun ini diperkirakan melambat ke 4,9 persen, dan hal ini kemungkinan akan berdampak pada kemampuan dalam memperluas kesempatan kerja baru.
Situasi ini sekaligus menggarisbawahi masih beratnya tantangan yang kita hadapi dalam mewujudkan target penghapusan kemiskinan ekstrem di 2025. Di sini pentingnya pertumbuhan inklusif yang menjangkau hingga kelompok paling rentan serta menawarkan kesetaraan kesempatan dan partisipasi dalam pertumbuhan oleh seluruh lapisan masyarakat.