Evaluasi Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan
JAKARTA, KOMPAS — Masih terjadinya kebakaran hutan dan lahan menunjukkan upaya pencegahan masih belum maksimal. Kebakaran yang melanda lebih dari 135.000 hektar hutan dan lahan ini dipastikan terus bertambah seiring musim kemarau yang berlangsung hingga dua bulan mendatang.
Pemerintah dan aparat penegak hukum didesak mengevaluasi upaya pencegahan mulai dari efek jera penegakan hukum, pembukaan lahan tanpa bakar, audit kepatuhan perusahaan, hingga penyelesaian konflik agraria.
“Dari dulu kami sarankan agar dilakukan audit compliance (kepatuhan) pengendalian karhutla untuk memastikan kesiapan perusahaan terhadap ancaman bahaya kebakaran,” kata Bambang Hero Saharjo, pakar kebakaran hutan dan lahan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor, Rabu (14/8/2019), di Jakarta.
Dari dulu kami sarankan agar dilakukan audit compliance (kepatuhan) pengendalian karhutla untuk memastikan kesiapan perusahaan terhadap ancaman bahaya kebakaran
Hal tersebut idealnya dilakukan sebelum memasuki musim kemarau. Apabila terjadi kemarau seperti ini, semisal kebutuhan akan sumber air melalui pembuatan embung-embung atau pengelolaan sekat kanal yang baik, tak bisa dirasakan manfaatnya untuk memastikan areal setempat tetap basah.
Penegakan hukum
Bambang Hero pun mendorong agar penegakan hukum dilakukan secara tegas melalui sanksi administrasi, pidana, dan perdata. “Tanpa tebang pilih. Jangan perusahaan besar yang diduga melakukan pembakaran ternyata dibiarkan atau dihentikan atau digantung kasusnya sementara masyarakat (biasa) yang bakar 1 hektar malah dipenjara tiga tahun dengan denda miliaran rupiah,” kata Bambang yang menjadi langganan saksi ahli bagi penyidik dan penuntut umum dalam persidangan-persidangan.
Terkait penegakan hukum, dari sisi berbeda, Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Hukum Lingkungan Indonesia (ICEL) Henri Subagiyo mengingatkan, Kepala Polri Jenderal Tito Karnavian pernah meneken Surat Edaran Kapolri Nomor SE/15/XI/2016 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan pada tanggal 10 November 2016.
Ia menilai SE tersebut cukup komprehensif yang mencakup arahan bagi jajaran Polri untuk melakukan upaya preemtif, preventif, dan represif lengkap dengan arahan melakukan upaya pembuktian dalam proses penyelidikan dan penyidikan. “Tapi hasilnya hingga saat ini belum banyak dirasakan oleh publik, khususnya penegakan hukum bagi para pelaku korporasi,” kata dia.
Henri mengatakan, seharusnya Kapolri Jendral Tito Karnavian bisa bersikap lebih tegas, totalitas dan komprehensif. “Saya kira Kapolri seharusnya bisa menggunakan SE tersebut sebagai dasar untuk melakukan evaluasi secara menyeluruh terhadap semua jajaran di bawahnya apakah SE tersebut dilaksanakan dengan baik. Kalau perlu Kapolri membentuk gugus tugas tersendiri untuk melakukan hal itu," imbuhnya.
Komentar Henri ini juga terkait kunjungan Kapolri bersama Panglima TNI dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan ke Pekanbaru, Riau untuk meninjau langsung kebakaran hutan dan lahan. Di sana, Kapolri Jendral Tito Karnavian menyatakan bahwa akan menarik kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan ke Mabes jika di penegakan hukum di Polda tidak efektif.
Henri berharap pernyataan tersebut bukan sekadar lip service di tengah situasi kebakaran hutan dan lahan yang semakin memburuk. "Kita sudah pernah disuguhi hal yang serupa. Tetapi seringkali hal-hal demikian berjalan tidak konsisten setelah karhutla reda. Padahal upaya pengendalian karhutla termasuk penegakan hukum harus terus berjalan meskipun hotspot di lapangan berkurang,” kata dia.
Upaya pengendalian karhutla termasuk penegakan hukum harus terus berjalan meskipun hotspot di lapangan berkurang
“Apa jaminannya kasus-kasus karhutla ditarik ke Mabes jika di Polda penegakan hukum tidak efektif? Saya kira sama saja, laporan Jikalahari terkait karhutla hingga detik ini satupun tidak jelas prosesnya,” kata Made Ali, Koordinator Jikalahari. Pada 2016 Jikalahari melaporkan 49 perusahaan ke Mabes Polri salah satunya terkait pembakaran hutan dan lahan.
Termasuk, hingga detik ini pula Polri tidak punya keberanian membuka kembali SP3 15 korporasi yang dihentikan penyidikannya oleh Polda Riau pada 2015 dan 2016. Temuan Jikalahari lahan ke-15 korporasi itu kembali terbakar pada 2019.
Disegel
Dalam siaran pers, Direktorat Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, 14 Agustus 2019, kembali menyegel 3 lokasi lahan terbakar pada areal konsesi PT MSL di Kabupaten Mempawah serta PT TAS dan PT SPAS Kabupaten Ketapang di Kalimantan Barat. Total lahan terbakar yang disegel 200 hektar. Pekan yang lalu, Ditjen Gakkum KLHK juga menyegel lahan terbakar milik 7 perusahaan perkebunan dan HTI.
“Saat ini kami sudah memberikan surat peringatan kepada 110 pimpinan perusahaan yang lokasinya terindikasi ada titik api. Dan kami menugaskan para pengawas, penyidik dan tim SPORC untuk menindak para pembakar lahan. Mereka harus dihukum seberat-beratnya,” kata Rasio Ridho Sani, Dirjen Gakkum menegaskan komitmen Ditjen Gakkum KLHK, 14 Agustus 2019.
Kebakaran lahan di areal konsesi IUPHHK-HTI milik PT MSL, di Kabupaten Mempawah, mencapai 40 hektar. Kebakaran lahan di lokasi konsesi PT TAS, Kecamatan Tanjung Baik Budi, Kabupaten Ketapang mencapai 100 hektar. Kemudian, kebakaran lahan di konsesi PT SPAS, di Kecamatan Sungai Putri, Kabupaten Ketapang, mencapai 60 hektar. Kebakaran hutan dan lahan sudah terjadi seminggu yang lalu dan masih berlangsung sampai hari ini.
Tim Verifikasi Ditjen Gakkum memasang papan segel di lahan konsesi perusahaan yang terbakar. Konsekuensinya, perusahaan tidak bisa memanfaatkan lahan itu untuk aktivitas usaha.
“Kami sudah memanggil wakil 7 perusahaan yang lahannya sudah disegel sebelumnya untuk meminta klarifikasi terkait adanya kebakaran di areal perusahaan-perusahaan itu,” kata Komandan Brigade SPORC Gakkum Kalimantan Hari Novianto. Kini, penyidik KLHK sudah menetapkan UB sebagai tersangka pembakar lahan seluas 270 hektar di Kubu Raya, Kalimantan Barat.