Mengharmoniskan Ekonomi dan Lingkungan
Tanpa pemahaman yang benar dan komprehensif tentang interaksi dinamis antara sistem ekonomi dan sistem ekologi, kebijakan pembangunan justru kontradiktif bagi pembangunan berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045.
Dalam perspektif pembangunan berkelanjutan (sustainable development), Indonesia berada di persimpangan jalan. Di satu sisi, kita mesti meningkatkan pembangunan dan pemanfaatan sumber daya alam untuk menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi, menciptakan lapangan kerja, serta menyejahterakan rakyat secara adil dan berkelanjutan.
Sebab, meskipun bangsa Indonesia mengalami perbaikan di hampir semua bidang kehidupan (sektor pembangunan), hampir 78 tahun merdeka status pembangunan (kemakmuran) Indonesia masih sebagai negara berpendapatan menengah atas, dengan pendapatan nasional kotor (gross national income/GNI) per kapita sebesar 4.300 dollar AS. Suatu negara-bangsa dikategorikan negara makmur (high-income country) apabila GNI per kapitanya lebih dari 13.205 dollar AS (Bank Dunia, 2022).
Kapasitas ilmu pengetahuan kita pun masih rendah, kelas-3 (technology-adaptor country), belum mencapai kapasitas negara maju, kelas-1 (technology-innovator country) (UNESCO, 2020). Ciri negara dengan kapasitas iptek kelas-3 adalah lebih dari 70 persen kebutuhan teknologinya berasal dari impor. Adapun negara dengan kapasitas iptek kelas-1 adalah yang lebih dari 70 persen kebutuhan teknologinya dipenuhi oleh karya bangsanya sendiri.
Baca juga: Negara Berpendapatan Menengah Atas, Mengapa Baru Sekarang?
Dengan garis kemiskinan Rp 535.547 per orang perbulan, per September 2022 jumlah penduduk miskin masih 26,36 juta jiwa atau 9,57 persen total penduduk dan jumlah penduduk yang rentan miskin sekitar 40 persen (BPS, 2022).
Sementara itu, apabila mengacu kepada garis kemiskinan Bank Dunia (2022) sebesar 2,5 dollar AS per hari (sekitar Rp 1.125.000), angka kemiskinan mencapai 60 persen total penduduk. Yang lebih mencemaskan, 183,7 juta orang (68 persen total penduduk Indonesia) tidak mampu memenuhi makanan bergizi seimbang, dengan harga hanya Rp 22.126 per hari (Litbang Kompas, 9/12/2022). Lebih dari itu, 61,7 persen dari 65 juta unit rumah yang tersebar di seluruh wilayah Nusantara tergolong tidak layak huni (Bappenas, 2019).
Di sisi lain, kerusakan lingkungan berupa pencemaran, penggundulan hutan, kebakaran hutan dan lahan, banjir, tanah longsor, erosi, penurunan permukaan tanah (land subsidence), overfishing, biodiversity loss, kerusakan ekosistem terumbu karang dan mangrove di beberapa wilayah telah mencapai bahkan melampaui kapasitas keberlanjutan lingkungannya.
Contohnya, dari 2010 hingga 2015, luas hutan Indonesia menyusut sebesar 684.000 hektar atau rata-rata 136.800 hektar per tahun. Perihal penyusutan luas hutan, Indonesia merupakan negara kedua terparah di dunia setelah Brasil yang kehilangan hutannya rata-rata seluas 196.800 hektar setiap tahun (FAO, 2016).
Jumlah daerah aliran sungai (DAS) yang kritis di Indonesia terus meningkat. Pada 1984 ada 22 DAS dalam keadaan kritis, kemudian meningkat menjadi 22 DAS pada 1992, 62 DAS pada 1998, dan 208 DAS kritis pada 2020. Saat ini terdapat 12,7 juta hektar lahan kritis di Indonesia dan 4.200 DAS yang harus dipulihkan dari kerusakan lingkungan (KLHK, 2023).
Beragam kerusakan lingkungan di atas diperparah oleh berbagai dampak negatif akibat perubahan iklim global.
Kendati tidak separah di daratan, ekosistem laut pun mengalami kerusakan lingkungan yang membahayakan, bukan saja terhadap kelestarian ikan dan biota laut lainnya, melainkan juga bagi kesehatan dan kehidupan manusia. Perairan laut, terutama di kawasan pesisir yang padat penduduk dan/atau tinggi laju pembangunan (industrialisasi)-nya, seperti Teluk Jakarta, Semarang, Surabaya, Medan, Batam, dan kawasan pertambangan di Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, Maluku Utara, dan Papua, telah tercemar berat (heavily polluted).
Gejala overfishing di sebagian perairan laut Selat Malaka, pantura, Selat Bali, dan selatan Sulawesi selain telah menurunkan hasil tangkapan ikan (produktivitas nelayan), juga mengakibatkan kepunahan beberapa jenis ikan (biota laut) seperti ikan terubuk, ikan terbang (Torani sp), samadar, bangus, kerang raksasa (Tridacna gigas), dan penyu belimbing.
Beragam kerusakan lingkungan di atas diperparah oleh berbagai dampak negatif akibat perubahan iklim global, termasuk gelombang panas, peningkatan paras laut lantaran mencairnya gunung es raksasa di Kutub Selatan dan Kutub Utara, pemasaman laut (ocean acidification), dan cuaca ekstrem.
Pembangunan ekonomi optimal
Tanpa pemahaman yang benar dan komprehensif tentang interaksi dinamis antara sistem ekonomi dan sistem ekologi, kebijakan pembangunan untuk mengatasi dilema ekonomi versus lingkungan bisa sangat ekstrem dan justru kontraproduktif bagi pembangunan berkelanjutan menuju Indonesia Emas 2045. Sebut saja, pembangunan kawasan lindung (konservasi) berdasarkan prinsip ”no take zone” (tidak boleh ada aktivitas ekonomi apa pun di kawasan lindung tersebut) di tengah kehidupan masyarakat yang tinggi angka pengangguran dan kemiskinannya.
Maka, penduduk miskin tersebut selain menjadi beban pembangunan, mereka akan terpaksa melanggar regulasi terkait no take zone dan biasanya melakukan kegiatan ekonomi yang tidak ramah lingkungan. Ingat pesan International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan United Nations Enviroment Programme (UNEP) pada the World Conference on Protected Areas di Bali pada 5 Juni 1982 di Bali bahwa ”people with empty belly are impossible to think of conservation let a lone doing conservation (orang miskin tidak mungkin memikirkan konservasi, apalagi mengerjakan konservasi)”.
Demikian juga halnya dengan kebijakan kuota penangkapan ikan di suatu wilayah pengelolaan perikanan (WPP) yang lebih kecil dari 80 persen MSY (maximum sustainable yield, potensi produksi lestari) sumber daya ikannya. Sebab, menurut FAO (1995), usaha penangkapan ikan di suatu WPP secara biologi akan lestari (sustainable) asalkan laju penangkapannya maksimal 80 persen MSY.
Baca juga: Polemik Penangkapan Ikan Terukur
Bahkan, menurut ahli konservasi biologi, Profesot Theodore Panouyoto dari Harvard University (1999), di negara yang angka pengangguran dan kemiskinannya masih tinggi, laju penangkapan ikan di WPP-nya diperbolehkan hingga mencapai 120 persen MSY (MScY, maximum social yield). Setelah melalui pembangunan ekonomi yang benar, kemudian kemiskinan menurun signifikan, maka laju penangkapan ikan di setiap WPP harus dikurangi hingga 80 persen MSY.
Contoh lain perihal kebijakan yang kontra produktif bagi pembangunan berkelanjutan adalah larangan aktivitas penambangan liar (PETI) oleh masyarakat lokal, tanpa penyediaan mata pencarian atau teknologi alternatif yang mensejahterakan dan ramah lingkungan oleh pemerintah.
Sebaliknya, kebijakan dan praktik pembangunan ekonomi yang hanya mengejar pertumbuhan ekonomi, tetapi tidak peduli dengan aspek pemerataan kesejahteraan dan kelestarian lingkungan juga akan mengancam pembangunan berkelanjutan dan membahayakan peradaban manusia. Misalnya, banyak sekali kegiatan pembangunan yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang wilayah (RTRW), terletak di kawasan lindung, ruang terbuka hijau, atau di lahan yang tidak sesuai dengan peruntukannya.
Sampai sekarang, sebagian besar pabrik (industri manufaktur) belum menerapkan teknologi tanpa limbah (zero waste technology) dan teknologi rendah karbon (low carbon technology). Dengan demikian, mereka membuang limbah dan emisi karbon serta gas rumah kaca (GRK) lainnya lebih besar dari baku mutu (ambang batas) yang telah ditetapkan pemerintah.
Masyarakat lokal hanya dapat remah-remahnya. Mereka pada umumnya tetap miskin. Ketika mineral telah habis dieksploitasi, mereka hanya mewarisi lingkungan yang sangat rusak.
Selama ini, penambangan batubara, nikel, tembaga, dan mineral lainnya pun pada umumnya sangat merusak lingkungan serta memarginalkan masyarakat lokal. Keuntungan ekonomi yang dihasilkan oleh aktivitas pertambangan sebagian besar dibawa keluar oleh investor (korporasi) nasional ke Jakarta dan oleh korporasi asing ke negara asalnya. Masyarakat lokal hanya dapat remah-remahnya. Mereka pada umumnya tetap miskin. Ketika mineral telah habis dieksploitasi, mereka hanya mewarisi lingkungan yang sangat rusak, dan belum siap dengan kegiatan (usaha) ekonomi yang lebih produktif, menyejahterakan, dan berkelanjutan.
Maka, mulai sekarang kita harus secara serius dan konsisten menerapkan paradigma pembangunan berkelanjuta, yakni suatu model pembangunan untuk memenuhi kebutuhan umat manusia saat ini, tanpa mengurangi atau merusak kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan hidupnya (WCED, 1987).
Pada tataran praksis, pembangunan berkelanjutan adalah konsep dan praktik pembangunan untuk memanfaatkan SDA dan jasa-jasa lingkungan (environmental services) yang terdapat di ekosistem alam (bumi) untuk menghasilkan beragam komoditas dan produk yang dibutuhkan manusia, pertumbuhan ekonomi, lapangan kerja, dan mensejahterakan seluruh manusia secara adil, dan secara simultan menjaga daya dukung serta keberlanjutan dari ekosistem alam. Dengan perkataan lain, pembangunan berkelanjutan meniscayakan kue pertumbuhan ekonomi yang dihasilkan dari berbagai macam kegiatan pembangunan (ekonomi) yang ramah lingkungan, didistribusikan kepada seluruh rakyat Indonesia secara berkeadilan.
Baca juga: Ekonomi Sirkular Bukan Hanya Daur Ulang
Pedoman pembangunan
Untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan di tingkat kabupaten/kota, provinsi, dan nasional (negara), maka secara teknikal kita mesti mengikuti delapan pedoman pembangunan berikut. Pertama, di setiap level pemerintahan harus ada RTRW yang mengalokasikan kawasan lindung minimal 30 persen total luas wilayah dan 70 persen sisanya untuk berbagai jenis kegiatan pembangunan sesuai kesesuaian lahannya. Kegiatan pembangunan (seperti pertambangan, pertanian, industri manufaktur, dan pemukiman) tidak diizinkan berada di dalam kawasan lindung.
Kedua, kegiatan usaha pemanfaatan SDA terbarukan (seperti hutan, perikanan, dan lahan pertanian) harus tidak melampui kemampuan pulih (renewable capacity)-nya dan dilakukan dengan teknologi yang ramah lingkungan. Ketiga, kegiatan usaha eksploitasi SDA tidak terbarukan mesti dilakukan secara ramah lingkungan dan sebagian keuntungan dari usaha ini harus diinevestasikan untuk mengembangkan beragam kegiatan ekonomi yang berkelanjutan, seperti pertanian, perikanan, pariwisata, dan ekonomi kreatif berbasis teknologi Industry 4.0 dan Society 5.0.
Keempat, pengendalian pencemaran lingkungan dan emisi atmosfer untuk menjaga kualitas lahan, perairan, dan udara kita agar tetap sehat dan aman bagi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya. Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3), seperti logam berat, pestisida, plastik, dan limbah nuklir, tidak boleh dibuang ke lingkungan alam.
Limbah B3 harus diolah, dinetralkan lebih dahulu, baru kemudian boleh dibuang ke lingkungan alam secara ekstra hati-hati. Limbah non-B3 (organik dan unsur hara) diizinkan dibuang ke lingkungan alam, tetapi dengan laju pembuangan tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan alam.
Laju emisi karbon dan GRK lainnya harus sesuai dengan yang telah ditetapkan pemerintah (dokumen NDC, 2021). Untuk itu, kita harus menggunakan zero waste dan zero emission technology, teknologi 3R (reuse, reduce, dan recycle), dan ekonomi sirkular.
Baca juga: Urgensi Ekonomi Sirkular
Kelima, secara bertahap dan signifikan kita harus meninggalkan penggunaan energi fosil (minyak, gas bumi, dan batubaru), dan mulai sekarang juga meningkatkan penggunaan energi bersih dan terbarukan, seperti energi matahari, angin, air (hydropower), panas bumi, bioenergy, energi kelautan, dan hidrogen.
Keenam, melaksanakan konservasi baik pada level genetik, spesies maupun eksosistem, dengan pendekatan in-situ maupun ex-situ. Ketujuh, kegiatan pembukaan lahan, pembangunan permukiman, perkotaan, gedung-gedung, infrastruktur, dan pembangunan lainnya harus dirancang dan dikerjakan sesuai dengan struktur, karakteristik, dan dinamika proses-proses alam setempat, Design and Construction according to the Nature (Mc Hargh, 1966). Kedelapan, menyiapkan dan mengimplementasikan upaya mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global, tsunami, gempa bumi, banjir, dan bencana alam lainnya.
Dengan dukungan kebijakan politik-ekonomi yang kondusif, implementasi paradigma dan pedoman teknis pembanguan berkelanjutan tersebut di atas, diyakini bakal mampu menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, berkualitas, inklusif, dan ramah lingkungan secara berkelanjutan. Dengan demikian, kita mampu keluar dari middle-income trap dan mewujudkan Indonesia yang maju, adil-makmur, dan berdaulat (Indonesia Emas) pada 2045.
Rokhmin Dahuri, Ketua DPP PDI Perjuangan Bidang Kelautan dan Perikanan; Member of International Scientific Advisory Board of Center for Sustainable Coastal and Ocean Development, Universitas Bremen, Jerman; dan Profesor Emeritus di Universitas Shinhan, Korea Selatan