Mencari ”Ban Serep”
UUD 1945 tak menjabarkannya dan memang, dalam banyak sejarah dunia, wapres itu hampir semua memainkan peran pasif. Presiden terpilih harus berani membuat terobosan mempunyai wapres yang tidak semata-mata ”ban serep”.
Saat ini sudah ada tiga calon presiden (capres) yang akan maju bertarung di Pemilihan Presiden 2024. Namun, tak satu pun dari mereka memiliki calon wakil presiden (wapres).
Sesungguhnya proses pencarian cawapres sudah dimulai, tetapi masih belum ada kecocokan sehingga belum diumumkan. Beberapa nama sudah dilempar keluar dan manuver politik juga sudah terjadi serta semakin intens belakangan ini, terutama setelah Ganjar Pranowo ditetapkan sebagai capres oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P).
Anies Baswedan sudah dideklarasikan beberapa bulan lalu, demikian juga Prabowo Subianto, tetapi mereka masih belum menemukan cawapres. Apa gerangan yang membuat mereka kesulitan menemukan cawapres, padahal cawapres itu kelak hanya akan jadi ”ban serep”? Nama-nama yang sudah muncul di media bukanlah nama tidak terkenal.
Siapa yang tidak kenal Sandiaga Uno, Erick Thohir, Ridwan Kamil, Mahfud MD, Agus Harimurti Yudhoyono, dan Muhaimin Iskandar? Apakah para capres akan membuat kejutan dengan memilih nama lain yang tak populer? Bisa saja.
Sayangnya, para capres tidak memiliki kekuasaan penuh dalam menentukan cawapresnya. Salah satu capres yang merupakan kader dan petugas partai terang-terangan mengatakan bahwa penentuan cawapresnya menunggu keputusan partainya. Saya kira capres yang lain walau tak disebut sebagai petugas partai juga sedang menunggu lobi dan negosiasi partai pendukungnya. Alot juga proses mencari cawapres ini.
Baca juga: Parpol Terus Jajaki Cawapres Potensial
UUD 1945, Pasal 4, menyatakan, ”dalam melakukan kewajibannya Presiden dibantu oleh satu orang Wakil Presiden”. Tapi, apa tugas wapres sesungguhnya? Kata ”dibantu” itu tak mencerminkan kejelasan karena di pasal-pasal berikutnya kita hanya melihat tugas presiden.
Tugas tersebut yaitu sebagai pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara (Pasal 10); kekuasaan menyatakan perang atau perdamaian dengan negara lain (Pasal 11); menyatakan keadaan bahaya (Pasal 12); mengangkat duta besar, konsul dan menerima duta negara lain (Pasal 13); memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi (Pasal 14); memberi gelar tanda jasa (Pasal 15); mengangkat dan memberhentikan menteri (Pasal 17); serta mengajukan RUU dan membuat perppu (Pasal 19, 20, 21, dan 22).
Presiden juga mengajukan APBN dan lain-lain yang tak semua tercantum di UUD 1945. Dalam perkembangan ketatanegaraan, presiden ternyata mengerjakan banyak hal lain, baik yang sifatnya seremonial ataupun substantial. Memang sudah jamak di sistem presidensial kekuasaan presiden begitu banyak, tak hanya yang bersumber pada UUD tertulis, tetapi juga UUD tak tertulis (konvensi atau unwritten constitution).
Hanya ban serep
Apa tugas wapres? UUD 1945 tak menjabarkannya dan memang dalam banyak sejarah dunia wapres itu hampir semua memainkan peran yang pasif, hanya mendampingi presiden atau mewakili presiden jika berhalangan, atau menggunting pita dalam sebuah upacara peresmian pabrik atau rumah sakit, misalnya. Karena itu, wapres sering diibaratkan ”ban serep” yang harus ada karena siapa tahu satu waktu diperlukan dalam hal presiden mangkat atau tak dapat menjalankan tugasnya (Pasal 8).
Kita pernah mengalami itu ketika Wakil Presiden Habibie menggantikan Presiden Soeharto yang mengundurkan diri karena krisis ekonomi 1998. Pengalaman berikut terjadi ketika Wakil Presiden Megawati menggantikan Presiden Abdurrahman Wahid yang kehilangan dukungan di MPR. Ketika wapres menjadi presiden, barulah dia memiliki kekuasaan yang tak dimiliki sebelumnya.
Joe Biden saat menjabat sebagai wapres di pemerintahan Presiden Barack Obama juga mengalami hal sama, tak memiliki kekuasaan sehingga ketika dia dikritik tak berbuat banyak dia sudah siap dengan jawaban bahwa dia tak memiliki kekuasaan karena yang memiliki kekuasaan adalah presiden. Ini alasan paling convenience untuk tak berbuat dan menghindari tanggung jawab.
Apakah para pendiri negara ini dan juga pembuat amendemen UUD 1945 tak menghendaki keberadaan wapres yang aktif, yang bukan sekadar ban serep?
Apakah para pendiri negara ini dan juga pembuat amendemen UUD 1945 tak menghendaki keberadaan wapres yang aktif, yang bukan sekadar ban serep? Penulis tak mendapatkan jawaban yang memuaskan mengenai ini walau penulis menyimpulkan bahwa sejatinya wapres yang diinginkan itu bukan wapres yang pasif. Lihat apa yang terjadi di awal kemerdekaan kita ketika kita mengenal apa yang disebut Dwitunggal Soekarno-Hatta di mana Soekarno berperan sebagai solidarity maker dan Hatta berperan sebagai ”administrator”.
Soekarno berkeliling Indonesia dan dunia membangun dukungan terhadap Republik, memperkuat kohesi kebangsaan, menggelorakan national and character building, sedangkan Hatta menjaga gawang, membangun governance dan menjaga lancarnya roda pemerintahan.
Soekarno-Hatta seperti pinang dibelah dua, dua sisi dari satu mata uang. Sayang pengalaman ini tak berlangsung lama. Soekarno-Hatta pecah kongsi dan seperti kita semua tahu, Soekarno menggenggam semua kekuasaan, apalagi ketika Demokrasi Terpimpin dijalankan.
Insekuritas
Era Orde Baru, Soeharto tak membagi kekuasaannya kepada wapresnya sehingga semua wapresnya lebih sebagai ”pelengkap konstitusi”, tak memiliki kekuasaan apa pun kecuali hal-hal yang bersifat seremonial. Selama 32 tahun berkuasa, Soeharto tak pernah memiliki wapres yang sama dalam pemerintahannya.
Setiap periode dia ganti wapres seolah ”ban serep”-nya tak cukup bagus, padahal tak pernah dipakai berjalan jauh. Presiden sering merasa insecured dengan wapresnya dan ini mungkin alasan kenapa wapres selalu berganti-ganti. Perasaan insecured ini sangat terasa ketika Soeharto harus menyerahkan jabatannya kepada Wakil Presiden Habibie yang sering disebut sebagai protege-nya di mana publik melihat keengganan menyerahkan jabatannya kepada Habibie.
Di sisi lain, publik juga tak semua mengharapkan Habibie menerima jabatan presiden karena menganggap ia ”kroni” atau kepanjangan tangan Soeharto. Publik tak memahami, adalah konsekuensi logis UUD 1945 wapres harus menggantikan presiden yang tak dapat menja- lankan kewajibannya sebagai presiden.
Zaman Reformasi kita mengalami hal yang lebih kurang sama, yaitu wapres selalu berganti untuk presiden yang sama, yaitu di masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi). Uniknya, baik pada era SBY maupun Jokowi, wapres yang diganti adalah sama, yaitu Jusuf Kalla.
Presiden terpilih harus berani membuat terobosan mempunyai wapres yang tidak semata-mata ”ban serep ” karena tugas kenegaraan ke depan akan jauh lebih berat dan menantang.
Adalah satu kebetulan bahwa wapres periode pertama kedua presiden itu adalah Kalla yang saya yakin memang dipilih karena pertimbangan politik yang mengharuskannya pada waktu itu. Menariknya, pada kedua masa jabatannya sebagai wapres, Kalla tampil sebagai wapres yang ”aktif”, bukan wapres ”pasif”. Kalla tampil di banyak kegiatan di dalam dan luar negeri, ikut dalam perundingan internasional, dan dalam beberapa hal kelihatan sangat menonjol sehingga ada yang membuat pertanyaan bahwa dia ”Wakil Presiden yang serasa Presiden”.
Bukan kesan yang sepenuhnya salah. Seorang kawan pernah mengatakan bahwa Wakil Presiden Jusuf Kalla adalah ”the real President”.
Kenapa Kalla diganti pada periode kedua SBY dan Jokowi? Apakah karena mengikuti tradisi yang dimulai di zaman Orde Baru? Atau karena perasaan insecurity yang juga dirasakan Presiden?
Sejarah akan menilainya. Tapi, pengalaman Indonesia ini adalah pengalaman unik yang tak ditemukan di banyak negara lain. Yang jelas tak salah kalau pergantian wapres di periode kedua itu antara lain karena perasaan insecurity walau itu bukan satu-satunya alasan. Ada kesan lain, yaitu pada periode kedua, presiden biasanya sudah merasa mempunyai ”grip” atas kekuasaan sehingga ingin leluasa membangun ”legacy” yang akan dia tinggalkan walau itu belum tentu juga berhasil. Karena ”legacy” itu juga sangat bergantung kepada presiden yang akan menggantikannya.
Baca juga: Berebut Jadi Cawapres
Sekarang pertanyaannya: apa yang akan terjadi dengan proses pemilihan wapres sekarang? Apakah capres akan punya hak prerogatif untuk menentukan? Atau semua akan bergantung pada negosiasi politik antarpartai pendukung? Atau juga ditentukan oleh jumlah dompet yang tersedia? Akan sangat mengesalkan kalau cawapres yang dipilih semata-mata karena political expediency, bukan karena ”meritokrasi” dan kontribusinya pada pemerintahan kelak.
Pemilihan presiden itu memang melelahkan dan mahal, tapi tak elok kalau capres yang akan memikul tanggung jawab sebagai presiden kalau terpilih nanti tak memiliki ”hak” untuk ikut menentukan siapa pendampingnya. Presiden terpilih harus berani membuat terobosan mempunyai wapres yang tidak semata-mata ”ban serep” karena tugas kenegaraan ke depan akan jauh lebih berat dan menantang.
Todung Mulya Lubis, Pemerhati Ketatanegaraan. Koordinator University Network for Free and Fair Election (Unfrel), 1999-2001