Pancasila dan Lingkungan Hidup
Krisis perubahan iklim sering kali diabaikan dalam pendidikan Pancasila. Jika Pancasila masih dianggap sebagai pandangan hidup, sudah sewajarnya kita memikirkan ulang kehidupan seperti apa yang akan diwujudkan bersama.
Pemikir Pancasila terdahulu, mulai dari Driyarkara sampai Notonagoro, cenderung memiliki penafsiran yang bercorak antroposentris (manusia sebagai pusat) terhadap Pancasila. Driyarkara (1959) menekankan Pancasila dalam muatan hubungan ontologis atas keberadaan manusia dengan semesta realitas alam dan Tuhan-nya.
Sementara, Notonagoro (1975) menyoal landasan Pancasila yang tersusun dalam sifat dan kodrat kemanusiaan sebagai monodualis yang tidak dapat terpisahkan. Pancasila, artinya, selalu memuat sifat abstrak-umum-universal yang secara obyektif dapat dijelaskan dalam nilai-nilai turunan atau tata urutan tiap sila-nya, secara hierarkis piramidal.
Begitu juga dengan Poespowardojo (1989) menelaah Pancasila yang lahir dari dasar pemikiran khas yang bersumber dari kebudayaan bangsa Indonesia itu sendiri. Dalam percakapan keseharian, Pancasila lebih sering dipahami sebagai dasar negara, ideologi, sampai pandangan hidup masyarakat Indonesia.
Baca juga: Pancasila dan Kesinambungan Berbangsa
Merayakan Pancasila dapat dimulai dengan cara membuka ruang kritik ideologi yang lebih terbuka dan relevan dengan tantangan zaman. Menghindari penafsiran absolutisme nilai atas interpretasi Pancasila menjadi menarik karena tidak menjadikannya terjebak pada glorifikasi atas ”penokohan” atau ”rezim” tertentu.
Taufiqurrahman (Pancasila Bukan Pradigma Ilmu, Kompas.id, 6/6/2023) membaca ulang Pancasila melalui pendekatan filsafat ilmu, alih-alih menjadikannya paradigma ilmu, ia hanya dapat menjadi dasar aksiologis tentang bagaimana ilmu pengetahuan seharusnya bekerja di Indonesia. Selain permasalahan ilmu pengetahuan, Pancasila juga berhadapan dengan masalah kontemporer lainnya, misalnya tantangan krisis perubahan iklim yang sering kali diabaikan dalam percakapan pendidikan Pancasila.
Krisis iklim global ini juga mengancam keanekaragaman biodiversitas yang terbentang luas dalam lanskap pegunungan, laut, hutan tropis, yang terjalin keterhubungan antara wilayah perdesaan dan perkotaan dan terejawantahkan sebagai kekayaan budaya tradisional dan pengetahuan lokal yang ada. Pertanyaannya, kemudian, apakah mungkin Pancasila dapat menjadi motivasi etis dan komitmen ekologis masyarakat Indonesia dalam rangka menelaah ulang relasi antara Pancasila dan lingkungan hidup, mengevaluasi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup, serta bentuk komitmen kita terhadap penyelesaian krisis lingkungan hidup yang berperspektif keadilan?
Dimensi lingkungan hidup
Telaah ulang dimensi lingkungan hidup dalam Pancasila dapat dilakukan dengan cara mencermati ulang diagram hierarkis piramidal Pancasila. Pembacaan klasik Pancasila selalu berawal dari sila pertama, yang menekankan aspek Ketuhanan sebagai causa prima, yang memungkinkan untuk meliputi dan menjiwai sila-sila berikutnya, baik itu Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. Tentu saja, pendekatan ini dapat diperdebatkan kemudian.
Namun, pertanyaan selanjutnya, di manakah lingkungan hidup kemudian dalam percakapan keseharian Pancasila di antara setiap sila yang ada? Apakah dimensi lingkungan hidup berada ”di antara”, atau justru menjadi ”latar belakang” yang terberi, ataukah sebagai konsekuensi atas tindakan dari setiap implementasi sila?
Alternatif pembacaan relasional Pancasila dan lingkungan hidup dapat dilihat dengan adanya tendensi setiap sila yang sangat antroposentris sebagaimana interpretasi Driyarkara (1959), Notonagoro (1975), dan Poespowardojo (1989), memprioritaskan dimensi kemanusiaan tanpa melibatkan dimensi nonmanusia. Adalah benar jika merujuk pada Pasal 33 UUD 1945 Ayat (2) dan Ayat (3) yang mengandung inti tentang perekonomian nasional dan pengelolaan sumber daya alam. Maka, kesadaran ekologis hanya berhenti sejauh menunjang kesejahteraan berorientasi manusia semata, meskipun konsekuensinya setiap pembangunan harus mengorbankan biaya ekologis yang ada.
Tidak heran, jika saat ini, posisi kita masih bergulat dengan perwujudan keadilan sosial daripada keadilan ekologis.
Dalam konteks ini, jurang onto-epistemologi modern Cartesian telah memisahkan antara manusia dan alam, yang berjarak dan memiliki hierarki kuasa atas segala yang telah ditundukkan, termasuk alam. Ironisnya, demarkasi ini tidak hanya menimbulkan keretakan ekologis antara manusia dan nonmanusia, tetapi juga di antara sesama manusia dalam bentuk ketimpangan kelas sosial, yang menyebabkan konflik berkepanjangan. Tidak heran, jika saat ini, posisi kita masih bergulat dengan perwujudan keadilan sosial daripada keadilan ekologis.
Selanjutnya, diskursus Pancasila pasca-reformasi tentu telah mengalami perubahan dari segi tema dan topik. Krisis keplanetan hari ini tidak akan mungkin bekerja mengikuti trajektori logika pembangunan masyarakat yang ada. Manusia Indonesia kemudian dituntut untuk tidak sekadar melindungi segenap bangsanya, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, serta keadilan sosial, tetapi juga memiliki tanggung jawab untuk menciptakan sistem ekologis sosial dan alam yang layak masa depan yang penuh krisis ketidakpastian.
Dengan mempertimbangkan serangkaian prinsip-prinsip Pancasila yang ada, Pancasila hanya terbatas memberikan fondasi moral dan filosofis dalam rangka mendorong pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan kepentingan generasi masa depan. Kepentingan keadilan lintas generasi saat ini dapat dimulai melalui pendekatan pedagogis kritis.
Sebagaimana tecermin dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH), Pasal 65 Ayat (2) bahwa ”Setiap orang berhak mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan dalam memenuhi hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat.” Kalimat ‘…mendapatkan pendidikan lingkungan hidup…’ di sini tentu menunjukkan bahwa setiap orang berhak mendapatkan pengetahuan tentang lingkungan hidup di Indonesia.
Kepentingan keadilan lintas generasi saat ini dapat dimulai melalui pendekatan pedagogis kritis.
Sudahkah Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan mengintegrasikan pendidikan lingkungan hidup dalam jenjang kurikulum pembelajarannya? Selain itu, terjadi stagnasi saat pendidikan lingkungan hidup hanya diorientasikan untuk pemenuhan penilaian penghargaan adiwiyata sekolah atau sekadar lebih banyak mentransmisikan fakta tentang krisis lingkungan hidup yang terjadi daripada memilih untuk mentransformasinya.
Sikap fatalis-kolektif juga menghantui ketika menghadapi krisis lingkungan hidup yang ada, bukan karena semata-mata memahami bencana sebagai hukuman Tuhan, tetapi juga karena abai akan penelusuran asal-usul krisis yang ada. Mereka lebih banyak memilih diam dan melepas tanggung jawabnya sebab meyakini bahwa permasalahan di dunia saat ini terlalu besar dan tidak mungkin dapat diubah. Sikap ini juga dapat kita telusuri dari ketidaktahuan individu, perasaan rumit dan keputusasaan, terutama ketika menghadapi permasalahan ekstrem lingkungan hidup.
Dengan demikian, setidaknya terdapat beberapa tantangan yang perlu ditelaah ulang ketika membaca relevansi Pancasila dengan isu lingkungan hidup saat ini, antara lain:
Pertama, tantangan untuk mengintegrasi diskusi mengenai keberagaman alam atau multinatural ke dalam kebijakan publik, untuk menciptakan keadilan sosial yang lebih inklusif dan berdampak kepada keadilan lingkungan. Kedua, tantangan untuk melakukan pembacaan ulang Pancasila dengan mengevaluasi antroposentrisme kuat sehingga mempertimbangkan aspek kepentingan ekologis untuk menopang kehidupan bermasyarakat yang berkelanjutan.
Ketiga, tantangan untuk mengakui dan menangani krisis lingkungan secara lebih nyata dan konkret, baik oleh pemerintah maupun masyarakat, melalui transformasi dan reformasi kebijakan pengelolaan lingkungan hidup. Keempat, tantangan untuk berani mengembangkan pendekatan kearifan lokal yang tidak terjebak kepada romantisasi semu dengan cara mengintegrasikan pendekatan ilmiah dan kontekstualisasi mitigasi atas krisis perubahan iklim global dan dampaknya bagi pengetahuan lokal dan kemajemukan masyarakat adat.
Baca juga: Ekologi Kewarganegaraan: Merespons Perubahan Iklim
Kelima, tantangan untuk menguatkan komitmen seluruh masyarakat Indonesia dalam menyikapi krisis lingkungan, dengan tujuan menghasilkan kesadaran ekologis baru dan persatuan visi serta misi masyarakat dalam pengelolaan lingkungan hidup baru.
Dengan demikian, jika Pancasila masih dianggap sebagai pandangan hidup (the way of life), sudah sewajarnya kita memikirkan ulang kehidupan seperti apakah yang akan diwujudkan bersama. Ketika semboyan Bhinneka Tunggal Ika dianggap sebagai motivasi etis untuk menyatukan keragaman yang ada, komitmen masyarakat juga perlu mempertimbangkan pembaruan atas interpretasi atas keragaman multi-ekologis yang ada.
Tujuan pembacaan baru atas krisis multidimensional lingkungan hidup menjadikannya satu landasan motivasi etis bahwa bukan sekadar untuk kepentingan manusia semata, tetapi juga untuk mempertimbangkan ulang apa yang pernah dikenal ”Ibu Pertiwi”. Ruang ekologis di mana seluruh elemen menyapa baik alam, manusia, dan bahkan nilai-nilai luhurnya. Ketika krisis lingkungan hidup membinasakan ”Bumi Pertiwi”, maka di saat bersamaan, mungkin saja seluruh memori sosiokultural masyarakat Indonesia akan hilang begitu saja, termasuk Pancasila.
Rangga Kala Mahaswa, Dosen di Fakultas Filsafat, Universitas Gadjah Mada
Instagram: mahaswa_rk