Menuju Ekosistem Pasar Karbon yang Kuat dan Dinamis
Pasar karbon adalah alat untuk pencapaian target emisi dan pembangunan Indonesia yang rendah karbon. Indonesia harus mengikuti best practice dengan sinergi yang kuat antara pemerintah, swasta dan masyarakat madani.
Menjelang peluncuran pasar karbon di bulan September 2023, riuh diskursus di ranah publik terkait filosofi dan desain pasar karbon semakin mengemuka. Berbagai perangkat regulasi turunan dari Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Nilai Ekonomi Karbon telah mulai diterbitkan.
Rancangan peraturan Otoritas Jasa Keuangan (RPOJK) terkait dengan penyelenggaraan pasar karbon juga sedang dalam tahap konsultasi dengan DPR.
Konvergensi kebijakan semakin tampak dan Indonesia secara perlahan tetapi pasti membangun ekosistem pasar karbon yang kuat dan dinamis, untuk mewujudkan aspirasi yang tidak hanya berkontribusi secara signifikan dalam perjuangan menghadapi krisis iklim dunia, tetapi juga untuk menjadi sentra perdagangan karbon di level regional dan global.
Baca juga : Perdagangan Karbon Disiapkan
Ilmu ekonomi mengajarkan bahwa seyogianya emisi adalah eksternalitas negatif yang menghasilkan kegagalan pasar (market failure). Dalam kondisi ini, biaya sosial (social costs) lebih besar daripada biaya privat (private costs).
Akibatnya, tanpa intervensi kebijakan untuk menginternalisasi eksternalitas negatif tersebut, produksi barang dan jasa dengan eksternalitas negatif akan overproduced.
Inilah yang terjadi selama ratusan tahun sejak revolusi industri, sehingga berujung pada krisis iklim saat ini.
Pada tahun 1920, ekonom Arthur Pigou menyodorkan konsep untuk mengenakan pajak kepada pelaku emisi senilai biaya sosial yang dihasilkannya (Pigouvian tax).
Alternatif kebijakan lain adalah mengalokasikan jatah untuk beremisi kepada entitas bisnis yang diregulasi untuk kemudian mekanisme pasar memayungi jual beli antara entitas bisnis yang surplus dan defisit (cap-and-trade system).
Sistem manakah yang lebih optimal? Pajak terhadap emisi memiliki kelebihan berupa kemudahan administrasi dan sinyal harga karbon yang eksplisit. Rezim pajak ini digunakan oleh Singapura.
Sementara Uni Eropa lebih bersandar pada sistem cap-and-trade di mana kelebihannya adalah level emisi yang ditargetkan dikontrol secara eksogen oleh regulator serta pembentukan harga karbon yang lebih efisien.
Pasar karbon seyogianya adalah alat untuk mencapai target penurunan emisi seperti yang dikomitmenkan di nationally determined contribution (NDC) setiap negara.
Publik acap mengira bahwa kredit karbon untuk keperluan offset adalah kunci bagi krisis iklim. Pemikiran ini kurang tepat karena offset sendiri berarti pengimbangan.
Kunci pengendalian emisi melalui pasar karbon adalah pasar karbon kepatuhan (mandatory) di mana yang diperjualkan adalah izin emisi, dan ekosistem tersebut didukung oleh pasar offset dan pajak karbon yang memadai.
Artikel opini Kompas oleh Rachmat Witoelar, mantan Menteri Lingkungan Hidup RI, (6/7/2023) sangat tepat menyatakan bahwa pasar sukarela (voluntary) di mana terjadi perdagangan karbon tanpa adanya corresponding adjustment (CA) dapat dikapitalisasi untuk pencapaian NDC Indonesia.
Artikel opini Kompas oleh Analis Kebijakan Ahli Utama Bidang Perubahan Iklim Direktorat Jenderal Penyelenggaraan Pos dan Informatika Joko Prihatno (10/7/2023) juga tidak salah menyebutkan perlunya pasar karbon yang berlandaskan kesepakatan di bawah The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Artinya, pasar sukarela dan pasar yang berlandaskan pada Article 6 kesepakatan UNFCCC dapat berjalan beriringan. Pasar sukarela bukanlah pasar ilegal, dan Indonesia dapat mengambil keuntungan penuh pasar sukarela ini bagi pencapaian NDC-nya dari pasar sukarela.
Pasar sukarela bukanlah pasar ilegal, dan Indonesia dapat mengambil keuntungan penuh pasar sukarela ini bagi pencapaian NDC-nya dari pasar sukarela.
Tak hanya kehutanan
Jamak dipahami oleh publik bahwa pasar karbon merujuk pada kredit karbon yang dihasilkan sektor hutan. Pemahaman ini perlu dilengkapi.
Sektor non-hutan seperti energi juga memiliki potensi yang sangat besar sebagai kredit karbon, sebagai contoh, dari sektor energi terbarukan yang penggunaannya masih relatif rendah di Indonesia. Pergeseran penggunaan energi dari yang berbasiskan fosil menjadi energi terbarukan dapat dinilai kelayakannya untuk penerbitan kredit karbon.
Potensi luar biasa juga dimiliki Indonesia dari depleted reservoirs dan saline aquifers untuk carboncapture and storage (CCS).
Seiring waktu, biaya teknologi CCS akan semakin murah dan potensi penerbitan kredit karbon akan semakin terbuka.
Ketiga, potensi kredit karbon dari pemensiunan dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Just Energy Transition Partnership (JETP) yang diumumkan di G20 Bali Summit 2022 memasukkan pemensiunan dini PLTU sebagai salah satu area investasi.
Emisi masa depan yang menurun akibat pemensiunan dini PLTU dapat diajukan sebagai kredit karbon. Yang terpenting dari semua penerbitan kredit karbon adalah metodologi yang sahih dan robust, serta aspek additionality yang dapat dibuktikan —yaitu bahwa kegiatan tersebut tidak akan terjadi tanpa adanya kredit karbon.
Tata kelola terintegrasi dan lintas-sektoral
Nilai ekonomi karbon secara inheren memang lintas-sektoral. Artinya diperlukan sebuah kerangka tata kelola terintegrasi yang dapat mengakomodasi komplikasi manajemen nilai ekonomi karbon.
Sebagai contoh, pasar karbon kepatuhan tidak dapat menggunakan pendekatan sektoral.
Saat ini Indonesia baru memiliki pasar karbon kepatuhan untuk sub-sektor pembangkit tenaga listrik. Ke depannya dengan tergabungnya sektor-sektor lain di pasar karbon kepatuhan, maka penanganan harus terintegrasi karena prinsip one price, one market, multiple sectors sebagai best practice bagi izin emisi di pasar karbon kepatuhan harus diterapkan.
Ini membutuhkan kerangka kelembagaan yang lebih lintas-sektoral daripada yang ada saat ini. Konsep Rumah Karbon oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dapat menjadi embrio bagi struktur kelembagaan yang lintas-sektoral ke depannya.
Kealpaan dalam mempersiapkan kerangka kelembagaan yang terintegrasi di masa depan akan memunculkan risiko signifikan bottleneck dalam kegiatan investasi hijau terkait kredit karbon.
Dibutuhkan peta jalan (roadmap) dan lini masa (timeline) untuk membentuk badan koordinasi perdagangan karbon agar risiko backlog dan processing time untuk investasi proyek kredit karbon dapat dikurangi, serta integrasi sektor hulu dan hilir dalam nilai ekonomi karbon dapat dikonsolidasikan dengan lebih efisien.
Tendensi untuk overregulating harus dihindari. Prinsip keterbukaan harus dikedepankan. Indonesia tidak akan bisa menjadi global hub bilamana ekosistem pasar karbonnya tidak akomodatif terhadap perkembangan dunia.
Prinsip pembangunan ekosistem pasar karbon
Filosofi utama adalah simplicity is key. Perangkat peraturan dan kelembagaan nilai ekonomi karbon yang dikeluarkan harus mendorong ekosistem pasar karbon yang efektif dan efisien.
Tendensi untuk overregulating harus dihindari. Prinsip keterbukaan harus dikedepankan. Indonesia tidak akan bisa menjadi global hub bilamana ekosistem pasar karbonnya tidak akomodatif terhadap perkembangan dunia.
Indonesia harus bisa memenuhi standar internasional untuk kredit karbon. Kerja sama dengan entitas akreditasi internasional dapat mengakselerasi proses ini, sehingga kapasitas institusi (institutional capacity) dan suplai sumber daya manusia (SDM) berkualitas (human capital) untuk industri terkait nilai ekonomi karbon dapat terpenuhi.
Terakhir, ekosistem pasar karbon harus berlandaskan teknologi yang state-of-the-art.
Dua teknologi inti harus digunakan yaitu blockchain untuk pencatatan sepanjang lifecyle dari kredit karbon serta satelit untuk membantu proses measurement, monitoring, reporting dan verification kredit karbon.
Pasar karbon bukan endgame. Pasar karbon juga bukan residual NDC. Pasar karbon adalah alat untuk pencapaian target emisi dan pembangunan Indonesia yang rendah karbon.
Indonesia harus mengikuti best practice yang ada, dengan sinergi yang kuat antara pemerintah, swasta dan masyarakat madani (civil society).
Di bawah koordinasi Menteri Koordinator Bidang Maritim dan Investasi selaku ketua Komite Pengarah Pelaksanaan Nilai Ekonomi Karbon sebagaimana dimandatkan Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021, pemerintah terus berupaya agar Indonesia dapat mendesain dan mengaplikasikan instrumen nilai ekonomi karbon secara konstruktif dan optimal.
Dibutuhkan pendekatan komprehensif yang terintegrasi sehingga ketika semua pemain global yang lain berkompetisi, kita tidak hanya diam, tertinggal dan gigit jari.
Edo MahendraPenasihat Khusus Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Bidang Carbon Trading, Kepala Sekretariat Just Energy Transition Partnership (JETP)