Menjadikan wisuda anak-anak sebagai pilihan merupakan kebijakan keliru. Hal ini dapat menimbulkan beban ekonomi, sosial, dan mental bagi anak-anak miskin.
Oleh
HARDIUS USMAN
·4 menit baca
Wisuda merupakan upacara pelantikan bagi mereka yang telah menyelesaikan pendidikan, dan lazimnya diperuntukkan bagi para lulusan dari perguruan tinggi. Pengakuan akademik ini memberikan kebanggaan, sebab diperoleh setelah berjuang dalam proses pendidikan yang panjang. Selain itu, wisuda merupakan pertanda seseorang telah siap memasuki dunia baru, yaitu dunia kerja, tempat mereka menerapkan pengetahuan dan keterampilan yang didapat di bangku sekolah.
Akan tetapi, sekarang, makna dan value wisuda menjadi tergeser kalau tidak boleh dikatakan ”hilang”, ketika anak-anak yang baru lulus pendidikan anak usia dini (PAUD) sudah diwisuda. Jadi tidak mengherankan jika suara-suara yang menolak wisuda lulusan PAUD sampai SMA sering sekali terdengar.
Namun, setelah sekian ”musim” penolakan disuarakan, wisuda anak-anak itu tetap berlangsung. Kemendikbudristek tampaknya belum mau melarang kegiatan tersebut, dan memandang kegiatan tersebut sebagai pilihan. Untuk meminimalisasi dampak negatif yang mungkin timbul, Kemendikbudristek mengimbau agar pihak sekolah dapat berkomunikasi dan bekerja sama dengan komite sekolah dan persatuan orangtua murid dan guru (POMG), sesuai dengan Peraturan Mendikbud Nomor 75 Tahun 2016.
Wisuda merupakan momen yang prestisius, dan manusia menyukai sesuatu yang prestisius. Oleh karena itu, wisuda dapat menjadi ajang adu gengsi antarsekolah, yang berakibat sekolah cenderung memilih untuk melaksanakannya. Kondisi ini dapat berdampak menimbulkan ”pemaksaan” pelaksanaan wisuda, yang bagi sebagian orangtua sangat membebani.
Si miskin tak bersuara
Walau kegiatan bersama, seperti wisuda, didiskusikan dengan komite sekolah, keputusan yang diambil tidak menjamin selalu sesuai dengan kondisi atau keinginan setiap orangtua. Kita hidup di negara demokrasi, yang terbiasa membuat keputusan berdasarkan suara terbanyak. Masalahnya, sebagian besar sekolah di Indonesia mempunyai murid dengan latar belakang ekonomi yang heterogen. Tidak sedikit sekolah negeri khususnya, mempunyai murid yang hidup dalam kemiskinan.
Mengingat tingkat kemiskinan di Indonesia hanya sekitar 9,57 persen, anak-anak miskin akan menjadi kelompok minoritas di sekolah. Ketika komite sekolah memutuskan berdasarkan suara terbanyak untuk menggelar acara wisuda, anak-anak miskin terpaksa mematuhi keputusan tersebut. Dari mana biaya wisuda anak-anak miskin ini? Hanya dua pilihan, berutang atau menjual aset. Akhirnya, wisuda membuat orang-orang miskin makin dalam terjerembap di jurang kemiskinan.
Mengingat tingkat kemiskinan di Indonesia hanya sekitar 9,57 persen, anak-anak miskin akan menjadi kelompok minoritas di sekolah.
Salah satu karakter orang miskin yang menonjol adalah diam. Mereka tidak akan bersuara atas apa pun yang membebaninya. Bertanya kepada pak RT sekalipun tidak dilakukan, ketika mereka tidak mendapat bantuan langsung tunai (BLT) atau sembako. Mungkin inilah yang menyebabkan oknum-oknum dengan ”tenang” menyelewengkan hak-hak mereka.
Kalau televisi mempertontonkan orang-orang yang berteriak-teriak karena tidak mendapat bantuan, perlu dicek lagi apakah mereka benar-benar miskin. Memahami karakter orang miskin dan menyikapinya dengan bijak merupakan kewajiban bagi mereka yang tidak miskin, termasuk sekolah dalam memutuskan pelaksanaan wisuda.
Penghambat anak miskin
Pendidikan anak-anak merupakan kunci untuk mengurangi kemiskinan. Oleh karena itu, semua pihak wajib untuk menjaga anak-anak, khususnya yang berasal dari keluarga miskin, untuk tetap berada di sekolah, setidaknya hingga tamat SMA. Segala bentuk hambatan yang menghalangi mereka untuk tetap duduk di bangku sekolah harus dihilangkan.
Hambatan utama anak-anak miskin berada di sekolah adalah faktor ekonomi. Pemerintah telah berusaha untuk meringankan beban orang miskin, setidaknya melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) dan Program Keluarga Harapan (PKH). Sayangnya, masih dijumpai anak-anak miskin yang tidak menikmati hak mereka. Dampak salah sasaran ini membawa konsekuensi besar di masa yang akan datang karena dapat melanggengkan kemiskinan.
Penghapusan biaya sekolah dan bantuan pemerintah sangat signifikan menjaga anak-anak miskin tetap bersekolah. Akan tetapi, berbagai pengeluaran lain untuk sekolah telah dan masih menjadi isu karena membebani perekonomian rumah tangga, yang berpotensi mengeluarkan anak-anak miskin dari sekolah, seperti biaya membeli seragam, sepatu, buku, transportasi, atau kegiatan ekstrakulikuler.
Munculnya biaya untuk wisuda tentu akan semakin menyulitkan orang miskin untuk mempertahankan anak-anak mereka di sekolah. Sebagaimana Kemendikbudristek, mungkin saja sekolah menjadikan wisuda sebagai kegiatan pilihan. Sekalipun sekolah tidak memaksa siswa yang tidak mampu untuk ikut wisuda, betapa beratnya beban mental dan psikologis dari seorang anak yang tidak dapat mengikuti kegiatan yang penuh kegembiraan dan sukacita lantaran orangtuanya tidak mempunyai uang.
Menjaga anak miskin di sekolah
Kita semua tentu menginginkan kemiskinan ”pergi” dari negeri yang kaya ini. Semua hanya mungkin jika kita mampu menjaga anak-anak miskin tetap di sekolah agar mereka siap ketika harus bersaing di pasar tenaga kerja. Bagi anak-anak miskin, mendapat PKH dan KIP tentu sangat membantu mereka bertahan di sekolah, tetapi bukan berarti semua rintangan hilang.
Hambatan bagi mereka bukan hanya segala sesuatu yang menyangkut biaya pendidikan, melainkan juga permasalahan hidup sehari-hari. Banyak di antara mereka yang sulit belajar karena tidak ada listrik terpaksa harus bekerja untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga, dan sebagainya.
Risiko mereka untuk meninggalkan bangku sekolah sangat besar jika kita tidak menjaga mereka dengan sungguh-sungguh. Oleh karena itu, memperbaiki tata kelola pemberian PKH dan KIP, khususnya agar bantuan tepat sasaran, merupakan syarat mutlak jika kita ingin kemiskinan hilang dari Bumi Pertiwi. Bersamaan dengan itu, berbagai upaya juga harus dilakukan agar rumah tangga miskin tidak terbebani lagi oleh biaya-biaya lain. Sekecil apa pun biaya itu akan terasa berat jika ditanggung oleh keluarga miskin.
Setiap kegiatan yang dilakukan di sekolah, baik kurikuler maupun non-kurikuler, seharusnya tidak mendiskriminasikan anak-anak miskin. Tidak boleh ada seorang anak pun yang terpaksa tidak mengikuti suatu kegiatan sekolah hanya lantaran tidak mempunyai biaya untuk berpartisipasi.
Semua anak harus mendapat kesempatan yang sama untuk menggali potensi yang ada di dalam dirinya melalui kegiatan-kegiatan di sekolah. Bukankah sebuah ironi, jika berbagai kegiatan sekolah yang tentu sangat penting dalam membentuk seorang anak, justru menjadi penyebab anak-anak miskin putus sekolah? Wajib belajar harus dimaknai seorang anak hanya perlu dirinya untuk menjadi pintar. Selebihnya diurus oleh pemerintah.
Jadi, wisuda boleh saja dilakukan jika setiap anak tidak dibebani biaya apa pun. Jika Kemendikbudristek tidak dapat menjamin hal tersebut, sebaiknya wisuda dilarang secara eksplisit. Menjadikan wisuda anak-anak sebagai pilihan merupakan kebijakan keliru, yang dapat menimbulkan beban ekonomi, sosial, dan mental bagi anak-anak miskin. Kembalikanlah nilai-nilai wisuda ke ”tempat” semula.