Sekitar 90 persen koleksi seni lukis mendiang Presiden Soekarno berkaitan tentang manusia (wanita), lanskap, lingkungan, bunga, dan alam benda. Sementara koleksi yang bertema ”revolusioner” tak lebih dari 10 persen.
Oleh
Aloysius Budi Kurniawan
·3 menit baca
Kenyataan tersebut mungkin jauh dari perkiraan publik karena Bung Karno selalu diindentikkan dengan perjuangan dan politik, atau segala sesuatu yang bersifat revolusioner. Rupanya, pilihan dan koleksi seni lukis Bung Karno justru sangat beragam. Ia adalah seniman, pengagum seni, sekaligus kolektor berkelas!
Konsultan Koleksi Benda Seni Istana Presiden Republik Indonesia, Agus Dermawan T, mengungkapkan, Bung Karno memiliki 2.200 lukisan, patung, dan keramik yang hampir semuanya dipajang di berbagai Istana Presiden. Tak heran jika Bung Karno dianggap sebagai ”presiden paling kaya seni rupa di dunia” pada pertengahan 1960-an.
”Mungkin saya boleh mewakili teman-teman Hindia Belanda, untuk hormat kepada sang maecenas kesenian, di sini,” kata pelukis Arie Smit ketika diantar Agus ke Istana Kepresidenan Bogor pada 1993.
Sebagian besar menakjubkan, dan hampir semua koleksi Soekarno! Indonesia harus bangga punya presiden yang juga sekaligus bapak kebudayaan. (Kwok Kian Chow)
Bahkan, Direktur Singapore Art Museum Kwok Kian Chow pun menyampaikan kekaguman serupa ketika datang ke sana. ”Sebagian besar menakjubkan, dan hampir semua koleksi Soekarno! Indonesia harus bangga punya presiden yang juga sekaligus bapak kebudayaan,” katanya.
Pemburu karya
Di sela-sela kunjungan kenegaraan, Bung Karno selalu menyisipkan waktu untuk berburu lukisan atau patung. Begitu juga saat ia berkunjung ke daerah-daerah di Indonesia.
Di Yogyakarta ia menyempatkan diri ke Sanggar Pelukis Rakyat, atau ke Akademi Seni Rupa Indonesia (sekarang Institut Seni Indonesia Yogyakarta). Di Bali ia menyelusup ke Ubud, menemui Rudolf Bonnet, mengagumi lukisan Anak Agung Gde Sobrat, menghayati ulah Ida Bagus Made Poleng, atau menyaksikan pameran di bekas studio Walter Spies. Di Sanur ia mampir di rumah seni Le Mayeur de Mefres.
”Dengan uang seadanya, bahkan juga dengan cara mengangsur, ia membeli lukisan-lukisan yang disukai. Karya-karya seni rupa itu sebagian besar dikumpulkan di Istana Kepresidenan, baik yang Jakarta, Bogor, Cipanas, Yogyakarta, maupun Bali,” kata Agus, Selasa (1/6/2021).
Perlakuan Bung Karno kepada karya-karya seni rupa yang ia kumpulkan juga luar biasa. Ia bahkan sampai mendatangkan seniman, kurator, konservator, ahli tata pamer yang andal. Beberapa seniman andal didatangkan ke Istana, seperti Dullah, Lee Man Fong, juga Lim Wasim.
Menurut Agus, sejak tahun 1950, Bung Karno menjadikan enam Istana Presiden sebagai rumah kebudayaan. Ia juga mengisi ibu kota Jakarta dengan arsitektur-arsitektur Indonesiawi ciptaannya serta patung-patung monumen artistik usulannya.
Karena pengaruh Soekarno juga, para perupa bangga menciptakan karya-karya seni khas Indonesia. Mereka sepakat, seniman Indonesia memiliki bentuk sendiri dan tidak berorientasi pada dunia Barat.
Salah satu perupa yang digandeng Bung Karno untuk mewujudkan ikhtiar itu adalah pematung Edhi Sunarso. Ia didaulat membuat patung-patung landmark di Jakarta, seperti patung ”Selamat Datang” di Bundaran Hotel Indonesia untuk menyambut peserta Asian Games (1962) dan Ganefo (1963), Monumen Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng (1962), dan Monumen Dirgantara di Pancoran (1964-1970).
Sejarawan Asvi Warman Adam dalam buku Menyingkap Tirai Sejarah Bung Karno dan Kemeja Arrow (PBK, 2012) menulis, karena anggaran negara seret, pada 1967, Bung Karno sampai menjual mobilnya dan menyerahkan Rp 1,75 juta kepada Edhi Sunarso untuk meneruskan proyek Patung Dirgantara. Dan, ironisnya, pembangunan monumen itu baru hampir selesai ketika iring-iringan jenazah Presiden Soekarno lewat di bawahnya, 22 Juni 1970.
Soekarno meyakini, patung taman dan patung monumen sebagai karya seni yang ”menjemput publik” perlu terus dibangun. Menurut dia, ini adalah karya-karya seni paling demokratis karena dimiliki semua orang, boleh dipandang, ditafsir, dan dinilai oleh siapa pun.
”Kreasi kultural yang berbentuk kesenian janganlah dianggap sekadar sebagai hiburan, sebagai hulpmiddel voor de lol (alat bersuka-suka) saja. Karena sesungguhnya kesenian adalah sumber utama dari kerja penguatan jiwa dan pengayaan wawasan. Dan semuanya adalah bagian esensial dalam proses nation building!” kata Soekarno.