Kebakaran hutan dan lahan atau karhutla terjadi sejak puluhan tahun lalu. Berhentilah menyalahkan fenomena alam, seperti El Nino, karena hutan lahan gambut dibuka dengan pengelolaan kurang memadai.
Oleh
Redaksi Kompas
·2 menit baca
Cuaca panas tahun ini menyengat betul. Terik-gerah mewarnai siang dan malam di awal tahun hingga kini. Di Kalimantan, juga Sumatera, kebakaran lahan gambut bahkan sudah muncul.
Itu seperti menggenapi prediksi, termasuk Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) bahwa kekeringan tahun ini akan lebih panjang dari tahun-tahun sebelumnya. Sejumlah pihak meminta dampak kekeringan tahun ini menjadi perhatian khusus—terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla)—yang tahun ini jatuh pada siklus empat tahunan.
Tahun 2015 dan 2019 tercatat sebagai tahun terparah karhutla di hamparan gambut eks hutan yang dijadikan perkebunan monokultur. Titik-titik panas terdeteksi dari lahan korporasi dan warga.
Tahun ini adalah empat tahun setelah nestapa karhutla 2019, yang kala itu luasannya tercatat 328.724 hektar. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), kebakaran sejak Januari-September 2019 itu meliputi 3.673 titik panas (Kompas.id, 16 September 2019).
Memprihatinkan, itu yang bisa kita ungkapkan atas karhutla berkelanjutan. Mungkin ada kata yang lebih kuat dari itu. Sebab, rasa marah, sedih, dan kecewa terus menumpuk.
Dari sisi valuasi ekonomi dampak karhutla 2019 saja, kerugian lingkungannya setara Rp 130 triliun. Ini belum termasuk kerugian nyawa dan angka kesakitan. Kerugian jauh lebih besar lagi jika ditambahkan kasus 2015 dan awal tahun 1980-an ketika karhutla mulai muncul dan berkelanjutan.
Kerugian-kerugian itu disebabkan persoalan mendasar yang kita buat sendiri: lemahnya pencegahan dan penanganan awal kebakaran. Jika boleh menambah, ada faktor lemahnya pengawasan regulasi di lapangan, tidak ada ketegasan sanksi kepada para pihak yang lahannya terbakar dan berulang, serta terus dibukanya lahan atau hutan untuk peruntukan lain.
Terkait dengan pencegahan, sebenarnya telah ada aturan menteri yang mewajibkan perkebunan menjaga level basah lahan gambutnya hingga sistem pelaporan berjenjang. Namun, kebakaran terus terjadi karena berbagai alasan.
Keberadaan Badan Restorasi Gambut sejak Januari 2016 patut diapresiasi. Namun, keterbatasan membuat rehabilitasi dan restorasi gambut bergerak pelan dan kurang optimal.
Infografik Pendekatan dan Pencapaian Restorasi Lahan Gambut 2016-2022
Di tengah intaian kekeringan, apel kesiagaan karhutla telah digelar BNPB di Pontianak, Kalimantan Tengah, provinsi dengan riwayat karhutla parah. Itu bentuk antisipasi.
Antisipasi jelas perlu dan harus sebagai bagian kesiagaan di tengah fenomena alam yang membuat kekeringan di Tanah Air jadi lebih kering, panjang, dan berisiko. Namun, mitigasi atau pencegahan harus diutamakan dan bukan tak mungkin.
Jika negara bisa mengucurkan anggaran besar kedaruratan demi sewa helikopter, pesawat pembom air, teknologi hujan buatan, dan infrastruktur lain, semestinya juga bisa diterapkan untuk riset-riset terukur terkait dengan pengelolaan lahan gambut lebih aman hingga teknologi aplikatif lain pencegah karhutla.
Hanya dengan begitu, kita berhenti cemas, khawatir, menunggu, dan menyalahkan El Nino sebagai pemicu bencana.