Pasar Karbon Hutan Sukarela: "Take It or Lose It"
Pasar karbon sukarela diperkirakan akan terus berkembang, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia. Pemerintah menyadari kenyataan bahwa potensi perdagangan karbon hutan Indonesia sangatlah besar.
Pasar karbon, termasuk karbon hutan, pada intinya dibagi dua, yaitu pasar karbon kepatuhan (mandatory) dan pasar karbon sukarela (voluntary).
Pasar karbon kepatuhan adalah pasar karbon yang diatur oleh rezim pengurangan karbon nasional, regional, atau internasional. Rezim pengurangan karbon internasional dimaksud adalah Konvensi Kerangka Kerja PBB tentang Perubahan Iklim atau The United Nations Framework Convention on Climate Change (UNFCCC).
Pasar karbon sukarela merupakan perdagangan kredit karbon, di mana negara pembeli diwajibkan untuk membeli offset kredit karbonnya dari negara penjual untuk ”menghalalkan” kelebihan emisi gas rumah kaca (GRK) mereka. Beberapa negara telah melakukan hal seperti itu, seperti Inggris, Korea Selatan, Jepang, Australia, Selandia Baru, Amerika Serikat (California dan Washington), dan China.
Pasar karbon sukarela adalah pasar karbon yang tidak terikat dengan aturan-aturan yang dibuat UNFCCC. Kredit karbon dijual dan dibeli oleh suatu entitas tertentu (biasanya business to business/B to B) atas dasar sukarela.
Tidak ada dasar hukum untuk berpartisipasi di dalam pasar ini, tetapi semata-mata didasarkan pada komitmen sukarela untuk mengimbangi jejak karbon mereka.
Baca juga : Perdagangan Karbon Masih Lambat Tekan Emisi
Para pelaku bisnis senantiasa menjaga citra atau meningkatkan jenama perusahaannya agar dipandang memiliki perhatian terhadap lingkungan yang bersih dan bebas dari emisi GRK.
Komitmen tersebut bisa berasal dari tekanan publik atau kehendak pelaku usaha sendiri untuk mengurangi jejak emisi GRK mereka sendiri menuju emisi nol bersih pada tahun 2050. Memang efeknya belum terlihat di dalam pasar karbon sukarela, tetapi diantisipasi akan terus berkembang.
Contoh-contoh pasar karbon sukarela adalah Emissions Trading System (ETS), Verified Carbon Standard (VCS), Gold Standard, Plan Vivo, dan Community and Biodiversity Standards (CCBS).
Sesuai dengan hukum ekonomi, pasar adalah tempat bertemunya penjual dan pembeli. Harga yang terbentuk merupakan keseimbangan antara penawaran dan permintaan.
Harga akan naik kalau permintaan lebih besar dari penawaran dan sebaliknya. Demikian pula yang terjadi dengan pasar karbon. Kecenderungan yang terjadi saat ini adalah permintaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu.
Pasar karbon sukarela diperkirakan akan terus berkembang, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di berbagai belahan dunia. Menurut kajian UNFCCC, pada tahun 2020 sekitar seribu perusahaan besar telah menyatakan diri untuk melakukan emisi bersih pada tahun 2030. Jumlah ini meningkat menjadi 1.400 perusahaan besar pada tahun 2021, dan 1.850 perusahaan pada tahun 2022.
Prospek pasar karbon sukarela tampaknya tidak bisa dikesampingkan. Menurut Anderson (2023), permintaan karbon dari pasar sukarela akan meningkat antara lima kali lipat sampai 15 kali lipat pada tahun 2030 karena kesulitan di negara maju untuk mencapai target nationally determined contribution (NDC) atau komitmen setiap negara pihak terhadap Persetujuan Paris-nya.
Selanjutnya, McKinsey memperkirakan bahwa permintaan global tahunan untuk karbon kredit dapat mencapai 1,5 miliar metrik ton hingga 2 miliar metrik ton CO2 pada tahun 2030 dan bisa mencapai 7 miliar metrik ton hingga 13 miliar metrik ton pada pertengahan abad ini.
Pemerintah Indonesia tidak berniat menutup peluang penjualan karbon hutannya ke luar negeri, tetapi berusaha untuk mengaturnya sesuai dengan kesepakatan global dan hukum-hukum positif di dalam negeri. Pemerintah menyadari kenyataan bahwa potensi perdagangan karbon hutan Indonesia sangatlah besar.
Sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33, potensi ini harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat dan pembangunan negara.
Pemerintah Indonesia tidak berniat menutup peluang penjualan karbon hutannya ke luar negeri, tetapi berusaha untuk mengaturnya sesuai dengan kesepakatan global dan hukum-hukum positif di dalam negeri.
Dalam konteks perubahan iklim, peluang ini bisa dimanfaatkan untuk memperoleh tambahan pendanaan mitigasi dan adaptasi perubahan iklim, meningkatkan ketahanan, dan menurunkan kerentanan akibat dampak perubahan iklim di dalam negeri.
Kerangka kerja dan aturan Pasal 6 (Article 6) Persetujuan Paris menetapkan norma baru untuk aktivitas pasar, serta aturan dan proses akuntansi yang perlu digunakan oleh pasar sukarela untuk memastikan integritas kredit yang digunakan untuk klaim kompensasi.
Saat ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah menyelesaikan peta jalan perdagangan karbon domestik dan internasional.
Peta jalan ini nantinya akan menjadi pegangan bagi para investor perdagangan karbon di Indonesia dan di luar negeri.
Melihat kecenderungan perdagangan karbon internasional ini, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengaku telah mengkaji pelaksanaan perdagangan karbon di Bursa Efek Indonesia, dan merencanakan untuk membuka bursa karbon pada September 2023.
Apa yang perlu dipahami?
Pasar karbon sukarela membuka peluang pendanaan baru untuk menangani krisis iklim di masa depan. Oleh karena itu, menjadi penting ketika sektor kehutanan yang secara de jure menguasai kawasan hutan negara seluas lebih kurang 125 juta hektar dapat meresponsnya dengan sebaik-baiknya.
Meskipun demikian, peluang tersebut terkendala oleh pemahaman yang keliru tentang Pasal 6 Perjanjian Paris, khususnya yang terkait dengan corresponding adjustment (CA). CA adalah penyesuaian perhitungan emisi karbon yang tujuannya untuk memastikan bahwa dua negara tidak menghitung pengurangan emisi yang sama.
Pasal 6 Perjanjian Paris tidak pernah menyebut persyaratan perdagangan karbon sukarela harus dengan menerapkan CA karena transaksi perdagangan karbon ini dilakukan secara B to B (antarperusahaan) untuk memenuhi target net zero emission perusahaan pembeli dan tidak ada kaitannya degan negara asal pembeli tersebut.
Dengan demikian, NDC akan tetap menjadi milik negara tuan rumah (hosting country). Perusahaan pembeli cukup memberitahukan telah membeli offset dari proyek di Indonesia, sementara kredit karbonnya akan tetap berada di Indonesia.
Yang perlu dipahami juga adalah bahwa menyediakan CA untuk pasar sukarela memunculkan beban biaya yang cukup signifikan. Negara tuan rumah harus membangun infrastruktur yang diperlukan, termasuk kapasitas kelembagaan dan teknis, guna mendukung mekanisme ini.
Biayanya pasti tidak murah karena untuk mendapatkan CA diperlukan permintaan resmi kepada Menteri LHK sebagaimana diamanatkan dalam Peraturan Menteri LHK Nomor 21 Tahun 2022. Apabila setiap transaksi harus memerlukan persetujuan menteri terlebih dahulu, prosesnya akan memerlukan tambahan waktu, tenaga, dan biaya.
Oleh karena itu, tanpa menerapkan CA untuk pasar sukarela, Indonesia akan memperoleh keuntungan karena penurunan emisi yang terjadi akibat pasar sukarela akan menjadi bagian penting dari kontribusi terhadap target NDC kita.
Solusi yang bisa dilakukan
Pemerintah bisa mengambil langkah cepat dengan menerapkan masa transisi untuk perdagangan karbon sukarela, khususnya untuk perdagangan karbon hutan sebelum peta perdagangan karbon hutan dapat diselesaikan.
Caranya adalah dengan mengizinkan perusahaan dalam negeri yang telanjur melakukan kontrak perdagangan karbon hutan dengan perusahaan asing. Meski demikian, pelaksanaannya harus tetap mengacu pada mekanisme Sistem Registri Nasional (SRN) yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, yaitu dengan melakukan pendaftaran terlebih dahulu.
Seperti komoditas lainnya, karbon hutan juga perlu divalidasi dan diverifikasi untuk memperoleh pengakuan dan dihargai dengan baik di pasar internasional.
Untuk itu, usulan untuk mengizinkan international registry untuk mengeluarkan sertifikat (misalnya Verra atau Gold Standard) selama masa transisi ini juga bisa dipertimbangkan untuk diterima, sambil melakukan harmonisasi dengan sistem register kita sendiri (SRN) dan dengan tetap mengacu pada ketentuan-ketentuan UNFCCC.
Perdagangan karbon hutan internasional ini merupakan peluang emas untuk memperoleh tambahan pendanaan mitigasi perubahan iklim dan mendukung pencapaian Indonesia NDC 2030, sekaligus mendorong para pebisnis untuk menuju net zero emission.
Kebijakan pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang cepat dan tepat sangat diharapkan oleh semua pihak agar peluang pasar karbon hutan internasional ini tidak berpindah ke negara lain yang memiliki hutan tropis di dunia, seperti Brasil di Amerika Latin dan Republik Demokratik Kongo di Afrika, serta beberapa negara lain.
Rachmat Witoelar Mantan Menteri Lingkungan Hidup RI