Negara, Agama dan Rakyat
Tiga pilar kekuatan negara, rakyat dan agama mesti disatukan untuk membangun Indonesia ke depan. Upaya ini mesti dimulai dari tubuh partai politik yang punya legalitas membentuk pemerintahan. Stop politisasi agama.

-
Rakyat dan agama hadir lebih dahulu sebelum muncul negara. Namun dalam perjalanannya posisi negara bisa tampil lebih kuat dari agama dan rakyat.
Sejak kemerdekaan kita telah bereksperimentasi dengan berbagai model demokrasi dengan ongkos moral-material yang mahal. Di samping menunjukkan dinamika politik, eksperimentasi ini mengindikasikan ekosistem politik kita memang belum mapan dan masih coba-coba. Prinsip meritokrasi tak berjalan seiring dengan demokrasi. Rekrutmen politik untuk duduk pada posisi strategis dalam jajaran legislatif dan eksekutif sarat nuansa relasi patronase, bukannya berdasarkan prinsip meritokrasi dan profesionalisme.
Jika hal ini berkepanjangan potensial melahirkan keresahan politik setiap lima tahunan sehingga momentum pembangunan dan kemajuan bangsa tak terjaga kontinuitasnya. Agenda reformasi yang telah berlangsung satu generasi ternyata meleset dari yang dibayangkan. Banyak putra-putri terbaik bangsa tak diberdayakan dalam jajaran legislatif, eksekutif dan aparat birokrasi pemerintahan.
Agenda reformasi yang telah berlangsung satu generasi ternyata meleset dari yang dibayangkan.
Para ilmuwan kampus pun dibuat sibuk oleh urusan birokrasi dan rutinitas mengajar. Universitas sebagai pusat riset untuk memproduksi ilmu baru hasilnya jauh dari yang diharapkan. Desentralisasi kekuasaan yang semula dibayangkan agar layanan publik semakin pendek, membaik dan efektif, pada praktiknya banyak yang berantakan. Sekian banyak bupati, walikota dan anggota wakil rakyat masuk tahanan karena korupsi.
Negara Indonesia diperjuangkan dan didirikan oleh masyarakat. Bukan hadiah, bukan pula warisan, dari sebuah dinasti atau negara asing. Sebelum negara Republik Indonesia lahir, terdapat puluhan kerajaan atau kesultanan yang berdiri otonom di berbagai pelosok Nusantara. Kesemuanya terpanggil dan suka rela bergabung ke dalam rumah besar Indonesia. Sebuah negara yang didirikan bukan di atas kesamaan agama, budaya, ras, etnis dan bahasa. Melainkan diciptakan identitas baru bernama Indonesia yang di dalamnya terdapat ragam agama, bahasa, dan suku.
Sehingga, muncullah motto: Bhinneka Tunggal Ika. Masing-masing suku bangsa memiliki andil dan sekaligus menaruh harapan serta keyakinan bahwa dengan melebur ke dalam rumah besar Indonesia, kehidupan mereka akan menjadi lebih baik, maju, sejahtera dan damai. Jika sekarang ini sebagian warga Indonesia pendidikan dan ekonominya masih tertinggal, wajar menagih pada negara dan pemerintah.
Baca juga : Pesta Pasti Berakhir
Jika mereka marah dan protes pada pemerintah pusat, pada hal alamnya kaya namun warganya miskin, tindakan mereka sangat wajar dan bisa dimaklumi karena tugas negara adalah melindungi dan menyejahterakan rakyatnya.
Terputusnya masyarakat dan negara
Secara historis-geneologis, negara adalah anak kandung masyarakat. Masyarakat hadir lebih dulu sebelum negara. Namun pada perjalanannya hubungan keduanya tak selalu serasi dan mesra. Masyarakat sering kecewa dan marah pada negara yang dilahirkannya, karena negara tak berbakti dan melayani ibu kandungnya. Negara ingkar akan janji primordialnya untuk melayani, menjaga dan menyejahterakan rakyat yang jadi misi dan tanggung jawabnya. Sebagai sebuah konsep, negara itu abstrak bagi masyarakat, namun kekuasannya riil. Yang dilihat dan dirasakan kehadirannya oleh masyarakat adalah pemerintahannya yang mengemban misi dan fungsi negara. Negara menguasai tanah-air yang jelas wujud dan batasnya. Negara punya legalitas membentuk pemerintahan yang mengatur seluruh aset negara dan kehidupan warganya.
Indonesia yang menganut sistem demokrasi, secara teoretis rakyatlah yang memiliki kedaulatan yang kemudian membentuk pemerintahan dengan mekanisme perwakilan melalui parpol. Lewat pemilu dan pilkada, rakyat memilih pemimpin. Tetapi idealitas demokrasi melalui perwakilan ini jadi bermasalah ketika tingkat pendidikan dan ekonomi rakyat masih rendah sehingga tak memiliki kecerdasan untuk membedakan pemimpin yang baik dari pemimpin yang buruk yang disodorkan parpol.
Mereka juga tak bisa membedakan parpol sehat dan sakit. Lebih parah lagi ketika kondisi parpolnya sendiri sakit sehingga fungsinya bukannya menjembatani rakyat dan negara, tetapi justru memutuskan hubungan keduanya. Di mana legalitas moralnya jika misi parpol adalah membangun pemerintahan yang demokratis dan akuntabel sementara dalam rumah tangganya sendiri tidak demokratis dan akuntabel? Tak logis kita mengharapkan pemerintahan yang bersih jika parpolnya korup.
Jika ini yang terjadi maka tak heran UU politik yang dilahirkan oleh parlemen banyak cacatnya karena memihak kepentingan mereka dan pemodal.

Warga melintas di sekitar mural yang menggambarkan tentang orang yang berebut kekuasaan di pagar tembok di Penjaringan, Jakarta, Selasa (21/2/2017).
Saat ini muncul fenomena neo-dinasti dalam tubuh parpol. Para pendirinya merasa memiliki karena mereka yang mencari uang untuk menghidupi dan membesarkannya. Karena ongkosnya besar, tidak jarang dibebankan pada mereka yang ingin mendapatkan boardingpass untuk maju bertarung di lembaga legislatif maupun eksekutif.
Parpol yang mestinya menjadi jembatan penghubung antara rakyat dan negara telah dibajak oleh koalisi oligarki dan elite parpol untuk instrumen memenuhi agenda mereka. Contoh yang paling nyata dan buruk adalah setiap menjelang pemilu dan pilkada elite-elite parpol mendatangi pesantren dan tokoh-tokoh agama dalam rangka menjaring suara dukungan politik rakyat dengan imbalan uang.
Dengan kata lain, elite politik dan elite agama tanpa disadari telah bersekongkol melakukan pembusukan kehidupan demokrasi. Bukan rahasia lagi bahwa untuk ikut bertarung dalam pilkada seorang calon bupati mesti menyiapkan uang minimal dua ratus miliar rupiah. Uang sebanyak itu tidak mungkin bisa dibayar kembali dengan mengandalkan gaji bulanan jika dirinya terpilih.
Dengan kata lain, elite politik dan elite agama tanpa disadari telah bersekongkol melakukan pembusukan kehidupan demokrasi.
Kembalikan kedaulatan rakyat
Dalam Al Quran terdapat perintah sangat jelas dan tegas agar setiap orang menegakkan keadilan, lebih khusus lagi bagi seorang pemimpin. Membela keadilan artinya memperjuangkan hak seseorang yang memang menjadi miliknya yang terampas. Adapun orang yang berbuat baik artinya dia berbagi kebaikan yang dia miliki untuk orang lain.
Oleh karena itu dalam Al Quran bobot nilai perjuangan menegakkan keadilan lebih diutamakan dibanding berbuat kebaikan. Sampai-sampai ada semacam konsensus di kalangan ulama, pemimpin yang adil lebih baik ketimbang pemimpin yang baik dan saleh tetapi lembek dalam memperjuangkan keadilan. Sebab, kesalehan itu lebih bersifat pribadi, sedangkan keadilan itu berdampak luas bagi kebaikan masyarakat. Tentu saja pemimpin yang baik, cerdas dan adil jauh lebih diutamakan.
Nilai-nilai ideal Pancasila, agama dan kemanusiaan ketiganya bertemu bahwa negara dan pemerintah mengemban tugas sangat mulia untuk mencerdaskan, menyejahterakan dan melindungi warganya. Pemerintah adalah petugas negara dan pelayan rakyat. Rakyat yang memiliki kedaulatan yang dilembagakan ke dalam negara, kemudian negara dan rakyat memercayakan pada pemerintah untuk mengawal dan mewujudkan janji dan cita-cita kemerdekaan yang diabadikan dalam UUD 1945. Aspirasi rakyat itu dikanalisasi melalui parpol.
Menjadi masalah serius dalam kehidupan bernegara jika parpol yang berperan sebagai kanal itu mampet sehingga aspirasi rakyat tidak tersalur dengan benar.
Baca juga : Mentereng di Luar, Remuk di Dalam
Ambiguitas peran agama
Peran agama sering ambigu, pendulumnya sering bergerak antara tampil sebagai kekuatan moral dan instrumen ideologis untuk merebut kekuasaan.
Pada mulanya semua agama mengajarkan konsep ketuhanan, nilai-nilai moral dan pedoman ritual. Dalam konteks Islam, ketika semakin berkembang dan memunculkan permusuhan yang ditujukan pada Muhammad dan pengikutnya, kemudian Islam juga dijadikan identitas diri dan kelompok untuk membangun kohesivitas dan solidaritas sesama mereka.
Sepeninggal nabi Muhammad, ketika perkembangan Islam semakin ekspansif dan meluas ke luar wilayah Mekkah-Madinah, Islam juga menjadi sumber amunisi gerakan ideologis untuk memperebutkan sumber ekonomi dan kekuasaan politik ke daerah baru. Ideologi sukuisme, militerisme dan dakwah keagamaan saling berkelindan sulit dipisahkan. Tidak mengherankan jika lembaran sejarah Islam sering menampilkan cerita perang dan penaklukan.
Beruntunglah penyebaran Islam ke Indonesia dilakukan oleh para pedagang, sehingga berlangsung damai karena prinsip pedagang adalah memperbanyak kawan untuk memperluas jejaring perdagangan, bukan peperangan. Sebelum Islam yang lahir di abad keenam ini datang ke wilayah Nusantara, masyarakatnya sudah memiliki peradaban dan penghayatan spiritualitas tinggi.

Bahkan candi Hindu dan Buddha yang paling indah dibangun di Indonesia. Jadi kearifan hidup dan nilai-nilai agama sudah mengakar di masyarakat kita. Kenyataan ini diperkuat lagi oleh sikap negara yang memberikan tempat sangat terhormat pada agama karena pesan dasar agama memang semestinya dihormati mengingat tujuan agama adalah untuk memuliakan manusia.
Namun peran agama sebagai penenang hati, penggerak peradaban dan juru damai bisa berubah drastis ketika pendulum geraknya ditarik ke wilayah ideologis di tangan para politisi yang haus kekuasaan, dan bukannya yang memiliki semangat pelayanan.
Saya rasa sekarang ini rakyat sudah mulai pintar dan sadar, ceramah-ceramah agama yang mengajak berantem dan menebar kebencian lama-lama akan ditinggalkan pendengarnya. Energi bangsa ini sudah terlalu banyak terkuras untuk urusan hal-hal yang bodoh dan merugikan rakyat.
Tiga pilar kekuatan negara, rakyat dan agama mesti disatukan untuk membangun Indonesia ke depan. Upaya ini mesti dimulai dari tubuh partai politik yang punya akses dan legalitas membentuk pemerintahan. UU politik dan kepartaian yang memutuskan hubungan rakyat dan negara mesti direvisi. Stop politisasi agama sebagai sumber amunisi kontestasi perebutan kekuasaan.
Komaruddin HidayatRektor Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII)

Komaruddin Hidayat