Orkestrasi Fiskal-Moneter
Pada era dominasi fiskal ini, independensi bank sentral relatif berkurang. Namun, jika diorkestrasikan dengan baik, hal itu justru membuka peluang mendorong pertumbuhan yang lebih optimal.
Tak ada yang benar-benar baru di bawah langit ini. Begitu pun tantangan perekonomian global belakangan ini. Satu per satu persoalan pernah kita alami. Namun, kombinasi beberapa masalah ke depan tampaknya belum pernah terjadi sebelumnya. Inflasi tinggi untuk waktu lama (higher-for-longer), instabilitas sektor keuangan, dan perlambatan global adalah kombinasi mematikan.
Nouriel Roubini menyebutnya sebagai trilemma, di mana kebijakan moneter saja tak mungkin menyelesaikannya (mission impossible). Kerumitan ini memerlukan ramuan kebijakan baru, kombinasi kebijakan fiskal dan moneter.
Bank of International Settlement (BIS) membahas persoalan tersebut dalam Annual Economic Report, Juni 2023, dengan mengetengahkan istilah area stabilitas (region of stability). Intinya, kebijakan fiskal dan moneter harus bersinergi memandu dinamika ekonomi dalam perjalanan ke depan yang penuh tantangan.
Kebijakan fiskal dan moneter harus bersinergi memandu dinamika ekonomi dalam perjalanan ke depan yang penuh tantangan.
Meski tantangan tidak segawat negara maju, urgensi sinergi kebijakan fiskal dan moneter juga meningkat di negara berkembang, seperti Indonesia. Berbeda dengan banyak negara maju yang punya persoalan utama stabilitas, baik dalam hal harga (inflasi) maupun sektor keuangan, tantangan perekonomian Indonesia lebih pada mendorong pertumbuhan yang berkualitas.
Untuk mencapai tujuan tersebut, stabilitas harga dan sektor keuangan harus dikelola dengan baik. Urgensi orkestrasi kebijakan fiskal-moneter tetap tinggi meski fokusnya tak lagi di area stabilitas, tetapi pertumbuhan.
Dominasi fiskal
Pandemi Covid-19 adalah milestone bagi kebijakan ekonomi. Jika sebelumnya sektor moneter lebih dominan (monetary dominance), pascapandemi dominasinya bergeser ke arah fiskal (fiscal dominance) dan sektor keuangan (finance dominance).
Pandemi mengakselerasi campur tangan pemerintah dalam perekonomian yang bagi negara maju bahkan sudah terjadi sejak krisis finansial global 2008. Pandemi menambah beban fiskal. Hal ini ditandai dengan meningkatnya rasio utang pemerintah terhadap perekonomian hampir di seluruh dunia.
Konsekuensinya, kebijakan moneter tidak lagi independen seperti sebelumnya. Kebijakan menaikkan suku bunga guna menahan laju inflasi harus memperhitungkan dampaknya pada peningkatan beban fiskal. Apalagi, krisis akibat pandemi juga mengubah area permainan, di mana bank sentral juga harus turut menanggung beban (burden sharing).
Kenaikan rasio utang tak hanya menimpa neraca pemerintah, tetapi juga neraca perusahaan (termasuk perbankan), rumah tangga (household), dan neraca bank sentral itu sendiri. Keraguan menaikkan suku bunga dialami hampir semua bank sentral, khususnya di negara maju. Banyak kritik pada bank sentral negara maju yang dinilai lambat merespons kenaikan inflasi.
Konsekuensinya, kebijakan moneter tidak lagi independen seperti sebelumnya. Kebijakan menaikkan suku bunga guna menahan laju inflasi harus memperhitungkan dampaknya pada peningkatan beban fiskal.
Salah satu teka-teki yang paling banyak ditunggu pelaku pasar adalah kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat (The Fed) pada Juli ini. Banyak pihak memprediksi, The Fed akan menaikkan kembali suku bunganya setelah beberapa bulan ditahan.
Perlu diingat, The Fed menahan kenaikan suku bunga setelah munculnya gejolak pasar keuangan terkait jatuhnya beberapa bank regional di AS, seperti Silicon Valley Bank (SVB), First Republic, dan Signature Bank.
Pada Juli ini, The Fed diperkirakan akan menaikkan kembali suku bunga mengingat inflasi masih dianggap terlalu tinggi dibandingkan dengan rujukan sebesar 2 persen. Apalagi, perekonomian AS cukup sehat karena pengangguran hanya 3,7 persen. Oleh karena itu, kebijakan moneter bisa lebih fokus menurunkan harga.
Baca juga : Hilirisasi dan Paradoks Daya Saing
Perekonomian domestik
Bagaimana dampaknya pada perekonomian kita?
Secara umum, perekonomian domestik cukup baik dan resilien terhadap gejolak global. Saat ini, bahkan arah kebijakan Bank Indonesia sudah mulai longgar meski suku bunga rujukan belum diturunkan.
Pada Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI), Juni lalu, diputuskan BI 7-day reverse repo rate (BI7DRR) dipertahankan pada 5,75 persen, sementara suku bunga deposit facility sebesar 5 persen dan suku bunga lending facility sebesar 6,50 persen.
Meski kebijakan moneter tak mengalami perubahan, Bank Indonesia memainkan instrumen makroprudensialnya dengan memberikan insentif likuiditas bank penyalur kredit pada berbagai sektor terpilih. Sektor-sektor itu, antara lain, hilirisasi (pertambangan, pertanian, perkebunan, dan perikanan), perumahan, serta pariwisata.
Bank Indonesia juga mendorong inklusi keuangan melalui insentif kredit untuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM); kredit usaha rakyat (KUR); serta pendanaan pada ekonomi-keuangan hijau.
Baca juga: Dedolarisasi dan Deglobalisasi
Awal 2023 ini, Bank Indonesia menghadapi situasi baru dengan ditetapkannya Undang-Undang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (P2SK). Sebagaimana diatur dalam omnibus law sektor keuangan ini, tujuan Bank Indonesia adalah mencapai stabilitas nilai rupiah, memelihara stabilitas sistem pembayaran, dan turut menjaga stabilitas sistem keuangan dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
Jika sebelumnya tugas Bank Indonesia hanya menjaga stabilitas nilai tukar, kini lebih kompleks. Bank Indonesia juga harus bertanggung jawab pada stabilitas sistem pembayaran, sistem keuangan dan mendukung pertumbuhan berkelanjutan. Untuk dua aspek terakhir, koordinasi dengan kebijakan fiskal menjadi penting.
Bank Indonesia memainkan instrumen makroprudensialnya dengan memberikan insentif likuiditas bank penyalur kredit pada berbagai sektor terpilih.
Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2023 sebesar 4,9 persen, sementara Dana Moneter Internasional 5 persen. Di tengah perlambatan global, ekonomi domestik masih punya prospek menjanjikan dalam jangka pendek, menengah, dan panjang. Orkestrasi kebijakan fiskal-moneter menjadi salah satu jangkar guna menciptakan stabilitas dan pertumbuhan.
Apalagi jika dikaitkan dengan target keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah menyongsong Indonesia Emas 2045, kebijakan fiskal dan moneter harus berada dalam area yang sama. Dengan demikian, racikannya bisa ditentukan guna mengoptimalkan potensi pertumbuhan.
Di era dominasi fiskal ini, independensi bank sentral memang relatif berkurang. Namun, jika diorkestrasikan dengan baik justru membuka peluang mendorong pertumbuhan lebih optimal.
Ke depan, kebijakan makroprudensial akan menjadi salah satu jangkar kebijakan Bank Indonesia. Di sanalah interaksi dengan kebijakan fiskal dan industrial terjadi, guna menjaga stabilitas di satu sisi dan mendorong pertumbuhan berkualitas di sisi lain.
A Prasetyantoko, Pengajar di Unika Atma Jaya