Komplikasi Pemberantasan Korupsi
Solusi terbaik bagi Presiden dalam menyelamatkan KPK adalah mengganti pimpinan KPK sesuai masa jabatan sebelumnya 2019-2023 dan memilih pimpinan KPK yang memiliki semangat pemberantasan korupsi untuk periode 2023-2028.

Ilustrasi
”Dunia tidak akan dihancurkan oleh mereka yang melakukan kejahatan, tetapi oleh mereka yang hanya menyaksikan tanpa berbuat apa-apa”.
Albert Einstein
Ungkapan Einstein itu melahirkan tanggung jawab bagi setiap pemangku kebijakan untuk selalu mengambil kebijakan terbaik untuk masyarakat dan tak membiarkan kerusakan terus terjadi.
Salah satu permasalahan krusial di Indonesia yang perlu ditangani sebaik-baiknya dan sesegera mungkin ialah permasalahan di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Kontroversi tentang perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK oleh Mahkamah Konstitusi (MK), pimpinan KPK yang diperiksa Dewan Pengawas (Dewas) KPK, mantan Deputi Penindakan KPK yang menyidik dugaan tindak pidana yang dilakukan pimpinan KPK, dan bahkan sampai menurunnya kepercayaan terhadap KPK yang dianggap ”dikendalikan secara politik”.
Masa jabatan
Salah satu permasalahan krusial adalah perpanjangan masa jabatan KPK dalam Putusan MK No 112/PUU-XX/ 2022. Sebelum mendiskusikan substansi putusan MK tersebut, permasalahan pertama adalah apakah pimpinan KPK yang dilantik tahun 2019 terikat oleh putusan MK.
Pada dasarnya, putusan MK berlaku prospektif atau berlaku ke depan. Oleh karena itu, sudah seharusnya putusan MK ini berlaku untuk pimpinan KPK di masa yang akan datang.
Hal ini seperti perubahan Undang-Undang (UU) KPK tahun 2019 yang berpengaruh terhadap pimpinan KPK yang telah dipilih tahun 2019.
Pada September 2019, DPR telah menetapkan lima unsur pimpinan KPK. Salah satunya, Nurul Ghufron, berusia 45 tahun. Pada Oktober 2019, UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK disahkan oleh DPR. Pasal 29 huruf e UU KPK setelah perubahan mensyaratkan komisioner KPK berusia minimal 50 tahun.
Akibatnya, Nurul Ghufron yang telah dipilih DPR, namun belum dilantik oleh Presiden, tidak lagi memenuhi syarat menjadi pimpinan KPK sesuai dengan UU KPK terbaru.
Salah satu permasalahan krusial di Indonesia yang perlu ditangani sebaik-baiknya dan sesegera mungkin ialah permasalahan di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Namun, UU KPK setelah perubahan dianggap tak dapat berlaku surut terhadap pemilihan Nurul Ghufron yang telah dilalui sebelumnya. Karena itu, pada 20 Desember 2019, Nurul Ghufron dilantik sebagai komisioner KPK oleh Presiden.
Seharusnya, dengan logika prospektif yang sama, putusan MK tak dapat berlaku terhadap pimpinan KPK yang dilantik 2019 karena surat keputusan (SK) pimpinan KPK saat ini sudah ditetapkan sejak Desember 2019 sampai dengan Desember 2023. Jika pemerintah konsisten dengan pelantikan pada 2019, maka 2023 ini seharusnya tetap dilakukan pemilihan serta pelantikan pimpinan KPK. Baru kemudian, di masa yang akan datang memberlakukan putusan MK.
Sekalipun memang dalam putusan MK terdapat pertimbangan bahwa jabatan pimpinan KPK akan berakhir dalam waktu enam bulan, penting bagi MK untuk segera membuat keputusan. Jadi, seakan-akan putusan tersebut memang khusus untuk pimpinan periode saat ini. Hal ini tidak mengejutkan ketika yang menguji adalah Nurul Ghufron, unsur pimpinan KPK yang masih menjabat.
Dalam mengabulkan permohonan Nurul Ghufron pun, MK diwarnai perbedaan pendapat di antara para hakim MK. Empat hakim MK memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) mengenai perpanjangan masa jabatan pimpinan KPK. Perbedaan pendapat ini cukup sengit, hanya selisih satu suara.

Kedua kubu hakim MK setuju bahwa KPK merupakan lembaga yang memenuhi klausul constitutional important, yakni institusi yang tidak diatur dalam UUD 1945, tetapi dianggap penting secara konstitusional sebagaimana ada dalam ratio decidendi Putusan MK 016-019/PUU-IV/2006.
Oleh karena itu, pembahasan mengenai masa jabatan ini jadi penting. Hakim MK yang mengabulkan permohonan mendasarkan pertimbangan bahwa jika masa jabatan pimpinan KPK empat tahun, pimpinan KPK bisa terpilih dua kali dalam satu masa jabatan Presiden dan DPR sehingga akan memengaruhi independensi KPK.
Contoh yang dibuat hakim MK adalah pada masa jabatan Presiden dan DPR tahun 2019-2024. Presiden dan DPR dapat memilih pimpinan KPK dua kali, yakni 2019 dan 2024. Pertimbangan ini jelas keliru secara formal ataupun materiel.
Secara formal, pemilihan pimpinan KPK pada 2019 dilakukan Presiden dan DPR pada masa jabatan 2014-2019. Panitia seleksi dibentuk oleh Presiden pada Juli 2019 dan dipilih oleh DPR pada September 2019. Sementara DPR dilantik pada 1 Oktober 2019 dan Presiden dilantik pada 20 Oktober 2019.
Desember 2019 merupakan pelantikan KPK yang dilakukan oleh Presiden dengan periode berbeda. Seharusnya, jika mau mencontohkan, MK bisa menggunakan pemilihan pimpinan KPK periode 2015 dan 2019.
Baca juga : MK Tidak Memperpanjang Masa Jabatan Pimpinan KPK
Namun, pertimbangan tersebut juga tidak relevan dengan putusan MK sebelumnya. Pada Putusan MK Nomor 70/PUU- XVII/2019 yang sebelumnya dibahas dalam Putusan MK 016-019/PUU-IV/2006, dipertegas mengenai Pasal 1 angka 3 UU KPK, di mana KPK merupakan lembaga negara rumpun eksekutif yang bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan mana pun.
Independensi KPK ini kemudian diwujudkan dalam bentuk pemilihan pimpinan dan berbagai kewenangan KPK yang tak melibatkan rumpun mana pun.
Keempat hakim MK dalam pendapat hakim yang berbeda mengatakan bahwa independensi suatu lembaga negara itu dapat diukur pada dua hal.
Pertama, pengisian anggota komisioner tak didasarkan pada kehendak lembaga yang mengisinya, namun diatur secara khusus. Pada syarat ini, pansel komisioner yang dibentuk oleh pemerintah, kemudian diusulkan kepada DPR untuk dipilih, menunjukkan ada dua lembaga terlibat dalam menentukan.
Kedua, susunan anggota tak berasal dari parpol tertentu. Dalam konteks ini, syarat yang juga sudah dijabarkan di UU KPK sudah menjamin independensi. Dengan begitu, ukuran masa jabatan tak memengaruhi independensi KPK. Dengan pertimbangan tersebut, seharusnya pemerintah tetap melakukan pemilihan pimpinan KPK periode 2023.

Hal ini didasari pada berbagai kejadian yang menerpa pimpinan KPK. Beberapa komisioner telah diperiksa Dewas KPK. Bahkan, salah satu komisioner mengundurkan diri sebelum diperiksa Dewas KPK. Bahkan, terdapat dugaan kebocoran data penyidikan.
Pasal 36 dan Pasal 65 UU KPK memberikan ancaman pidana bagi pimpinan KPK yang melakukan hubungan, baik langsung maupun tak langsung, dengan tersangka atau pihak lain yang terkait dengan perkara tindak pidana korupsi. Pasal 66 UU KPK juga berlaku terhadap pegawai KPK yang melakukan hubungan tersebut. Bocornya data penyidikan dapat diduga memenuhi tindak pidana ini.
Uniknya, kasus ini kemudian disidik Polda Metro Jaya, di mana pimpinan Polda Metro merupakan mantan Deputi Penindakan KPK. Terlebih, Dewas KPK mengungkap ada dugaan pungli di rumah tahanan KPK.
Menyelamatkan KPK
Kompleksitas KPK membutuhkan napas baru pemberantasan korupsi. Jika kompleksitas KPK ini dipertahankan, ditakutkan akan meruntuhkan kepercayaan masyarakat kepada KPK. Padahal, KPK lahir karena terdapat public distrust terhadap lembaga penegak hukum yang telah ada sebelumnya.
Jika ketidakpercayaan publik meningkat terhadap KPK, maka pemberantasan korupsi akan menjadi buruk bagi Indonesia.
Solusi terbaik dan terefektif bagi Presiden saat ini dalam menyelamatkan KPK adalah mengganti pimpinan KPK sesuai masa jabatan sebelumnya 2019-2023 dan memilih pimpinan KPK yang memiliki semangat pemberantasan korupsi untuk masa 2023-2028. Proses seleksi diharapkan dilakukan dengan ketat dan dapat memunculkan tokoh-tokoh baru yang dapat menyelesaikan semua permasalahan tersebut.
Muhammad Fatahillah Akbar Dosen pada Departemen Hukum Pidana, Fakultas Hukum UGM

Muhammad Fatahillah Akbar, Dosen pada Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM Yogyakarta