Lampu Kuning Indonesia dari Desa
Dalam tahun politik ini, seyogianya kontestasi politik diarahkan untuk menawarkan satu visi dan misi untuk menyelesaikan persoalan ketimpangan, pengangguran, dan pembangunan kualitas manusia yang lebih baik ke depan.
Eskalasi politik Indonesia mulai tinggi. Politisi sibuk melakukan konsolidasi guna mematangkan strategi politik agar partai dan pasangan capres-cawapres yang diusung bisa menang. Suara pro-kontra antarpendukung mulai dinamis di perbincangan media sosial dan warung kopi.
Eskalasi politik di atas, jika tidak dikelola dengan baik, bisa berdampak buruk bagi pembangunan dan kehidupan berbangsa dan bernegara. Diperlukan kewaspadaan semua pihak untuk mengantisipasi hal-hal yang tak diinginkan bersama. Dari pojok Indonesia, desa sebagai fondasi memberikan peringatan lampu kuning.
Tiga peringatan
Mengapa desa memberikan peringatan lampu kuning kepada Indonesia? Jawabannya karena ukuran-ukuran sensitif pembangunan saat ini berada di bawah angka normal.
Ukuran-ukuran sensitif itu adalah ketimpangan (indeks rasio gini), angka pengangguran (persentase pengangguran terbuka), dan Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Dua ukuran pertama adalah masalah pembangunan yang sensitif dan lebih banyak disebabkan persoalan struktural (Todaro, 2003).
Dalam konteks ini, kebijakan pembangunan yang tidak tepat sasaran akan berdampak terhadap tingginya angka ketimpangan dan pengangguran.
Sementara, IPM lebih melihat ukuran keberhasilan pembangunan dalam upaya kualitas hidup manusia (Davies dan Quinlivan, 2008). Ukuran ini menjelaskan bagaimana penduduk dapat mengakses hasil pembangunan dalam memperoleh pendapatan, kesehatan, pendidikan, dan sebagainya.
Baca juga: Puncak Labirin Ketimpangan
Dua tahun terakhir, media menyoroti banyaknya program pemerintah (pusat dan daerah) yang meleset dari target warga (subyek) yang berhak memperoleh. Namun, kondisi paradoks ditunjukkan pemerintah melalui angka-angka makro capaian pembangunan yang jauh berbeda dari realitas.
Misalnya, Badan Pusat Statistik (2022) melansir angka ketimpangan 0,381 (ketimpangan rendah) dan tingkat pengangguran terbuka 5,86 persen (2022).
Angka-angka capaian makro di atas berbeda dengan hasil studi penulis bersama Tim Peneliti IPB University di 10 provinsi, 21 kabupaten, dan 171 desa (di luar Pulau Maluku dan Papua) yang memotret secara mikro (berangkat dari desa) sepanjang dua tahun terakhir.
Dengan menggunakan konsep Data Desa Presisi (DDP) yang menggabungkan pendekatan sensus, spasial, partisipatif, dan menghasilkan big data desa. Big data desa ini menunjukkan angka ketimpangan dan tingkat pengangguran terbuka berbeda dengan laporan BPS.
Secara umum, hasil studi yang dilakukan menunjukkan angka ketimpangan di perdesaan Indonesia teridentifikasi dari ketimpangan sedang (antara 0,40 dan 0,50) dan ketimpangan tinggi (di atas 0,5). Angka ketimpangan tinggi terdapat di desa-desa Kalimantan (0,71), Bali dan Nusa Tenggara (0,67), Sumatera (0,59), dan Jawa (0,53). Hanya Sulawesi yang memiliki angka ketimpangan rendah (0,48).
Demikian halnya dengan tingkat pengangguran terbuka. Hasil studi kami menyebutkan hanya Kalimantan yang memiliki tingkat pengangguran terbuka di perdesaan di bawah persentase dua digit (9,91 persen).
Empat pulau lain berada di atas persentase dua digit, seperti Sumatera (13,20 persen), Jawa (12,60 persen), Bali dan Nusa Tenggara (22,31 persen), serta Sulawesi (19,88 persen).
Mengapa terjadi situasi dan kondisi seperti ini? Pertama, pandemi Covid-19 masih menyisakan persoalan sosial-ekonomi yang belum sepenuhnya tuntas di perdesaan. Meski banyak pengamat mengatakan Covid-19 adalah momentum berbenah, respons dan konstruksi sosial-ekonomi setelah Covid-19 belum merepresentasikan arah pembenahan dan perbaikan yang fundamental.
Ini terlihat dari belum adanya skema besar kebijakan pemerintah tentang pembangunan agromaritim yang merupakan fondasi ekonomi di perdesaan (73,14 persen desa bertipologi pertanian dan 15,11 persen bertipologi pesisir).
Alhasil, sebagian kecil orang yang memiliki akses kapital memadai dengan bebas mengakumulasi kapital yang menyebabkan terjadinya ketimpangan sedang hingga tinggi. Ditambah tumbangnya sektor-sektor ekonomi formal dan pariwisata yang menyebabkan pengangguran terbuka yang tak sedikit.
Dua, lemahnya skema kebijakan pemerintah terkait orientasi pemanfaatan dana desa untuk pembangunan sumber daya ekonomi berbasis agromaritim di perdesaan.
Kondisi ini tampak terlihat di lapangan, di mana upaya konsolidasi tidak maksimal untuk membangkitkan ekonomi perdesaan berbasis agromaritim sebagai fondasi ekonomi Indonesia. Padahal, OECD telah mengingatkan bahwa masa depan pertumbuhan ekonomi ada di perdesaan.
Kondisi paradoks tidak hanya terjadi pada ketimpangan dan pengangguran, tetapi juga hitungan makro IPM.
Kondisi paradoks tidak hanya terjadi pada ketimpangan dan pengangguran, tetapi juga hitungan makro IPM. Pada tahun 2022, BPS merilis IPM sebesar 72,91 atau masuk dalam kategori tinggi. Hasil penelitian yang kami lakukan dengan memanfaatkan DDP berbeda. Teridentifikasi IPM di perdesaan Indonesia sebesar 61,96 atau masuk dalam kategori sedang.
Desa-desa di Pulau Sumatera merupakan perdesaan yang memiliki IPM tertinggi (68,25) dibandingkan perdesaan di pulau lainnya. IPM terendah di perdesaan Bali dan Nusa Tenggara, yakni 53,88.
Perbedaan poin IPM di atas tidak terlalu jauh, tetapi memiliki signifikansi terhadap kualitas SDM Indonesia. Kenyataan di lapangan menunjukkan tak sedikit penduduk usia sekolah, tetapi tidak sekolah. Juga penduduk usia lewat wajib belajar 12 tahun, tetapi belum tamat sekolah lanjutan tingkat atas.
Begitu pun kondisi pelayanan kesehatan warga yang belum tersentuh dengan baik, serta kemampuan daya beli warga yang masih kurang karena penghasilan yang jauh dari ideal.
Merespons peringatan
Penjelasan di atas bukan bermaksud untuk membenturkan hasil penghitungan yang bersumber dari dua data yang berbeda pendekatan (makro dengan mikro), tetapi lebih kepada mewaspadai kondisi yang ada agar tidak terjadi kesalahan dalam merespons tahun politik. Kesalahan membaca kondisi dan situasi bisa berakibat pada kesalahan kebijakan dan cara merawat bangsa ini ke depan.
Oleh karena itu, desa telah memberikan peringatan berupa lampu kuning kepada para aktor yang berkontestasi di tahun politik agar memiliki kepekaan dan kesadaran bersama perihal pentingnya kehati-hatian dalam melangkah ke depan. Kondisi ketimpangan, pengangguran, dan pembangunan manusia perlu dijadikan pemantik untuk membenahi beberapa hal.
Pertama, saatnya para kontestan politik memikirkan pentingnya data desa presisi sebagai pintu masuk membangun big data di Indonesia. Visi big data adalah visi keniscayaan untuk membangun bangsa ini dengan presisi sehingga terhindar dari kesalahan membaca situasi dan kondisi, serta kesalahan dalam perencanaan yang berdampak terhadap alokasi APBN dan APBD yang tidak tepat sasaran.
Kedua, angka-angka ukuran sensitif pembangunan di perdesaan (ketimpangan sedang, pengangguran terbuka yang menyentuh dua digit persen, dan IPM dengan kategori sedang) adalah kondisi yang merepresentasikan Indonesia.
Dalam tahun politik ini, seyogianya menjadi kesadaran bersama agar kontestasi politik tak diarahkan kepada pertikaian atau konflik anak bangsa, tetapi kontestasi yang menawarkan satu visi dan misi untuk menyelesaikan persoalan ketimpangan, pengangguran, dan pembangunan kualitas manusia yang lebih baik ke depan.
Ketiga, peradaban suatu bangsa dilihat dari seberapa banyak inovasi yang dimiliki bangsa tersebut digunakan untuk menyelesaikan ragam persoalan yang hadir.
Baca juga: Kompetensi dan Ketimpangan Pembangunan Daerah Jadi Pekerjaan Rumah
Perguruan tinggi (PT) sebagai mesin inovasi sudah waktunya diberdayakan untuk berperan serta dalam mengatasi persoalan ketimpangan, pengangguran, dan pembangunan manusia. Melalui ragam instrumen yang ada saat ini, PT bisa langsung beraksi bersama warga untuk bergotong royong menyelesaikan masalah-masalah di perdesaan.
Peringatan berupa lampu kuning dari desa sudah tersampaikan. Tinggal sejauh mana para aktor kontestan politik dan kita semua mau mempertimbangkan peringatan lampu kuning tersebut.
Sofyan Sjaf,Dekan Fakultas Ekologi Manusia (FEMA), Sosiolog Pedesaan IPB University