Indonesia menjunjung tinggi kebebebasan beragama. Pembangunan atau persiapan masyarakat sipil yang toleran dan inklusif merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan.
Oleh
TOBA SASTRAWAN MANIK
·4 menit baca
Kasus Al-Zaytun yang akhir-akhir ini muncul ke publik menghadirkan satu pertanyaan. Sejauh mana peran negara dalam menggaransi dan memenuhi kebebasan beragama di Indonesia? Tidak hanya kasus Al-Zaytun, Indonesia dalam satu dekade terakhir banyak berhadapan dengan isu-isu keagamaan, sebut saja misalnya tentang ahmadiyah, penganut/penghayat kepercayaan dan keyakinan (agama lokal) yang menimbulkan banyak masalah di akar rumput.
Artinya, di satu sisi kehadiran negara dalam dinamika kehidupan beragama sangat diperlukan. Namun pintu masuk negara dalam mengurus agama tersebut harus jelas dan terbatas agar tidak menimbulkan masalah baru.
Dalam teori-teori politik kontemporer, posisi dan relasi agama terhadap negara demikian juga sebaliknya, menimbulkan polarisasi yang hebat. Penganut teori negara dengan sistem separasi/pemisahan total agama dan negara (sekularisme) dan penganut teori penyatuan (difusi) agama dengan negara (teokrasi) secara praktik kenegaraan menunjukkan dinamika dan polemik yang kompleks.
Indonesia seperti diuraikan Yudi Latif (2016) cukup berhasil mengambil sikap pembedaan (diferensiasi) antara agama dan negara. Artinya, Indonesia bukan negara agama karena tidak berdiri di atas/bersumber dari agama, tetapi juga bukan negara sekuler.
Indonesia memandang agama dan negara harusnya bukan dipisahkan atau disatukan, tetapi dikolaborasikan agar ruang publik dan kehidupan kenegaraan memiliki sumber basis moralitas yang tetap dan stabil (ethernal truth) yang diharapkan diperoleh dari agama. Demikian juga negara diharapkan menjadi penjaga sekaligus penjamin kebebasan beragama warga negara.
Permasalahannya kemudian adalah bagaimana negara menjamin kebebasan beragama tersebut? Apakah negara bisa netral dan adil atau tidak condong terhadap agama tertentu jika ternyata agama yang dianut warga negara tidak satu (beragam)? Lebih spesifik lagi, bagaimana peran negara jika dalam satu agama terdapat perbedaan pemahaman dan tafsir secara internal kemudian berimplikasi kepada perbedaan taraf ritus/ritual keagamaan? Tafsir/pemahaman/ritual agama mana akan dilindungi dan dijamin oleh negara?
Muncul sebuah hipotesis bahwa negara seharusnya tidak berperan untuk memenuhi keyakinan beragama misal dalam bentuk kurikulum pendidikan agama dalam sistem pendidikan karena dianggap akan ”menjebak” peserta didik untuk mengikuti terhadap ajaran tertentu.
Di satu sisi ada kebenaran dalam jawaban tersebut. Hal ini terbukti ketika penghayat kepercayaan sulit mendapatkan pendidikan di lingkungan sekolah formal. Di sisi lain, sikap tersebut sangat ahistoris karena rekonstruksi nasionalisme/kebangsaan Indonesia dibangun di atas aksi dan narasi keagamaan sehingga ada kewajiban negara untuk memenuhi keyakinan/beragama khususnya di Indonesia.
Selain itu, dalam posisi tersebut justru menempatkan negara sebagai seperti negara penjaga malam (nightwacthmaker). Kebebasan beragama dan berkeyakinan akan hidup dan penuh kebebasan, tetapi akan sangat mungkin terjadinya ”perang” keyakinan di ruang publik. Prinsipnya, semakin kuat dan penuh sebuah kebebasan maka semakin dibutuhkan peran negara.
Saya berpendapat bahwa Indonesia saat ini sudah sangat tepat dalam posisi saat ini. Kekurangan dan kelemahan aktualisasi peran negara dalam menjamin dan memenuhi kebebasan berkeyakinan beragama bukan alasan untuk menegasikan eksistensi negara sepenuhnya.
Misal, dalam hal belum/tidak adanya kurikulum agama di luar agama “resmi” di Indonesia bisa dipenuhi dengan kebijakan yang lebih inklusif. Artinya, tidak mewajibkan penganut/penghayat kepercayaan untuk memilih mata pelajaran yang disediakan kurikulum, melainkan membebaskan mereka dengan memberikan alternatif memberikan penugasan yang berkaitan dengan kepercayaannya tersebut dengan melibatkan orangtua atau tokoh kepercayaan di masyarakat atau di keluarga.
Pancasila dengan Sila Pertama Ketuhanan Yang Maha Esa serta Pasal 29 Ayat (1) dan (2) sudah tepat menjadi jalan tengah atas perbedaan separasi (sekuler) atau difusi (teokrasi) dengan gagasan diferensiasi (pembedaan). Posisi ini menempatkan negara dalam posisi netral sekaligus aktif dalam kehidupan beragama. Negara tidak hanya hadir ketika ada laporan tentang keagamaan. Justru negara memastikan perannya untuk memfasilitasi pemenuhan kehidupan beragama/berkeyakinan.
Jalan tengah selanjutnya yang perlu digagas adalah menghindari dikotomi antara agama dan negara. Selalu pertanyaan yang diajukan adalah bagaimana hubungan agama dan negara? Saya pikir hal ini tidak terlalu relevan dalam konteks Indonesia.
Pertama, pertanyaan tersebut disusun atas rekonstruksi pengalaman Eropa/Barat yang memang secara historis menyisakan ingatan sejarah cukup gelap di Barat. Berbeda dengan Indonesia, sejarah membuktikan bahwa agama dan bangsa/negara topang-menopang untuk meraih/mewujudkan kemerdekaan. Kurang arif setelah kita merdeka, muncul keraguan/pertanyaan bagaimana hubungan agama dan negara.
Sejarah membuktikan bahwa agama dan bangsa/negara topang-menopang untuk meraih/mewujudkan kemerdekaan.
Kedua, pertanyaan relasi agama dan negara kurang menempatkan peran penting masyarakat sipil dalam ruang publik. Nyatanya, dalam ruang publik ada aktor lain yakni masyarakat sipil yang sangat penting selain negara.
Nyatanya peran masyarakat sipil sangat penting dalam kehidupan bernegara. ”Civil society creates the groups and pressures for political choice and state legislation, and many ideas of citizenship originate in civil society rather than in the state. Consequently, strong civil societies produce particular institutional structures that bolster citizenship, and civil society constructs much of the citizen-society discourse in terms of rights and obligations” (Thomas Janosky, Citizenship and Civil Society, 1998).
Afirmasinya, pembangunan atau persiapan masyarakat sipil yang toleran dan inklusif merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam kebebasan beragama dan berkeyakinan. Menurut hemat saya pribadi, kesiapan masyarakat sipil yang toleran dan terbuka sangat penting agar negara tidak sering dalam dilema moral.
Kita memerlukan warga negara (masyarakat sipil) sebagai mediator antara agama dan negara yang arif dan bijaksana dalam memandang kebebasan beragama dan berkeyakinan. Warga negara memahami dialektika kebebasan baik secara internum (internal) dan forum eksternum (eksternal). Sehingga kebebasan yang diusung bukan sebuah ruang untuk merasa yakin dan benar sendiri sehingga menuntut orang untuk mengakui dan menerima kebenaran atas keyakinannya tersebut.
Misal, apakah ateis dibenarkan atau sesuai Pancasila di Indonesia? Secara forum internum, itu diterima dan dihormati. Namun secara forum eksternum, orang ateis tersebut akan menghormati Sila Pertama Pancasila sebagai ideologi negara.