Pasar Karbon Harus Kredibel
Rencana pemerintah meluncurkan bursa karbon pada September 2023 sangat rasional karena pentingnya perdagangan karbon offset secara lebih transparan, akuntabel, tidak mengabaikan Pasal 33 UUD 1945, dan bersifat inklusif.
Belum lama ini pemerintah mengeluarkan peraturan Menteri LHK Nomor 7 Tahun 2023 terkait perdagangan karbon sektor kehutanan.
Publik ada yang menyikapi positif dan ada pula yang negatif, terutama mereka yang sudah menikmati keuntungan besar dalam pengaturan rezim Protokol Kyoto melalui partisipasi sukarela.
Kenapa sukarela karena negara berkembang seperti Indonesia yang tergabung dalam Non Annex I belum berkewajiban untuk berkomitmen dan melaporkan upaya pengurangan emisi dalam pengurangan emisi global. Adapun negara maju dalam Annex I dan Annex II diwajibkan dan melaporkan pengurangan emisi setiap tahun dalam jumlah tertentu.
Negara berkembang dapat berpartisipasi melalui proyek CDM atau Aforestasi/Reforestasi CDM atau kegiatan proyek lainnya dengan mengikuti aturan yang telah ditetapkan Badan Eksekutif CDM dalam Protokol Kyoto. Hasil pengurangan emisi dari aksi mitigasi pada CDM dan proyek lainnya dapat dibeli negara maju untuk memenuhi kewajiban mereka.
Ada juga proyek atau kegiatan sukarela dalam pengurangan emisi GRK yang dilaksanakan entitas publik dan difasilitasi oleh lembaga pemilik program mitigasi perubahan iklim dalam pengurangan emisi GRK. Contohnya Verra, Gold Standard, dan Plan Vivo.
Baca juga : Pasar Karbon Hutan Sukarela: "Take It or Lose It"
Setelah Protokol Kyoto periode komitmen kedua berakhir tahun 2020, periode proyek yang masih berlaku sampai 2027 dapat ditransisikan ke mekanisme pasar Perjanjian Paris (Paris Agreement). Bersamaan dengan berakhirnya Protokol Kyoto, mulai Januari 2021 berlaku penuh Perjanjian Paris bagi semua negara yang telah meratifikasi.
Dalam keputusan Konferensi Para Pihak Peratifikasi Perjanjian Paris (CMA) 3 dan 4 telah ditegaskan bahwa negara anggota Perjanjian Paris dapat bekerja sama dengan negara pihak di luar negeri, termasuk entitas publiknya.
Kerja sama tersebut untuk mendukung implementasi dan pencapaian Nationally Determined Contribution (NDC) dan meningkatkan ambisi para pihak melalui kerja sama investasi, peningkatan kapasitas dan transfer teknologi yang sebagian hasil aksi mitigasinya dapat ditransfer ke luar negeri.
Kerja sama tersebut untuk pencapaian target NDC atau tujuan internasional lainnya seperti Corsia dan tujuan sukarela lainnya. Dalam rezim Perjanjian Paris semua negara sama kewajibannya dalam menurunkan emisi sesuai yang ditetapkan dalam NDC dan dilaporkan ke Sekretariat UNFCCC.
Ilustrasi
Mengingat saat ini semua negara berkewajiban menurunkan emisi sesuai target NDC, maka keputusan CMA 3 dan 4 sangat bermanfaat dan mendorong banyak negara bekerja sama dalam pengurangan emisi GRK. CMA 3 dan 4 mengatur para pihak yang meratifikasi Perjanjian Paris. Berbeda dengan rezim Protokol Kyoto di mana negara berkembang berikut entitas publiknya tidak berkewajiban menurunkan emisi GRK.
Oleh karena itu, sidang perubahan iklim, termasuk agenda Conference of the Parties Peratifikasi Perubahan Iklim (UNFCCC) hanya mendiskusikan bagaimana peran para pihak, termasuk entitas publik, dalam upaya penurunan emisi secara mandatori. Pembahasan tersebut baik dalam hal penyiapan pedoman, metodologi, mekanisme, sistem registrasi, kelembagaan dan tata cara bekerja sama dalam mekanisme pasar maupun nonpasar yang diatur dalam Article 6.
Semua modalitas tersebut secara garis besar telah tersedia melalui keputusan CMA 3 dan 4, tetapi masih terus dilengkapi melalui berbagai agenda persidangan dan workshop agar 2024 dapat beroperasi penuh.
Para anggota UNFCCC dan Perjanjian Paris sedang bekerja keras menyiapkan dan melengkapi berbagai modalitas, serta beberapa negara maju, seperti AS, Kanada, Australia, Inggris, Jepang, Korea, dan Selandia Baru, telah menjalin komunikasi dengan Indonesia untuk mengidentifikasi peluang uji coba dan implementasi kerja sama mekanisme pasar melalui Article 6.2 dan 6.4.
Niat baik mereka perlu disikapi positif dengan implementasi bersama keputusan CMA 3 dan 4 selama menguntungkan kedua pihak, terutama dalam upaya pengurangan emisi GRK dan mendukung ekonomi untuk program dan kegiatan.
Mengingat saat ini semua negara berkewajiban menurunkan emisi sesuai target NDC, maka keputusan CMA 3 dan 4 sangat bermanfaat dan mendorong banyak negara bekerja sama dalam pengurangan emisi GRK.
Peluang kerja sama ini perlu kita dorong untuk investasi di Indonesia, mendukung aksi mitigasi, pencapaian target NDC, serta meningkatkan ambisi di sektor kehutanan, energi, IPPU, limbah dan pertanian.
Di pihak lain, Verra, Gold Standard, Plan Vivo, dan sebagainya terus melebarkan target publik untuk kerja sama dalam pengurangan emisi GRK, termasuk di Indonesia. Peraturan Presiden Nomor 98 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan NEK untuk Pencapaian Target NDC dan Pengendalian Emisi untuk Pembangunan Nasional telah mengatur bahwa lembaga pemilik skema sertifikasi pengurangan emisi GRK tersebut dalam melakukan kerja sama sesuai norma pengaturan pada Perpres No 98/ 2021. Hal ini berarti Verra, Gold Standard, dan Plan Vivo dapat bekerja sama mutual recognition dengan cara membuka Sistem MRV agar sesuai aturan CMA 3, CMA 4, dan nasional.
Perdagangan karbon
Instrumen kendali untuk menjamin transparansi, kualitas kredit karbon, dan integritas lingkungan telah diatur dalam Permen LHK Nomor 21 Tahun 2022 tentang Tata Laksana Penerapan Nilai Ekonomi Karbon. Ada empat instrumen kendali, yaitu: (1) wajib didaftarkan dalam SRN PPI; (2) MRV sesuai peraturan yang berlaku; (3) penerbitan sertifikat pengurangan emisi GRK atau penetapan batas atas emisi GRK; (4) otorisasi oleh Menteri LHK dan ada corresponding adjustment.
Khusus terkait otorisasi, keputusan 2 dan 3 CMA 3 dan keputusan 6 dan 7 CMA 4 telah mengatur bahwa transfer unit karbon keluar negeri harus diotorisasi oleh negara dalam hal ini National Focal Point untuk UNFCCC, yaitu KLHK.
KLHK mewakili negara untuk corresponding adjustment atas penerbitan SPE GRK, transfer karbon ke luar negeri, pembelian SPE GRK dari pihak lain terhadap yang teregister di SRN PPI sehingga terjadi emission balance accounting.
Corresponding adjustment bertujuan untuk transparansi, menghindari double counting, dan menguji sistem MRV untuk memastikan terwujudnya integritas lingkungan yang tinggi.
Ilustrasi
Pengurangan emisi GRK yang lokasi proyeknya di Indonesia tetapi sertifikatnya diterbitkan oleh lembaga lain, seperti Verra, Gold Standard, dan Plan Vivo, maka lembaga tersebut harus bekerja sama saling pengakuan, kemudian pelaku usaha mendaftarkan di SRN PPI serta menggunakan validator dan verifikator yang diakreditasi oleh KAN atau UNFCCC.
Hal ini penting mengingat adanya pemberitaan negatif terkait sertifikat unit karbon oleh Verra. Hasil kajian The University of Cambridge Inggris dan The North Caroline State University menunjukkan, penerbitan VCS Verra untuk penurunan emisi dari deforestasi, proyek karbon hutan yang diterbitkan VCS-nya oleh Verra, 94 persen merupakan kredit siluman. Padahal, ini digunakan dalam program dekarbonisasi oleh perusahaan internasional (The Guardian dalam Bisnis Forum, 2023).
Secara global dunia harus mengurangi emisi 43 persen pada tahun 2030 agar suhu tidak lebih dari 1.5 derajat celsius dibanding tingkat emisi praindustri. Cara memenuhinya dengan mitigasi sendiri atau membeli kredit karbon yang berkualitas. Tantangannya adalah kredit karbon yang disediakan oleh Verra dalam VCM sekitar 171 megaton CO2 tahun 2021 diindikasikan ada penurunan kualitas, kredibilitas dan transparansi (World Economic Forum, 2022).
Menuju NZE harus dipastikan bahwa capaian NDC pada track yang benar dan tepat (OECD, 2021). Peran instrumen kendali dalam perdagangan karbon luar negeri sangat penting dan prioritas diterapkan.
Indonesia sebagai satu dari tiga negara dengan hutan hujan tropis terbesar dianggap menjadi salah satu penyuplai karbon offset terbesar dunia dengan harga sangat murah. Sayang situasi ini hanya dilihat oleh segelintir pelaku usaha karena belum diaturnya perdagangan karbon offset di Indonesia.
Indonesia sebagai satu dari tiga negara dengan hutan hujan tropis terbesar dianggap menjadi salah satu penyuplai karbon offset terbesar dunia dengan harga sangat murah.
Bisnis karbon hutan
Di era tanpa peraturan, berbondong-bondong pelaku internasional menggaet pelaku bisnis lokal dan menangguk keuntungan. Hal ini jelas tidak mengindahkan Pasal 33 UUD 1945, di mana karbon seharusnya dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat. Transaksi yang sangat besar mengalir deras ke kantong-kantong pelaku usaha dengan membayar pajak penghasilan dan PNBP, tetapi belum diatur pembagian manfaat sebagaimana dimandatkan Perpres No 98/2021. Perlu diatur tentang ini untuk kemanfaatan bersama.
Di era kabinet sekarang, ada perbaikan dengan menetapkan komitmen yang transparan dan terbuka sebagai engagement dari multi-stakeholder, dengan komitmen sesuai dokumen NDC dan berdasarkan UU Nomor 16 tahun 2016 tentang ratifikasi Perjanjian Paris. Indonesia berkomitmen untuk menata dan memastikan pengelolaan sumber daya alam sesuai
Pasal 33 UUD 1945. Semua itu diatur dalam Perpres No 98/2021 yang sudah mengakomodasi berbagai kepentingan stakeholder.
Indonesia secara collective collegial bertransformasi dari non-regulated system menjadi regulated system, terutama dalam perdagangan karbon hutan (offset credit). Situasi inilah yang saat ini menjadi dinamika tersendiri sebagai respons oleh pelaku usaha yang sudah lama rezim Protokol Kyoto dan kini seperti dipaksa masuk serta bertransformasi ke rezim Perjanjian Paris.
Memang tidak mudah dan perlu komitmen lebih luas apabila Indonesia mau menempatkan diri pada posisi the biggest supplier carbon offset global. Suplai yang sangat banyak dan dengan harga sangat murah tentu bukan pilihan bijak.
Indonesia harus bisa menjadi penyuplai karbon offset dengan harga premium dan berkelanjutan. Fenomena ini mulai terlihat dengan semakin banyaknya pihak yang mulai peduli dengan hutan Indonesia, banyak program rehabilitasi hutan, revegetasi dan penguatan sumber daya hutan. Ini sangat menggembirakan meski kendali tetap perlu dilakukan.
Dinamika positif semakin menguat 2023 setelah muncul Perpres No 98/2021, Permen LHK No 21/2022, Permen LHK Nomor 7 Tahun 2023, dan dalam waktu dekat akan diterbitkan RPOJK terkait perdagangan karbon melalui bursa karbon di Indonesia. Skenario ini sebenarnya perlu disikapi berbagai stakeholder secara positif.
Rencana pemerintah meluncurkan bursa karbon pada September 2023 adalah sangat rasional karena pentingnya perdagangan karbon offset secara lebih transparan, akuntabel, tidak mengabaikan Pasal 33 UUD 1945, serta memberikan kesempatan sama bagi setiap warga negara mendapatkan keuntungan yang fair dan terbuka.
RPOJK yang sedang dalam proses konsultasi kepada DPR serta Permen LHK No 21/2022 dan Permen LHK No 7/2023 secara substansional terus dibangun dengan koherensi dan sinkronisasi, mengakomodasi hal-hal yang menjadi dispute public, termasuk isu corresponding adjustment dan otorisasi.
Catatan dan masukan publik sudah diakomodasi untuk penerapan prinsip-prinsip TACCC (transparency, accuracy, completeness, comparability) sehingga seharusnya tidak perlu ada keraguan.
Joko PrihatnoAnalis Kebijakan Ahli Utama Bidang Perubahan Iklim Ditjen PPI