Publik yang Tersisih dari Ribut-ribut RUU Kesehatan
Akan sia-sia berkoar tentang Generasi Emas 2045 apabila RUU Kesehatan tidak bisa menjadi produk legislasi yang berpandangan luas dan relevan menjawab tantangan kesehatan masyarakat di masa mendatang.
Setelah Undang-Undang Cipta Kerja beberapa waktu lalu, pemerintah dan DPR kembali menyusun sebuah rancangan undang-undang dengan metode omnibus yang kembali memicu keriuhan adu diskursus di ruang publik. Adalah Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang kali ini menjadi pembicaraan panas para pemangku kepentingan pembangunan kesehatan nasional.
Tidak bisa disanggah, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan memang sudah usang. Beberapa peraturan perundang-undangan lain tentang kesehatan juga butuh penyesuaian agar relevan dengan kebutuhan kesehatan masyarakat Indonesia. Karena itu, sebuah undang-undang kesehatan yang mampu menjawab tantangan kesehatan nasional sekarang dan masa depan sejatinya amat dibutuhkan.
Masalahnya, RUU Kesehatan yang tengah dibahas Panitia Kerja RUU Kesehatan Komisi IX DPR menyimpan sederet persoalan. Sedikitnya ada dua aspek utama yang mesti disorot, yaitu proses penyusunannya dan substansi kesehatan yang diatur di dalam drafnya.
Baca juga: Kisruh Komunikasi Kesehatan
Dari sudut proses, ada dua hal yang patut dicatat. Pertama, penyusunan RUU ini luput mengakomodasi keputusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91 Tahun 2020 tentang partisipasi bermakna masyarakat. Di sana disebutkan bahwa ada tiga prasyarat sebuah pelibatan bermakna, yaitu hak untuk didengarkan pendapatnya (right to be heard), hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan hak untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained).
”Hilangnya” publik dalam pembahasan, diskusi, atau perdebatan seputar rancangan undang-undang ini sudah terasa sejak DPR membahas draf aturan ini pada periode akhir 2022 hingga awal 2023. Hingga kini, tidak tersedia sistem formal yang menetap dan resmi bagi masyarakat sipil dan aktor pembangunan lain di luar pemerintah dan parlemen untuk mendapatkan penjelasan atas pendapat yang diberikan. Daftar inventarisasi masalah yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan tidak pernah diunggah dalam laman resmi yang dapat diakses oleh masyarakat luas.
Masalahnya, RUU Kesehatan yang tengah dibahas Panitia Kerja RUU Kesehatan Komisi IX DPR menyimpan sederet persoalan.
Elemen kedua dari proses adalah absennya naskah akademik yang mendalam, detail, dan berbasis bukti. Sesuai namanya, naskah akademik adalah sebuah dokumen penelitian yang diwajibkan mempunyai dasar filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Mengapa naskah akademik harus demikian tuntas membahas keseluruhan substansi yang ditulis dalam rancangan undang-undang? Karena, naskah ini dibutuhkan sebagai kompas yang menentukan arah perundang-undangan sekaligus penunjuk jalan yang menyediakan semua informasi yang dibutuhkan dalam proses pembahasannya. Keluasan, kedalaman, serta lika-liku sektor kesehatan Indonesia membutuhkan sebuah naskah akademik yang robust dan evidence-based.
Aspek substansi
Dari aspek substansi, kontroversi RUU Kesehatan yang masuk ke ranah percakapan publik didominasi soal produksi dokter (umum dan spesialis), izin praktik untuk dokter warga negara asing, dan peran organisasi profesi. Sungguh pun isu-isu ini amat penting dan strategis untuk memastikan keberlanjutan layanan kesehatan dan sumber daya manusia kesehatan adalah salah satu bagian yang tak terpisahkan dari sistem kesehatan yang tangguh, tetapi ada beberapa poin lain yang tidak kalah mendasarnya juga masih menjadi masalah dalam RUU Kesehatan ini.
Secara umum, RUU Kesehatan kehilangan perspektif jender dan prioritas pada kelompok populasi rentan. Misalnya, Pasal 27 draf RUU soal definisi masyarakat rentan yang belum luas. Dari segi definisi, pasal ini belum mencakup ”individu tanpa dokumen kependudukan” sebagai kelompok rentan.
Selain itu, rancangan ini juga memuat beberapa isu yang diidentifikasi bermasalah, di antaranya wacana hilangnya mandatory spending anggaran kesehatan, insentif atau upah kader kesehatan yang belum menjadi kewajiban, nasib pelembagaan serta peningkatan kapasitas kader kesehatan yang belum ada kejelasan, serta belum adanya larangan ketat tentang iklan, promosi, dan sponsor rokok.
Secara umum, RUU ini kehilangan perspektif jender dan prioritas pada kelompok populasi rentan. Misalnya, Pasal 27 draf RUU soal definisi masyarakat rentan yang belum luas.
Menilik khusus tentang mandatory spending, Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan sebenarnya telah mewajibkan pemerintah pusat mengalokasikan minimal 5 persen anggaran dan pemerintah daerah 10 persen untuk pembangunan kesehatan di luar gaji. Sayangnya, realitas di lapangan selama ini terbilang memprihatinkan. Prioritas pembangunan kesehatan nasional masih sulit terlaksana di daerah dengan dalih keterbatasan anggaran. Kesehatan juga sering kali tidak menjadi prioritas dalam penyusunan perencanaan pembangunan di daerah.
Padahal, porsi mandatory spending dapat digunakan untuk memastikan agar prioritas pemerintah pusat terlaksana. Pemerintah daerah juga mempunyai ruang fiskal yang cukup untuk memprioritaskan kesehatan di wilayahnya. Sebagai catatan, data Badan Pembangunan Nasional tahun 2021 menyebutkan bahwa masih ada 58 dari 514 kabupaten/kota di Indonesia dengan proporsi anggaran kesehatan di bawah 10 persen. Kabupaten/kota lain saja yang telah menganggarkan 10 persen atau lebih tetap membutuhkan ruang fiskal untuk memastikan keberlanjutan penempatan prioritas pada sektor kesehatan di daerahnya masing-masing. Apalagi daerah yang hanya mematok anggaran kesehatan di bawah ambang batas.
Salah satu rujukan ilmiah yang dapat digunakan untuk anggaran kesehatan antara lain Systems Thinking for Health System Strengthening (WHO, 2009) dan Konsorsium Riset RESYST (Resilient and Responsive Health Systems) dengan anggota London School of Hygiene and Tropical Medicine. Di dalamnya disebutkan bahwa salah satu cara untuk mencapai cakupan kesehatan semesta (universal health care) adalah dengan mengalokasikan anggaran kesehatan minimal atau lebih dari 5 persen dari pendapatan domestik bruto.
Baca juga: RUU Kesehatan, untuk Kepentingan Masyarakat Luas
Sementara acuan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa perdebatan tentang ditambah atau tidaknya anggaran sebagai investasi untuk sistem kesehatan memang kerap terjadi, mengingat sistem kesehatan punya kecenderungan menjadi kurang atau bahkan tidak efisien. Namun, tidak boleh dilupakan bahwa sistem kesehatan menyerap banyak tenaga kerja. Karena itu, sistem kesehatan yang tangguh akan berdampak positif terhadap pertumbuhan ekonomi makro suatu negara.
Argumentasi dibutuhkannya mandatory spending sebagai bentuk komitmen negara untuk penguatan sistem kesehatan sebenarnya berhubungan langsung dengan komitmen negara menuju sistem kesehatan nasional dan daerah yang reformatif dan transformatif. Dengan arah kebijakan yang jelas, akan nyata pula bahwa sumber daya manusia kesehatan, termasuk di dalamnya kader kesehatan, adalah kelompok strategis yang layaknya diperhatikan peningkatan kapasitas dan kompetensinya. Realitasnya, kader kesehatan masih tersisihkan.
Kader kesehatan
Dalam draf RUU Kesehatan tidak disebutkan kewajiban memberikan insentif atau upah yang layak kepada kader kesehatan. Pasal 21 J Ayat 6 RUU ini menyebutkan pemerintah pusat, daerah, atau desa ”dapat” memberikan insentif kepada kader kesehatan. Penggunaan kata ”dapat” di dalam pasal tersebut belum menunjukkan keberpihakan terhadap kader kesehatan.
Beberapa referensi, misalnya Guideline on Health Policy and System Support to Optimize Community Health Workers Programmes (WHO, 2018), merekomendasikan remunerasi kader kesehatan berdasarkan dengan tuntutan pekerjaan, kompleksitas, jumlah jam kerja, pelatihan, dan tupoksi. Hal ini juga sejalan dengan rekomendasi Organisasi Ketenagakerjaan Internasional (ILO) yang menyebutkan pentingnya remunerasi.
Mengerdilkan pentingnya apresiasi layak untuk kader kesehatan menunjukkan komitmen setengah hati untuk sungguh-sungguh membawa layanan kesehatan primer menjadi sistem yang transformatif.
Selain itu, Gadsden et al (2021) menyebutkan pemberian insentif finansial lebih disukai oleh kader kesehatan dibandingkan pemberian insentif nonfinansial karena dapat membantu pembiayaan kebutuhan rumah tangga mereka. Penelitian tersebut juga mengungkapkan bahwa performa kader kesehatan meningkat setelah adanya skema pemberian insentif finansial.
Mengerdilkan pentingnya apresiasi layak untuk kader kesehatan menunjukkan komitmen setengah hati untuk sungguh-sungguh membawa layanan kesehatan primer menjadi sistem yang transformatif. Kita tentu tidak bisa mengabaikan peran kader kesehatan sebagai tulang punggung sistem kesehatan di tingkat primer dan komunitas selama pandemi Covid-19. Mereka siaga 24 jam di tengah masyarakat, mendatangi setiap rumah untuk memastikan kebutuhan kesehatan dasar penghuninya terpenuhi.
Mencermati sederet kepentingan publik yang masih tersisih dalam RUU Kesehatan ini, para pemangku kepentingan pembangunan kesehatan nasional semestinya menahan diri. Tidak ada gunanya memelihara perseteruan. RUU ini bukan soal siapa benar, siapa salah, dan jelas bukan soal pihak mana yang harus keluar sebagai pemenang. Ini menyangkut kesehatan dan kesejahteraan lebih dari 270 juta jiwa. Akan sia-sia berkoar tentang Generasi Emas 2045 apabila RUU Kesehatan tidak bisa menjadi produk legislasi yang berpandangan luas dan relevan menjawab tantangan kesehatan masyarakat di masa mendatang.
Baca juga: RUU Kesehatan, antara Urgensi dan Pemenuhan Kepentingan Publik
Belum terlambat bagi pemerintah dan DPR untuk memperbaiki proses maupun substansi RUU ini. Dimulai dari membuka ruang pelibatan bermakna untuk publik dan pemangku kepentingan pembangunan. Dengarkan, tampung, dan tanggapi seluruh masukan walaupun berseberangan. Koreksi dan revisi naskah akademik agar sungguh menjadi dokumen rujukan yang berbasis bukti ilmiah dan akan dipakai oleh semua pihak; mengingat RUU Kesehatan ini nanti akan menjadi undang-undang yang dipakai negara ini dalam jangka panjang.
Perbaikan cara pikir, proses, dan substansi dengan sendirinya akan menunda waktu pengesahan RUU Kesehatan. Keadaan ini bisa jadi tidak dikehendaki pemerintah dan DPR. Namun, apabila muaranya memang untuk kebaikan bangsa dan bukan sekadar memenuhi persepsi legasi semata, rasanya tidak ada alasan kuat untuk terburu-buru mengetok pengesahan RUU yang telah menuai kontroversi ini.
Diah Satyani Saminarsih, Pendiri dan CEO Center for Indonesia’s Strategic Development Initiatives (CISDI)