Siapa pun yang terpilih pada Pemilu Presiden 2024 harus berpikir lintas generasi dan bertindak sebagai pelayan rakyat dengan prioritas kebijakan publik yang mengupayakan bagi terwujudnya impian Indonesia Emas 2045.
Oleh
SUKIDI
·3 menit baca
”Kemiskinan,” kata filsuf Aristoteles dalam The Politics and the Constitution of Athens (1996), ”adalah induk dari revolusi dan kejahatan.” Terbukti, ”akar-akar ketidakpuasan di balik gelombang revolusi negara-negara Timur Tengah,” menurut Daron Acemoglu dan James Robinson dalam Why Nations Fail (2012), ”terletak pada kemiskinan rakyat.”
Meskipun keterkaitan itu tidak selalu benar di situasi negara yang berbeda, kemiskinan dapat menjadi bahan bakar bagi terjadinya revolusi sosial di republik yang semakin jauh dari impian kesejahteraan dan keadilan sosial untuk semua (social justice for all) dan semakin dekat dengan fakta meningkatnya kesenjangan (rising inequality) yang membunuh kemanusiaan. Bahkan, menurut laporan Oxfam (2022), ”kesenjangan berkontribusi pada kematian setidaknya satu orang setiap empat detik”.
Kemiskinan di tengah kesenjangan yang naik adalah tantangan terbesar yang menentukan masa depan republik ini. Siapa pun yang terpilih pada Pemilu Presiden 2024 harus berpikir lintas generasi dan bertindak sebagai pelayan rakyat dengan prioritas kebijakan publik yang mengupayakan bagi terwujudnya impian Indonesia Emas 2045. Impian itu hanya mungkin terealisasi dengan prioritas kebijakan yang berorientasi pada pemberdayaan fakir miskin dari lingkaran kemiskinan.
Dalam periode waktu yang lama, kemiskinan lebih sering diukur sebagai kekurangan uang dan pendapatan sehingga miskin berarti hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan ambang batas garis kemiskinan Rp 535.547 per bulan, pada September 2022, republik yang berkeadilan sosial ini bertanggung jawab untuk menunaikan janji kesejahteraan bersama pada nasib 26,36 juta rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Dengan batas garis kemiskinan yang diperluas, jumlah rakyat miskin pasti jauh lebih besar lagi. Mayoritas rakyat, sejujurnya, rentan miskin.
Dalam situasi demikian, kemiskinan bertemali dengan prevalensi stunting, kekurangan gizi, rendahnya tingkat kecerdasan dan harapan hidup, buruknya kualitas pendidikan, serta lemahnya modal manusia. Ini terkait dengan kenyataan bahwa orang miskin umumnya mengalami kekurangan kebebasan untuk mendapatkan akses yang adil dan setara pada pendidikan, kesehatan, pekerjaan, jaminan sosial, kredit, dan kesempatan-kesempatan sosial lain.
Akibatnya, republik ini tidak hanya tertinggal jauh dari negara-negara maju, tetapi juga kalah dalam bersaing dengan negara-negara di Asia Tenggara sekalipun. Rendahnya kualitas sumber daya manusia menjadi penyebab utama di balik keterbelakangan Indonesia. Tanpa keseriusan dalam penanganan kemiskinan, sumber daya manusia, dan berbagai masalah bangsa lainnya, impian Indonesia Emas 2045 tak lebih daripada retorika politik dan bahkan ilusi belaka.
Padahal, kemiskinan lebih dari sekadar kekurangan uang dan pendapatan yang amat sangat rendah itu di tengah kenaikan inflasi yang mencekik hidup rakyat miskin. ”Kemiskinan,” kata profesor Amartya Sen di Harvard, ”adalah kekurangan kebebasan manusia” (poverty is lack of human freedom, 1999). Selama ini, orang miskin kurang mendapat akses kebebasan penuh dalam mengembangkan kapabilitas internal untuk memilih apa yang dinilai berharga dalam hidupnya.
Seorang perempuan dengan akses kebebasan pada pendidikan yang lebih tinggi, bagi Sen, memiliki kesempatan sosial yang lebih baik untuk bekerja di sektor publik dengan gaji yang lebih tinggi ketimbang perempuan yang dicitrakan sebagai pahlawan hanya karena mengurus dirinya dan anak-anaknya di rumah. Itulah sebabnya, Sen meletakkan kebebasan, terutama akses kebebasan pada pendidikan yang tinggi dan berkualitas, sebagai instrumen penting bagi warga negara untuk bisa mengambil peran secara aktif dan luas dalam berbagai peluang dan kesempatan sosial (social opportunities).
Atas dasar itulah, presiden terpilih pada Pemilu 2024 dapat mengambil prioritas kebijakan dalam mewujudkan masyarakat yang adil dan sejahtera bagi semua warga, sesuai impian Indonesia Emas 2045, dengan berinvestasi sebesar-besarnya pada penyelenggaraan pendidikan, kesehatan, jaminan sosial, dan penciptaan lapangan kerja, yang semua itu bermanfaat secara produktif pada pembangunan kualitas sumber daya manusia bagi semua warga, terutama kaum fakir miskin yang selama ini telantar.
Dalam mengatasi kemiskinan, presiden 2024 memprioritaskan kebijakannya tidak hanya melulu pada bantuan tunai langsung yang sering kali berujung pada praktik korupsi, tetapi lebih pada upaya untuk membuka ruang kebebasan yang luas bagi kaum fakir miskin untuk mengembangkan potensi dan kapabilitas internal pada diri mereka melalui berbagai peluang dan kesempatan sosial yang tersedia untuk kemajuan dan kesejahteraan hidup. Itulah kualitas presiden yang terpilih pada Pemilu 2024, tetapi sesungguhnya meletakkan fondasi kebijakan yang menentukan dalam perwujudan impian Indonesia Emas 2045.