Wisuda tingkat taman kanak-kanak menjadi fenomena yang kerap dijumpai saat ini. Namun, banyak pihak yang mengeluhkan hal ini karena menghabiskan biaya dan memberatkan orangtua.
Oleh
SAIFUL RIJAL YUNUS
·5 menit baca
Seperti banyak di daerah lain di Indonesia, ribuan anak di taman kanak-kanak di wilayah Kendari, Sulawesi Tenggara, ikut menjalani ”wisuda”. Tak tanggung-tanggung, penamatan bocah kisaran usia enam tahun itu berlangsung di tempat rekreasi hingga di hotel mewah. Para orangtua pun mencari cara membayar iuran ratusan ribu hingga jutaan rupiah di tengah berbagai kebutuhan rumah tangga.
Riuh rendah suara ratusan anak memenuhi ruangan utama Hotel Claro Kendari, satu dari segelintir hotel bintang empat di Sulawesi Tenggara, Senin (19/6/2023) pagi. Mereka memakai pakaian adat dari berbagai penjuru Nusantara. Sebagian ”wisudawan-wisudawati” cilik itu tak henti berkejaran.
Sebanyak 256 anak ini memang sedang mengikuti penamatan setelah menjalani satu tahun belajar sebagai siswa-siswi Taman Kanak-kanak (TK) Kuncup Pertiwi Kendari. Sekolah ini merupakan TK swasta yang jadi primadona karena letaknya tepat di tengah kota.
Dari jejeran kursi belakang, Ita (37) mengamati anaknya, Simi (6), yang berada di deretan depan. Sang bocah yang memakai pakaian adat Tolaki, salah satu suku di Sultra, riang bermain bersama rekan-rekannya. Di panggung, pihak sekolah sedang membacakan sambutan.
”Saya di belakang saja sambil jaga adiknya. Lihat dia senang, kita juga senang, mana kita dulu tidak ada wisuda-wisuda begini,” kata Ita menggendong Sanji (2), anak bungsunya.
Ita dan anak-anaknya tiba di Hotel Claro sejak pukul 08.00 Wita. Bersama para orangtua siswa lainnya, mereka memenuhi aula hotel terbesar di Kendari ini. Kegiatan lalu dimulai sekitar dua jam setelahnya.
Selama lebih kurang tiga jam, acara yang bertajuk Penamatan TK Kuncup Pertiwi ini diisi berbagai kegiatan. Anak-anak bergantian menampilkan tarian dan nyanyian. Tidak ketinggalan seremoni penyematan selempang selayaknya wisuda perguruan tinggi.
Menurut Ita, acara penamatan ini telah dibahas sejak jauh-jauh hari bersama pihak sekolah. Dalam pertemuan, mereka sepakat menggelar kegiatan di hotel. Setiap orangtua siswa membayar Rp 500.000.
”Kami memang bayar, tetapi sesuai dengan acaranya. Karena di Hotel Claro, terus undangan ada dua orang dan anak, dan ada makanan. Ada baju juga dari sekolah,” katanya.
Pembayaran ini, ia menambahkan, tidak jauh berbeda dengan sekolah lain yang menggelar acara yang sama. Bahkan, beberapa sekolah menggelar acara di tempat rekreasi atau hotel yang tidak lebih mewah. ”Lagian untuk anak-anak yang sekali seumur hidup, ya, tidak apa-apa. Namun, kalau ada anak yang bersamaan lulusnya, memang cukup berat,” katanya.
Orangtua, kan, tidak sama semua kemampuannya. Seharusnya kegiatan di sekolah saja, tidak perlu sampai bikin di hotel mewah begini.
Orangtua lainnya, Budi (30), bukan nama sebenarnya, beristirahat sejenak di luar ruangan. Ia cukup letih mengikuti kegiatan yang diisi banyak sambutan ini. Meski hadir dan mengikuti rangkaian acara, ia sebenarnya tidak begitu setuju dengan proses penamatan anaknya ini.
Sebab, ia merasa pembayaran yang ada memberatkan dirinya. Uang sebesar Rp 500.000 bisa digunakan untuk berbagai keperluan lain. Apalagi, dirinya pekerja swasta yang hanya mengandalkan gaji bulanan.
”Orangtua, kan, tidak sama semua kemampuannya. Seharusnya kegiatan di sekolah saja, tidak perlu sampai bikin di hotel mewah begini,” ujarnya.
Belum lagi dengan berbagai kebutuhan saat acara berlangsung. Sekali berfoto di bilik foto yang disediakan pihak ketiga memerlukan biaya Rp 50.000. Para penjaja buket juga menggoda anak dengan buket seharga kisaran Rp 200.000 per buah. Bahkan, buket berisi uang pecahan Rp 50.000 dihargai tiga kali lipat.
Hal yang sama diutarakan seorang orangtua lainnya. Di masa tahun ajaran baru, kebutuhan rumah tangga otomatis meningkat. Anak-anak membutuhkan alat tulis, perlengkapan, dan pakaian baru. Kegiatan penamatan anak hanya menambah beban yang seharusnya tidak ada.
”Namun, kalau tidak ikut juga kasihan anak-anak yang temannya pada ikut. Mau tidak mau, kami harus cari uang untuk kebutuhannya,” ucap orangtua yang meminta nama aslinya tidak disebutkan. ”Enggak enak sama sekolah,” bisiknya.
Kepala Sekolah TK Kuncup Pertiwi Tin Lalilanurung menuturkan, dasar kegiatan ini adalah program rutin setiap tahun saat siswa melaksanakan penamatan. Tidak hanya di jenjang TK, tetapi juga di semua tingkatan hingga menengah atas. Selain itu, hal ini terlaksana atas kesepakatan orangtua murid dan dewan guru. Kegiatan ini bertujuan mempererat silaturahim, termasuk antara sekolah, orangtua, dan pemerintah.
Ia menambahkan, untuk biaya kegiatan ini semua adalah kontribusi orangtua murid. Berdasarkan kesepakatan, kegiatan digelar di Hotel Claro seperti dilaksanakan hari ini. ”Saya merasa bangga berdiri di depan semua tamu undangan dan berterima kasih kepada orangtua yang telah menitipkan anaknya kepada kami,” tutur Tin.
Dihubungi terpisah, Ketua Komisi III DPRD Kendari La Ode Muhammad Rajab Jinik menegaskan, wisuda untuk anak TK, bahkan hingga SMA, merupakan pemborosan anggaran yang sangat memberatkan orangtua. Hal ini juga dinilainya ”memaksa” anak-anak untuk bergaya hidup mewah dan jauh dari kesederhanaan.
Wisuda tersebut, tambah Rajab, hanya tradisi yang dibuat oleh sekolah dan komite. Parahnya lagi, kegiatan ini mewajibkan pembayaran yang dipatok merata. Akibatnya, semua orangtua siswa mau tidak mau mengikuti kegiatan dengan bayaran yang cukup besar.
”Laporan kami ada yang membayar Rp 350.000, bahkan sampai Rp 1 juta. Itu sama sekali tidak patut. Bagaimana hal ini untuk orangtua yang tidak mampu? Kalau tidak ikut, anak mereka kasihan juga. Jadi, mereka cari cara untuk bisa ikut dengan bayaran tersebut,” ucapnya.
Di sisi lain, Kemendikbud tidak pernah menginstruksikan untuk menyelenggarakan kegiatan seperti ini. Artinya, wisuda bagi anak-anak di berbagai jenjang ini memang tidak memiliki manfaat sama sekali. Bahkan, lekat dengan dugaan pungutan liar.
”Kami jadwalkan untuk memanggil para kepala sekolah dan dinas pekan depan. Ke depannya, kami akan keluarkan surat edaran untuk tidak lagi membuat kegiatan serupa ini dan, jika memang ada pelanggaran, akan kami adukan ke pihak berwajib,” tuturnya.
Tidak hanya di Kendari, fenomena wisuda untuk anak dari berbagai tingkatan ini banyak dikeluhkan masyarakat di penjuru Nusantara. Komentar dan protes akan hal ini memenuhi laman akun media sosial Instagram Mendikbudristek Nadiem Makarim. Mereka melaporkan prosesi wisuda yang hanya memboroskan anggaran dan memberatkan orangtua siswa.
Dari dalam ruangan aula Phinisi Hotel Claro Kendari, nyanyian anak-anak terdengar mengalun. ”Wahai engkau guruku, karena jasamu kudapat banyak ilmu. Hanya doa-doa yang teriring untukmu...”.