Ada yang menganggap ekonomi sirkular sama dengan proses daur ulang. Ini tidak salah, tetapi tidak sepenuhnya tepat. Daur ulang hanya salah satu bagian dalam sistem, dan sedapat mungkin tidak dilakukan.
Oleh
ARINDRA KARAMOY
·4 menit baca
Akhir-akhir ini, saya perhatikan mulai muncul iklan layanan masyarakat di beberapa televisi swasta mengenai ekonomi sirkular atau circular economy. Tentu layak diapresiasi niat pembuatan iklan-iklan tersebut untuk memberikan kesadaran bagi khalayak tentang menjaga lingkungan, mendaur ulang, dan ekonomi sirkular itu sendiri.
Namun, bagi saya, ada yang mengganjal dalam iklan-iklan tersebut. Dalam iklan-iklan tersebut pesannya adalah ekonomi sirkular seakan hanya mendaur ulang barang-barang, terutama plastik, yang tidak terpakai. Bagaimana memilah sampah plastik dan cara-cara plastik akan diolah dan lahir kembali menjadi produk baru.
Memang hal itu tidak sepenuhnya keliru, tetapi ekonomi sirkular tidak hanya mendaur ulang, bahkan pendauran ulang sebisa mungkin tidak sampai dilakukan karena masalah biaya, infrastruktur, dan lain sebagainya. Baik dari sisi hakikat ataupun aktivitas tentang ekonomi sirkular, iklan-iklan tersebut dapat memberikan pesan yang misleading.
Lalu, apa itu ekonomi sirkular? Apa bedanya dengan sistem ekonomi yang sekarang?
Ekonomi sirkular didasarkan pada beberapa prinsip. Pertama, bahwa limbah atau hasil buangan produksi dan konsumsi adalah ”makanan”. Alam mengajarkan bahwa tidak ada limbah dalam proses bekerjanya alam. Misalnya, kotoran binatang dan dedaunan yang gugur adalah ”makanan” bagi tanah agar subur.
Dengan demikian, kita dapat mencontoh proses tersebut dengan mendesain produk agar dapat digunakan kembali atau dibongkar pada masa akhir penggunaannya. Produk dan material lama yang usang tidak terpakai lagi menjadi ”makanan” bagi produk baru sehingga produk dan materialnya tetap memiliki nilai dan dapat digunakan kembali.
Kedua, membangun ketahanan dalam keragaman. Alam mengajarkan bahwa tiap spesies saling mendukung untuk sehatnya sistem sehingga keanekaragaman dapat menjadi kekuatan di tengah berbagai persoalan alam.
Artinya, dengan memiliki keanekaragaman kekuatan dan sumber daya akan jauh lebih mudah menghadapi disrupsi dan ketidakpastian. Hal ini terkait dengan perlunya kolaborasi dari pihak-pihak dalam rantai pasok.
Ketiga, menggunakan sumber daya terbarukan. Untuk dapat menjalankan ekonomi sirkular jelas perlu dukungan maksimal dari sumber daya yang tidak linear (dijelaskan di paragraf berikut), tetapi sumber daya yang juga ”sirkular” atau terbarukan.
Untuk dapat menjalankan ekonomi sirkular jelas perlu dukungan maksimal dari sumber daya yang tidak linear.
Keempat, dalam ekonomi sirkular tidak hanya satu pihak saja yang berubah, tetapi diperlukan perubahan mindset dari semua pemangku kepentingan. Jadi, untuk menjalankannya perlu berpikir dalam suatu sistem yang saling memengaruhi satu dengan lainnya.
Dalam model ekonomi linear, prosesnya adalah take-make-waste. Artinya, dalam proses produksi, kita mengambil (take) bahan dari alam, lalu membuat produknya (make), kemudian produk tersebut berpindah ke tangan konsumen. Setelah konsumen berhenti atau selesai menggunakan produk tersebut karena apa pun alasannya, produk dibuang menjadi limbah (waste), kembali ke alam. Proses ini yang coba dihilangkan di dalam sistem ekonomi sirkular.
Ada beberapa alasan mengapa ekonomi linear tidak berjalan dengan baik, seperti sumber daya dari bahan bakar fosil, makanan, dan air semakin sulit diperoleh. Dalam ekonomi linear, pola produksinya adalah terus mengambil bahan dari alam untuk menghasilkan produk sehingga jika bahan-bahan dari alam sudah sulit didapat, apakah mungkin dapat terus berproduksi? Sementara bahan-bahan yang menipis tersebut juga dibutuhkan oleh makhluk hidup, termasuk manusia untuk hidup.
Alasan lain, keanekaragaman hayati menurun di seluruh dunia, tetapi layanan ekologis yang disediakan oleh alam dieksploitasi sesukanya. Banyak yang meyakini bahwa pandemi adalah akibat dari gagalnya proses produksi linear menjaga hubungan antara manusia dan alam.
Secara umum, kegiatan di dalam suatu industri dengan sistem ekonomi sirkular ada beberapa, seperti penggunaan kembali (reuse), dapat diperbaiki (refurbish), dapat diproduksi ulang (remanufacture), dan dapat didaur ulang (recycle). Ada yang menganggap ekonomi sirkular sama dengan proses daur ulang. Tidak salah—seperti yang disampaikan dalam iklan-iklan layanan masyarakat—tetapi tidak sepenuhnya tepat.
Daur ulang hanyalah satu bagian aktivitas dalam sistem. Sedapat mungkin proses daur ulang tidak dilakukan. Ini karena proses daur ulang membutuhkan sumber daya yang besar. Memang ada produk yang mau tidak mau harus didaur ulang, seperti produk elektronik, dengan mendaur ulang komponen-komponen produk tersebut jika memang produk tersebut sudah tidak dapat digunakan sama sekali.
Ekonomi sirkular bertujuan untuk meredefinisi pertumbuhan, dengan fokus pada manfaat positif bagi seluruh masyarakat. Ini memerlukan proses bertahap untuk memisahkan kegiatan ekonomi dari konsumsi sumber daya yang terbatas, dan merancang limbah tetap berada di dalam sistem (in the loop), tidak dibuang kembali ke alam.
Mengubah sistem (linear) yang sudah begitu lama menjadi pola pikir dan aktivitas ekonomi tentu tidaklah mudah dan cepat. Membutuhkan waktu untuk menuju ke sistem baru. Begitu juga dengan perubahan paradigma menuju sistem ekonomi sirkular dari ekonomi linear.
Sistem linear yang sudah dimulai lebih kurang sejak lahirnya revolusi industri hingga sekarang memang mengubah peradaban manusia. Ia membawa banyak kemajuan bagi manusia dalam berbagai bidang industri hingga mengantarkan kita tiba di peradaban sekarang.
Namun, jelas bahwa cara linear tidak berkelanjutan untuk keberlangsungan hidup makhluk hidup, termasuk manusia. Satu sisi, ia membawa kemanfaatan, tetapi di sisi lain semakin mewujud kelemahannya.
Arindra Karamoy, Mahasiswa Program Doktor Pembangunan Berkelanjutan Universitas Trisakti