Bapak Pulang dalam “Rwa Bhineda”
Surga atau neraka, tidak perlu selalu diartikan sebagai semesta “akhirat” semata. Surga dan neraka mewujud dalam kehidupan sehari-hari
Aku genggam tangan Bapak. Dingin dan kisut. Ruangan jadi sesepi kuburan. Entahlah. Padahal baru lima menit Bapak dipindahkan dari ICU (intensive care unit). Katanya, selama di ICU Bapak memang sudah tidak sadarkan diri. Tetapi ketika aku tiba, Bapak sempat mengucapkan serangkaian kalimat dengan terbata-bata,”Putu, Bapak mau pulang…”
Meski patah-patah, jelas sekali aku menangkap maksud kata-kata Bapak. Setelah dirawat selama hampir sebulan, Bapak sudah tidak sanggup lagi “menahan” nyawanya. Ia sudah meminta tempo beberapa kali agar Sang Hyang Yamadipati, malaikat pencabut nyawa, mengizinkannya hidup beberapa saat lagi. Bapak ingin menungguku pulang dari Jakarta. Pekerjaan yang menumpuk dan jadwal cuti kantor yang harus diatur cermat, membuatku sedikit terlambat pulang ke Bali. Setelah Bapak benar-benar sekarat di ruangan rumah sakit yang sumpek oleh aroma obat itu, barulah aku mendapat izin pulang.
Aku hanya sempat menginap semalam di kursi ruang tunggu rumah sakit dan semalam lagi di hotel kecil seberang jalan, sebelum Bapak dipindahkan ke kamar perawatan biasa. Tiga orang dokter spesialis yang merawatnya berkata serupa, ”Jika berkenan, sebaiknya Bapak dirawat di ruang perawatan saja…”
Kata-kata ini terdengar pasrah. Aku mengerti, itu adalah kata-kata terakhir seorang dokter jika dia tidak sanggup lagi merawat pasiennya. Singkat kata, para dokter telah angkat tangan. Penyakit Bapak telah memasuki masa-masa komplikasi. Bermula dari paru-parunya yang mengeras dan penuh lubang dan menyebabkannya susah bernapas, lalu menjalar pada ginjalnya yang hanya berfungsi kurang dari 40 persen. Kerusakan ginjal itu mengakibatkan Bapak harus menjalani hemodialisis. Setelah itu, jantungnya tidak berdetak secara normal, sehingga perlu penanganan khusus.
Kata dokter, tugasnya ibarat membendung banjir dengan lumpur tanah liat. Ditambal di satu sisi, sisi lainnya jebol, sakingnya derasnya aliran air. Sebagian organ vital dalam tubuh Bapak, sudah nyaris tidak berfungsi. Semua itu, tambah dokter, mempengaruhi kinerja otaknya. Praktis ketika dipindahkan ke ruang perawatan, Bapak sudah tidak sadarkan diri. Hanya nadinya yang masih berdenyut meski kian melambat.
Sore hari sekitar pukul 17.00 WITA, kami berkumpul. Aku menggenggam tangan kanan Bapak. Semakin dingin. Spontan wajahku mendekat ke telinga Bapak sembari berucap:
Om bhur bhuvah svahtat savitur varenyambhargo devasya dhimahidhiyo yo naha pra-chodayat
Aku mengucapkan Gayatri Mantram secara berulang-ulang. Biasanya diucapkan terus-menerus saat melakukan japa mantra (bermeditasi) dan minimal diucapkan sebanyak 108 kali. Gayatri Mantram berisi tiga unsur: memuji kebesaran Tuhan, bermeditasi untuk memusatkan pikiran menuju Cahaya, dan berdoa untuk menguatkan akal budi atau kemampuan mempertimbangkan hal yang bijak di dalam diri.
Sewaktu kecil Bapak selalu mengingatkanku,”Jika belum mampu, kamu ucapkan saja japa mantra, itu bait pertama dari Tri Sandya, di mana kamu bisa menemui Hyang Widhi,” ujar Bapak. Tri Sandya tak lain inti dari seluruh doa yang wajib diucapkan tiga kali dalam sehari. Bait pertama dari doa, yang terdapat dalam ajaran Weda, berisikan Gayatri Mantram tadi.
Aku tidak memohon apa pun kepada Tuhan ketika membisikkan Gayatri Mantram di telinga Bapak. Jika pun Bapak harus pergi hari itu, itulah hari yang telah dia pilih. Tepat 25 Desember 2013 pukul 17.05 Wita, akhirnya Bapak “melepas” nyawanya. Tangannya yang dingin tiba-tiba menggenggam erat tanganku, tubuhnya menegang, lalu “plas” seolah dalam sekali sentakan napasnya putus. Dokter terburu-buru datang ke ruang perawatan. Setelah melakukan pemeriksaan di sekitar jantung dan nadi, Bapak dinyatakan “terminal”. Kondisi Bapak sudah tidak bisa diselamatkan karena penyakitnya yang kronis dan menyebabkannya meninggal dunia. Begitu kira-kira kesimpulan para dokter yang merawat Bapak.
Mataku berkaca-kaca. Ada rasa kehilangan yang merongga di dalam dada. Dulu Bapaklah yang mengisi rongga itu dengan berbagai cerita, pengetahuan, dan keterampilan sebatas yang ia bisa lakukan sebagai seorang ayah. Pada waktu-waktu tertentu Bapak bahkan bercerita tentang ilmu kebatinan yang ia tekuni. Tubuh kita, katanya, tak lebih dari representasi Semesta yang disebut mikrokosmos. Sedangkan jagat raya adalah makrokosmos. Seluruh unsur makrokosmos seperti tanah, air, api, udara, dan eter, terdapat pula dalam tubuh mikrokosmos.
Tubuh kita, katanya, tak lebih dari representasi Semesta yang disebut mikrokosmos. Sedangkan jagat raya adalah makrokosmos.
Bahkan, ujar Bapak, organ tubuh manusia terdiri dari huruf-huruf suci yang melambangkan kebesaran Tuhan, yang disebut dengan Dasa Aksara, sering disambung menjadi Dasaksara. Huruf-huruf suci merupakan simbol keberadaan Tuhan di dalam tubuh manusia, terdiri dari: Sang (jantung), Bang (hati), Tang (lambung), Ang (empedu), Ing (dasar hati), Nang (paru-paru) Mang (usus halus), Sing (ginjal), Wang (pankreas), dan Yang (ujung hati). Keberadaan huruf suci ini sesuai dengan posisi para Dewa yang “berumah” di arah mata angin pada makrokosmos.
“Siapa pun yang bisa memutar huruf-huruf suci ini dan kemudian menyatukannya, itulah meditasi tersempurna. Dia bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh mata biasa,” ujar Bapak, saat-saat kami berbicara di petang hari. Biasanya pembicaraan seserius ini, kami lakukan selepas pulang dari sawah. Bapak sehari-hari selalu pergi ke sawah di pagi hari dan pulang setelah hari memasuki senja. Setelah membersihkan badan, sembari menunggu masakan Ibu matang, kami sering kali berbincang.
Suatu hari, cerita Bapak, ia penasaran ingin mengetahui apakah surga dan neraka itu benar-benar ada. Dalam posisi terlentang, Bapak minta agar Ibu tidak membangunkannya dalam beberapa menit, ”Anggap saja tidur,” pinta Bapak. Dan Ibu mengiyakan.
Setelah berhasil menyatukan huruf-huruf suci di dalam tubuhnya, Bapak lalu melepasnya sebagai Ing dan Yang, di mana dasar hati bersatu bersama dengan ujung hati. Bukankah ini merupakah filofosi Taoisme yang lebih dikenal dengan Yin dan Yang? Sifat-sifat feminin bertemu dengan sifat-sifat maskulin, selanjutnya mewujudkan sebuah keseimbangan pada alam semesta. Pada ajaran yang lebih tua, setidaknya kini aku mengenal apa yang disebut dengan Lingga dan Yoni. Banyak temuan arkeologis di Nusantara menggambarkan dua benda (biasanya dari batu) yang saling berdekatan, bahkan terkadang saling bersatu. Dan ini pulalah yang kemudian dipresentasikan dalam ajaran Hindu sebagai Purusa (watak lelaki) dan Predana (watak perempuan).
Dalam terminologi keilmuan (mungkin) pula disebut dengan oposisi biner, dua klasifikasi wilayah yang berhadapan secara diametral, tetapi berada dalam satu sistem untuk membentuk sebuah keseimbangan. Jadi Ing dan Yang yang dipratikkan Bapak dalam olah kebatinannya, memiliki cantolan jauh pada ilmu-ilmu yang lebih modern. Jika kini ilmu melahirkan keseimbangan dan kesetaraan dalam studi dan praktik gender, olah batin Bapak melahirkan ketajaman intuitif.
Kata Bapak, setelah ia melepas Ing dan Yang dari atas ubun-ubun kepalanya, ia merasakan sensasi tidur yang amat panjang. Tak jarang, ia melihat ruhnya mulai terangkat dan melihat tubuhnya yang terlentang tidur. Begitukah sensasi seseorang yang telah mati?
Petang itu Bapak bilang, setelah ruhnya terangkat, aneh ia bertemu dengan kakak kandungnya I Ketut Nirya, yang sudah meninggal lama. Di tengah jalan berkabut dan dingin, Nirya tiba-tiba menghampirinya dan berkata:
“Kamu belum waktunya kemari.”
“Aku datang ingin memastikan,” jawab Bapak.
“Apa yang ingin kamu pastikan?” tanya Nirya.
“Apakah benar ada surga dan neraka?”
“Seperti yang digambarkan dalam wayang,” jawab Nirya.
“Apakah kawah neraka Candradimuka itu benar adanya,” tanya Bapak lagi.
“Seperti dalam wayang,” jawab Nirya lagi.
“Apakah ruh seorang penjahat benar direbus dalam wajan besar untuk membersihkannya dari kekotoran dunia?” tanya Bapak lagi.
“Tugasmu sebagai manusia hanya berbuat baik, selebihnya biarkan Tuhan yang menimbangnya…” kata Nirya sebelum menghilang di balik kabut yang kian menebal.
Saking tidak sabarnya, aku kemudian bertanya kepada Bapak.
“Apakah benar ada surga dan neraka?” tanyaku.
“Seperti sudah banyak dikisahkan dalam wayang,” jawab Bapak.
“Bapak yakin itukah gambaran surga dan neraka?”
“Wayang bersumber dari kitab suci. Jadi kita harus mempercayainya. Itu saja.”
Pertanyaanku yang menggunung sejak Bapak meminta untuk “pulang”, pada saat upacara Ngaben sebagai pengembalian jasad kepada Sang Pemilik, sampai hari ini yang tetap tidak terjawab, apakah Bapak masuk surga atau neraka?
Ajaran Karmaphala, menjelaskan bahwa surga dan neraka tergantung dari buah perbuatan seorang manusia. Ada yang disebut Sancita Karmaphala, yakni hasil perbuatan di masa lalu menjadi penentu kehidupan di masa sakarang. Prarabda Karmaphala, hasil perbuatan yang langsung dirasakan ketika seorang manusia masih hidup. Kriyamana Karmaphala, hasil perbuatan yang dirasakan setelah seseorang mengalami kematian.
Begitulah cara kerja hukum karma. Ruh sebagai entitas yang bersifat kekal dipengaruhi oleh hukum karma, dan suatu hari bisa menjelma ke dunia berdasarkan karma itu sendiri. Karma juga menjelaskan, seseorang yang telah berbuat baik di masa sekarang, tetapi senantiasa dirundung kemalangan. Hal itu tak lain dari buah dari perbuatannya di masa lalu, yang sangat (mungkin) tidak baik.
Meski ajaran telah menjelaskan dan berusaha menjawab penasaranku sebagai manusia yang ingin terus bertanya, pada akhirnya surga dan neraka tidak pernah terjelaskan. Ia menjadi semacam batas-batasan etika moralitas yang hidup agar senantiasa berpegang pada kebaikan. Bahwa hukuman akan menantikanmu, jika menjalankan perbuatan yang melanggar batas-batas moralitas keadaban sebagai manusia. Surga atau neraka, tidak perlu selalu diartikan sebagai semesta “akhirat” semata. Surga dan neraka mewujud dalam kehidupan sehari-hari. Dan manusia, yang diberi kesempatan hidup berkewajiban menjalankan keadaban sosial, sehingga turut serta mewujudkan keseimbangan dalam hidup.
Jika Bapak akhirnya pergi, itu karena ia memberi kesempatan kepada yang lain untuk lahir dan mengisi kehidupan ini. Begitulah cara kerja Semesta di dalam memutar roda keseimbangan. Begitu pulalah cara kita menerima kehilangan dan kehadiran seseorang. Ia senantiasa meninggalkan legasi dan mengisi ruang kosong, yang menyebabkan hidup kita semakin berwarna. Kami menyebutnya sebagai Rwa Bhinneda, perbedaan yang diciptakan justru untuk menghasilkan energi keseimbangan dalam hidup. Tak beda dengan Ing dan Yang, dalam ilmu kebatinan yang dipraktikkan Bapak, bukan?