Kurator Pencerahan
Selain berkurangnya pembeli, di era digital dan media sosial saat ini, penerbit buku, majalah, atau koran juga menghadapi persoalan misinformasi, disinformasi, dan malinformasi.
Di tengah revolusi digital, dunia perbukuan dan percetakan mendapat tantangan, atau tepatnya pukulan, yang sangat berat. Koran Republika yang mulai berkiprah sejak 4 Januari 1993 menghentikan edisi cetaknya pada 1 Januari 2023 dan kini hanya menerbitkan edisi digital. Koran Sindo bahkan menghentikan versi cetak dan e-paper mulai 17 April 2023. Toko buku Gunung Agung yang telah berkiprah selama tujuh dekade mengumumkan akan menutup seluruh gerainya pada akhir tahun ini.
Jika toko buku, penerbit buku, dan koran mengalami senjakala, nasib perpustakaan juga tak kalah pilunya. Banyak yang berlomba mendirikan sekolah dan sebagian dengan biaya sangat mahal, tetapi tak banyak dari sekolah itu yang memiliki perpustakaan bagus. Ada beberapa perpustakaan umum, tetapi biasanya tak berumur panjang karena tak ada peminat atau berbiaya operasional tinggi. Sedihnya lagi, seperti dilaporkan Kompas (24/5/2023), ”Derai Air Mata Perbukuan Tanah Air”, di tengah merosotnya literasi dan pembajakan buku, 12 ton buku dari puluhan perpustakaan sekolah di Indramayu dicuri dan dijual Rp 2.500 per kilogram.
Tahun lalu, tepatnya 22 Oktober 2022, Penerbit Mizan melaksanakan peringatan 40 Tahun kiprahnya. Temanya ”Mizan 40th: Kurator Pencerahan”. Di balik gebyar ulang tahun tersebut, tebersit kegundahan tentang masa depan penerbit yang telah banyak membuka cakrawala pengetahuan dan menunjukkan berbagai perspektif dalam melihat agama ini.
Selama masa pandemi, Mizan bergantung pada penjualan digital. Sebelumnya mereka berkreasi untuk tetap berkibar dengan buku anak-anak, novel, buku psikologis dan how to, serta pembuatan film. Akankah Mizan terus menjadi kurator pencerahan? Apakah masyarakat masih terus membeli dan menggandrungi untuk membaca buku serius pada masa yang akan datang? Berapa lama lagi penerbit buku dan koran akan bertahan hidup di tengah revolusi digital yang terus mengubah dunia ini?
Empat puluh tahun menekuni dunia penerbitan tentu bukanlah masa yang pendek. Dimulai 1983 dengan buku Dialog Sunnah Syi’ah karya A Syarafuddin Al-Musawi, Mizan menebar pencerahan. Buku pertama itu pada satu sisi membuat Mizan dilabeli sebagai penerbit Syi’ah bahkan hingga sekarang. Namun, pada sisi lain, membuka ruang dialog terhadap perbedaan pandangan dalam isu agama di masyarakat.
Dalam perjalanannya, Mizan berhasil mengorbitkan nama-nama intelektual Muslim ke ranah nasional. Nama-nama besar nasional seperti Nurcholish Madjid, M Quraish Shihab, Masdar Farid Mas’udi, Bahtiar Effendy, Komaruddin Hidayat, Alwi Shihab, Jalaluddin Rakhmat, Azyumardi Azra, dan Ahmad Syafii Maarif tak lepas dari peran Mizan yang menerbitkan karya-karya mereka.
Bagi mahasiswa era 1980-an dan 1990-an, Mizan identik dengan intelektualisme. Citra menjadi mahasiswa cukup ditampilkan dengan membawa buku Mizan meski belum tentu dibaca. Seperti disampaikan Firman Azra ketika menerima penghargaan dari Mizan atas nama bapaknya, Azyumardi Azra, ”diseminasi pengetahuan itu sama pentingnya dengan penemuan ilmu itu sendiri. Di sinilah peran Mizan menjadi sangat penting”.
Seperti film Eat, Pray and Love (2010) yang dibintangi Julia Roberts, orientasi masyarakat saat ini banyak ke kebiasaan makan, beragama, atau berspiritualitas, dan cinta. Makanya, gerai-gerai di mall diisi dengan restoran dan toko buku berganti dengan toko olahraga atau bahkan menjadi tempat gym. Kalaulah ada toko buku, isinya didominasi oleh buku motivasi, how to, kitab suci, dan novel.
Baca juga: Insularitas Akademik
Selain berkurangnya pembeli, di era digital dan media sosial saat ini, penerbit buku, majalah, atau koran juga menghadapi persoalan lain. Konten tidaklah sesederhana tahun-tahun sebelumnya. Ada misinformasi, disinformasi, dan malinformasi yang membuat pembaca alih-alih menjadi semakin cerdas kadang bisa menjadi sangat emosional.
Di sini ”tradisi Iqra’” dengan membaca buku dalam waktu lama, sabar mengikuti buku yang tebal, dan mengkaji secara mendalam tema tertentu diganti atau bergeser ke kalimat singkat lewat Twitter, visual Instagram, dan video Youtube. Yang banyak menjadi referensi adalah yang viral. Bahkan, kita sering terkecoh, seakan yang viral itu adalah yang benar, yang viral atau ramai di medsos itu adalah suara mayoritas. Makanya, profesi baru yang muncul di era digital ini adalah menjadi buzzer dan content provider. Pekerjaan yang dimimpikan anak generasi sosmed bukanlah menjadi penulis buku atau profesor, melainkan menjadi youtuber dan selebgram.
Kondisi ironis terjadi di dunia akademik ketika beberapa penerbit dan toko buku nyaris mati. Akademisi kita rela membayar jutaan hingga puluhan juta rupiah untuk menerbitkan artikel di jurnal yang disebut ”jurnal internasional”. Indonesia, sedihnya, adalah salah satu pangsa pasar terbesar untuk penerbit jurnal yang meminta Article Processing Charge (APC) sangat mahal itu. Ini membuat dunia akademik menjadi semakin kurang menarik bagi generasi muda dan menjauhkan orang untuk mencintai dunia ilmu. Sudah gajinya kecil, beban dan tuntutannya banyak, dan untuk menerbitkan karyanya perlu membayar yang tak sedikit jumlahnya.
Baca juga: Ziarah Kubur
Logikanya, ketika jurnal itu hanya tersedia secara daring dan tak ada versi cetak, maka harganya semakin murah. Yang terjadi justru sebaliknya. Jurnal-jurnal itu hanya memublikasikan secara daring, sementara para penyuplai content atau isinya justru yang harus membayar dengan harga mahal. Padahal, reviewer, jika naskah itu direview, umumnya adalah pro bono atau gratisan sebagai komitmen akademik mereka.
Terakhir, pada ulang tahun ke-6 Satupena, pada 11 Mei 2023, Denny JA bercerita tiga hal terkait dunia penulisan dan penerbitan; kisah sedih, harapan, dan tantangan. Kisah sedih karena penulis tak bisa hidup dan dihargai dengan profesinya, serta berbagai penerbit dan toko buku gulung tikar. Bukan hanya di Indonesia, melainkan juga di negara lain. Borders, salah satu jaringan toko buku raksasa di Amerika Serikat, harus menutup 200 tokonya pada 2011 karena terus merugi. Demikian juga dengan Kinokuniya yang juga harus menutup tokonya satu per satu.
Ada harapan karena ternyata sejumlah penulis, terutama karya novel, bisa menjadi miliuner. Edudwar merilis 10 penulis terkaya di dunia tahun 2023 dengan kekayaan hingga Rp 22 triliun. Di antara mereka adalah JK Rawling, Stephen King, John Grisham, Elisabeth Badinter, dan Jeffrey Archer. Tantangan ke depannya adalah bagaimana penulis, sastrawan, dan budayawan memanfaatkan teknologi, seperti kecerdasan buatan (AI), dan berkolaborasi dengan industri dan ekonomi kreatif untuk bisa terus menjadi kurator pencerahan.
Ahmad Najib Burhani, Profesor Riset di Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)