Elektabilitas Parpol, Stabil tapi Kurang Berakar
Data menunjukkan bahwa selama lebih dari 20 tahun terakhir, tingkat party id Indonesia sangat rendah, yaitu di kisaran 10-15 persen saja. Artinya, hampir 90 persen pemilih tidak punya ikatan emosional dan psikologis.
Data elektabilitas partai-partai politik menjelang 2024 yang beredar di publik menunjukkan tingkat dan pola dukungan yang mirip dengan 2019. Partai-partai yang diperkirakan lolos ke parlemen nasional juga tidak banyak berubah.
Apakah hal ini menunjukkan bahwa sistem kepartaian di negara kita sudah mulai stabil?
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Sejak demokratisasi 1998, Indonesia telah menyelenggarakan lima kali pemilu legislatif dan segera akan menyelenggarakan yang keenam pada 2024. Setelah hampir 25 tahun penyelenggaraan pemilu berkala dan demokratis, sudah tepat untuk menanyakan, apakah sistem kepartaian suatu negara sudah stabil atau belum.
Sistem kepartaian adalah aspek sangat penting politik suatu negara yang demokratis. Ia memiliki dua makna. Pertama, jumlah partai yang ada dan efektif dalam sistem. Kedua, pola interaksi (kompetisi ataupun koalisi) antarpartai dalam sistem. Jumlah partai dan pola kompetisinya memengaruhi peta politik dan pola pengambilan keputusan politik, baik dalam pemilu, dalam lembaga legislatif, maupun hubungan antara eksekutif dan legislatif.
Dengan kata lain, sistem kepartaian memengaruhi kebijakan publik atau tindakan negara/pemerintah yang dihasilkan dalam menjalankan pemerintahan sehari-hari.
Baca juga: Parpol Adu Strategi untuk Konversi Popularitas
Jika sistem kepartaian stabil, proses politik dan pengambilan kebijakan politik/pemerintahan juga cenderung akan lebih stabil. Sebaliknya, jika labil, kebijakan yang dihasilkan pemerintah juga cenderung mudah berubah dan tak tentu arah.
Menjelang pelaksanaan pemilu nasional keenam, jawaban atas pertanyaan tentang stabil tidaknya sistem kepartaian Indonesia masih antara ya dan tidak. Jawabannya ya karena data menunjukkan adanya gejala atau indikator terjadinya stabilitasi sistem kepartaian. Jawabannya juga bisa tidak karena data juga menunjukkan masih adanya gejala sebagai sistem yang labil.
Meminjam istilah dari Luna dan Altman (2011), ada kecenderungan Indonesia memiliki sistem kepartaian stabil, tetapi kurang berakar (uprooted but stable party system).
Gejala stabilisasi
Sejumlah indikasi menunjukkan bahwa sistem kepartaian Indonesia mengalami stabilisasi selama lebih dari dua dekade terakhir. Ini berarti, pola kompetisi antarpartai mulai terbentuk dan pemilih mulai punya kebiasaan memilih partai-partai yang sudah dikenal dan memiliki kemampuan lolos ambang batas parlemen.
Sejumlah indikasi itu adalah pertama, jumlah pemilih yang berpindah dukungan dari satu partai ke partai lain dari satu pemilu ke pemilu berikutnya cenderung menurun. Hal ini ditunjukkan oleh menurunnya indeks volatilitas pemilu (VP/electoral volatility) atau Indeks Pederson (1979).
VP diperoleh dari selisih suara dari satu partai dari satu pemilu ke pemilu berikutnya dihitung, lalu dijumlahkan dengan partai-partai lain, ditambah dengan total suara partai baru, lalu dibagi dua.
Hingga saat ini, Indonesia memiliki empat Indeks Pederson (IP), yaitu 1999-2004, 2004-2009, 2009-2014, dan 2014-2019. Berturut-turut, IP Indonesia adalah 25,3 persen, 29,5 persen, 19,9 persen, dan 12,7 persen. Total pemilih yang berpindah partai dari Pemilu 1999 ke 2004 ada di kisaran 25,3 persen, lalu meningkat menjadi 29,5 persen pada Pemilu 2009.
Sejak Pemilu 2014 terjadi penurunan tajam menjadi 19,9 persen dan turun tajam lagi menjadi 12,7 persen pada 2019. Membaca data elektabilitas partai berdasarkan hasil survei nasional di LSI, juga data dari lembaga lain sepanjang dua tahun terakhir, kita dapat menduga bahwa volatilitas elektoral tidak akan meningkat kalau tidak malah turun lagi.
Sejumlah indikasi menunjukkan bahwa sistem kepartaian Indonesia mengalami stabilisasi selama lebih dari dua dekade terakhir.
Indikasi kedua adalah terus menurunnya ketertarikan pemilih pada partai baru atau partai luar parlemen. Ketertarikan pemilih pada partai baru atau luar parlemen paling tinggi pada Pemilu 2004. Saat itu total dukungan pemilih adalah 21,3 persen, hanya sedikit di bawah pemenang pemilu waktu itu, yaitu Golkar (21,6 persen).
Setelah itu, dukungan pada partai baru terus menurun, yaitu 17,3 persen pada Pemilu 2009, lalu turun tajam lagi menjadi 6,7 persen pada 2014, dan tetap rendah atau stagnan pada Pemilu 2019 (7,2 persen).
Yang ketiga adalah stabilnya jumlah partai efektif di parlemen atau lembaga legislatif (effective number of political parties in parliament/ENPP) sebagai hasil dari setiap pemilu.
Konsep ENPP menunjukkan berapa sesungguhnya jumlah partai yang benar-benar berpengaruh dalam proses politik dan pengambilan keputusan di DPR. Menggunakan rumus Laakso and Taagepera (1979), cara menghitungnya adalah angka satu dibagi total pangkat dua dari persentase jumlah kursi setiap partai di legislatif.
Hasilnya, ENPP Indonesia adalah 7,08 (2004), 6,21 (2009), 8,16 (2014), dan 7,47 (2019). Jadi, ENPP stabil di kisaran enam hingga delapan partai. Kalau jumlah partai yang lolos ke DPR pada 2024 tak banyak berubah, ENPP ini kemungkinan akan tetap stabil.
Yang keempat adalah partai yang sudah lolos ke parlemen cenderung terus bertahan alias selalu mendapatkan kepercayaan/mandat dari masyarakat pemilih. Semua partai yang kini ada di DPR telah bertahan minimal selama sepuluh tahun atau dua periode.
Enam partai, yakni Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Golkar, PKB, PKS, PPP, dan PAN, bahkan telah bertahan di DPR selama lebih dari 20 tahun. Partai Gerindra telah bertahan selama lebih dari 10 tahun. Partai Demokrat bertahan selama lebih dari 15 tahun. Nasdem diperkirakan akan lolos lagi pada Pemilu 2024 sehingga dapat bertahan selama lebih dari 10 tahun.
Terus bertahannya partai di parlemen atau dalam sistem kepartaian menunjukkan bahwa telah terjadi hubungan yang cukup ajek antara partai tersebut dan konstituen atau pemilihnya. Karena itu, pola interaksi antarpartai pun menjadi lebih mudah untuk diperkirakan.
Kurang berakar
Jika sistem kepartaian sudah menunjukkan indikasi stabilitas, logikanya, sistem kepartaian tersebut memiliki akar yang kokoh di masyarakat.
Indikator utama untuk melihat keberakaran ini adalah konsep identifikasi partai (party identification, party id). Makna party id adalah tingkat ikatan emosional dan psikologis dari pemilih terhadap partai tertentu dan kecenderungannya untuk selalu memilih partai tersebut dari pemilu ke pemilu.
Makin tinggi tingkat ikatan itu, maka makin tinggi party id. Selanjutnya, makin tinggi party id, menunjukkan makin berakarnya sistem kepartaian.
Dibaca secara terbalik, sistem kepartaian yang stabil mestinya ditopang oleh tingkat party id yang tinggi. Di sinilah muncul pertanyaan. Data menunjukkan bahwa selama lebih dari 20 tahun terakhir, tingkat party id Indonesia sangat rendah, yaitu di kisaran 10-15 persen saja. Artinya, hampir 90 persen pemilih Indonesia tidak punya ikatan emosional dan psikologis terhadap partai tertentu.
Artinya, hampir 90 persen pemilih Indonesia tidak punya ikatan emosional dan psikologis terhadap partai tertentu.
Maka, secara teoretis, pemilih yang demikian cenderung mudah berpindah partai dari pemilu ke pemilu. Jika perpindahan terjadi secara mudah, sistem kepartaian tidak stabil.
Selain party id yang rendah, ada indikasi lain yang menunjukkan sistem kepartaian Indonesia kurang berakar, yaitu tingkat kepercayaan (trust) yang rendah dari masyarakat terhadap partai politik. Dibandingkan dengan lembaga lain, terutama presiden, lembaga pengadilan (MK dan MA), dan tentara, tingkat kepercayaan pada partai politik dan DPR selalu paling rendah.
Pada Oktober 2022, misalnya, tingkat kepercayaan pada partai politik adalah 44 persen, sedangkan untuk DPR adalah 48 persen. Ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan TNI (88 persen), Presiden (80 persen), dan Mahkamah Konstitusi (62 persen).
Dengan party id yang sangat rendah dan tingkat kepercayaan publik yang juga rendah, dapat dikatakan jarak antara partai politik dan masyarakat cukup jauh. Dengan demikian, dapat pula dikatakan bahwa sistem kepartaian kurang berakar di masyarakat. Sistem kepartaian Indonesia, setelah lima kali pemilu lima tahunan, terlihat stabil, tapi kurang berakar.
Mengapa dua hal yang tampak bertentangan ini terjadi?
Jawaban yang lebih kuat memerlukan penelitian yang mendalam. Namun, ada beberapa kemungkinan yang bisa menjelaskannya. Pertama, meskipun partai politik banyak, sebetulnya hanya ada dua orientasi ideologis dalam sistem kepartaian Indonesia, yakni partai berorientasi Islamis dan partai berorientasi sekuler.
Perpindahan suara akibat party id yang rendah itu mungkin masih kerap terjadi, tetapi terbatas pada kotak Islamis atau sekuler saja.
Kedua, karena relatif tidak ada perbedaan orientasi kebijakan ekonomi dan sosial antarpartai, perubahan dukungan yang besar hanya mungkin terjadi kalau ada figur (misalnya calon presiden sekaligus ketua umum partai) yang sangat populer dan bersifat lintas sektor/kelompok.
Ini pernah terjadi pada 2004, dengan adanya figur Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Setelah 2004, tidak ada lagi figur seperti ini.
Ketiga, karena pemilu sudah berlangsung lebih dari tiga siklus, ditambah ada ribuan pemilu di tingkat lokal, maka para pemilih sudah mulai terbiasa memilih partai tertentu (learning curve). Walaupun pilihan itu lebih karena kebiasaan saja (bukan karena party id), karena dari pemilu ke pemilu tidak ada hal-hal luar biasa yang terjadi, sehingga pilihan terhadap partai juga menjadi stabil.
Keempat, ambang batas parlemen tampaknya berpengaruh. Kalau kita bandingkan, ternyata volatilitas pemilu legislatif di tingkat nasional lebih rendah dibandingkan dengan di tingkat lokal yang tidak menerapkan ambang batas parlemen. Volatilitas pemilu di tingkat provinsi adalah 32,4 persen (2004-2009), 23,2 persen (2009-2014), dan 20,1 persen (2014-2019).
Djayadi HananDosen Ilmu Politik Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII); Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI)