Memaknai figur perempuan dalam lukisan koleksi Soekarno tidak hanya mengundang pengalaman estetik, tetapi juga menjadi wahana untuk kembali merenungkan identitas perempuan dan eksistensinya merawat kebangsaan.
Oleh
ANIENDYA CHRISTIANNA
·3 menit baca
Bulan Juni adalah bulannya Soekarno. Dalam kesempatan bulan Juni ini banyak hal dapat dimanfaatkan untuk mengenang sepak terjang Bapak Proklamator RI semasa hidupnya, salah satunya berkaitan dengan figur perempuan dalam lukisan koleksi Soekarno.
Patut direnungkan dan dipikirkan, apakah Soekarno semata-mata hanya mengagumi perempuan karena kecantikannya? Mengapa Soekarno mengoleksi sedemikian banyak lukisan dengan figur perempuan? Tidak hanya mengoleksi lukisan, Soekarno bahkan menulis buku tentang perempuan.
Sedemikian besar daya intelektual dan estetiknya terhadap kaum perempuan, menunjukkan bahwa figur perempuan berperan penting dalam kehidupan Soekarno, baik dalam berkeluarga, bermasyarakat, sampai berpolitik berbangsa dan bernegara.
Adalah sebuah pengetahuan umum betapa Soekarno mengagumi sosok perempuan, mulai dari ibu sampai dengan para istrinya. Kekaguman Soekarno terhadap figur perempuan salah satunya tampak dalam koleksi lukisannya selama menjabat sebagai Presiden. Ribuan lukisan koleksinya memiliki tema yang beragam, tetapi yang mendominasi adalah tema figur perempuan.
Mikke Susanto, kurator pameran seni, menyebutkan bahwa lukisan perempuan koleksi Soekarno sangat bervariasi, mulai dari potret istri-istrinya, tokoh mitologi Nusantara (seperti Nyi Roro Kidul), figur perempuan Jawa dan Bali, berbagai aktivitas perempuan sampai dengan perempuan tanpa busana, baik sebagian maupun seluruhnya.
Kekaguman Soekarno kepada ketelanjangan diakui sebagai suatu pengalaman estetik mengagumi kuasa Tuhan sekaligus manifestasi halusnya rasa yang dimiliki Soekarno. Basoeki Abdullah yang memang banyak melukis perempuan, pada akhirnya menjadikan Soekarno sebagai ”pelanggan” tetap jasa melukisnya. Setidaknya tercatat 200-an lukisan perempuan karya Basoeki Abdullah yang dikoleksi Soekarno.
Rupa-rupa figur perempuan dalam lukisan koleksi Soekarno mengusung estetika kerakyatan dan menunjukkan nilai-nilai lokalitas perempuan, baik dari latar belakang Jawa maupun Bali. Perempuan yang kerap menjadi obyek lukisan adalah perempuan dengan pakaian tradisional Jawa (kebaya dan jarik) dengan rambut rapi tersanggul. Seperti lukisan berjudul ”Rini” yang dirampungkan Soekarno pada 1958. Pada mulanya sketsa lukisan ini dibuat Dullah, kemudian dilanjutkan Soekarno hingga tuntas.
Rupa-rupa figur perempuan dalam lukisan koleksi Soekarno mengusung estetika kerakyatan dan menunjukkan nilai-nilai lokalitas perempuan.
”Rini” dilukis mengenakan kebaya sederhana berwarna hijau muda dan kain jarik bernuansa coklat berornamen batik. Sementara latar dari lukisan tersebut tampak polos dengan sapuan campuran cat berwarna putih dan kuning muda. ”Rini” memiliki ekspresi yang sayu sambil memangku sebuah buku tua berwarna cokelat. Dalam posisi duduk, menoleh ke kanan sembari kedua tangannya menyilang di atas paha.
Beberapa pengamat dan peneliti seni menduga bahwa sosok Rini adalah orang yang sama dengan sosok Sarinah dalam buku yang ditulis Soekarno: Sarinah: Kewajiban Wanita Dalam Perjuangan Republik Indonesia pada 1947.
Kebaya dan identitas Nasional
Penampilan perempuan tradisional mengenakan kebaya dengan bawahan kain jarik banyak muncul dalam lukisan koleksi Soekarno. Pada masa itu adalah hal yang lumrah bagi perempuan mengenakan kebaya, terkadang dipadupadankan dengan kain selendang di bahu maupun sebagai kerudung.
Ketika peristiwa kemerdekaan Indonesia diproklamasikan oleh Soekarno, satu-satunya perempuan yang hadir dalam momen bersejarah tersebut adalah Soerastri Karma Trimoerti, yang kemudian lebih dikenal dengan nama SK Trimurti. Beliau adalah seorang wartawan dan istri Sayuti Melik, juru ketik naskah teks proklamasi Indonesia.
Trimurti yang adalah wartawan fokus memperjuangkan hak-hak pekerja. Oleh karena itu, pada 1947, Presiden Soekarno mengangkatnya sebagai Menteri Tenaga Kerja pertama di Indonesia. Kehadiran Trimurti baik di peristiwa proklamasi maupun sebagai menteri selalu mengenakan kebaya dan kain jarik sebagai bawahannya.
Pakaian dan perempuan berhubungan erat karena seringkali perempuan menjadi representasi sekaligus berperan sebagai agen busana nasional. Desmond Morris menyebutkan, pakaian adalah cultural display yang berkaitan dengan afiliasi budaya pemakainya (2009). Pakaian bisa disebut pula sebagai perpanjangan identitas personal individu yang masuk ke dalam dunia sosial untuk membangun identitas kultural yang lebih luas dan pada akhirnya bisa menjadi identitas nasional suatu bangsa.
Kebaya pada mulanya adalah pakaian sehari-hari perempuan dari kelas bawah/pribumi, terutama dari golongan tani. Sebagai bangsa yang baru saja berdaulat, dibutuhkan suatu simbol pemersatu bangsa, salah satunya melalui kebaya. Perempuan Jawa berkebaya adalah cerminan dari pendisiplinan tubuh untuk memperlihatkan hubungan antara perempuan dan dunia sosialnya. Seluruh kerja disiplin tubuh dengan sendirinya menjadi sebuah kekayaan perjalanan hidup yang menentukan kualitas identitas kejawaan perempuan.
Kekaguman Soekarno terhadap perempuan berkebaya tidak hanya berhenti kepada mengoleksi lukisan dengan figur perempuan, tetapi juga turut menjadi motor pembentuk identitas bangsa. Pada akhirnya, perempuan dengan kebaya menjadi identitas bangsa Indonesia, bahkan dilanjutkan dan semakin kokoh di rezim Orde Baru di bawah pemerintahan Presiden Soeharto.
Selain sebagai simbol pemersatu bangsa, kebaya juga berfungsi sebagai pembeda dengan Barat yang mencerminkan bebasnya Indonesia dari pengaruh kolonial Barat. Maka, apabila di panggung publik perempuan berkebaya adalah simbol resistensi terhadap kekuasaan kolonial, Soekarno ada di belakang panggung tersebut.
Terlepas ”Rini” di lukisan dan ”Sarinah” di buku adalah sosok yang sama atau bukan, figur asli atau rekaan, semua menunjukkan bahwa Soekarno memiliki kesadaran dan kepekaan jender yang tinggi. Soekarno meletakkan peran perjuangan perempuan dalam posisi yang penting dalam merawat kemerdekaan bangsa.
Kekaguman Soekarno terhadap perempuan berkebaya tidak hanya berhenti kepada mengoleksi lukisan dengan figur perempuan, tetapi juga turut menjadi motor pembentuk identitas bangsa.
Meski demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa Soekarno masih memiliki kecenderungan seksisme. Karena besarnya kekaguman Soekarno terhadap keindahan dan kecantikan perempuan, Soekarno beranggapan bahwa nilai-nilai patriarki dan superioritas laki-laki harus tetap dipertahankan.
Membaca lukisan sama dengan membaca zaman. Memaknai figur perempuan dalam lukisan koleksi Soekarno tidak hanya mengundang pengalaman estetik, tetapi juga menjadi wahana untuk kembali merenungkan identitas perempuan dan eksistensinya merawat kebangsaan, sekaligus medium belajar menjadi warga negara Indonesia.