Menatap Putusan Uji Materi Sistem Pemilu dari Perspektif Sejarah Hukum
Dari pemilu ke pemilu terjadi pergeseran sistem. Catatan sejarah menunjukkan, perubahan sistem pemilu oleh pembentuk undang-undang tidak pernah dicampuri oleh putusan Mahkamah Konstitusi.
Harap-harap cemas menggelayuti perasaan para bakal calon anggota legislatif atau bacaleg menunggu putusan uji materi (judicial review) sistem pemilu oleh Mahkamah Konstitusi. Kecemasan bacaleg yang mustahil mendapatkan ”nomor peci” di partainya semakin menjadi ketika berhembus kabar bahwa sistem pemilu akan diputuskan dengan proporsional tertutup.
Sambil menunggu sidang pengucapan putusan Mahkamah Konstitusi (MK), terdapat beberapa hal menarik untuk dikemukakan dari perspektif sejarah hukum. Meski sisi sejarah kalah populer, setidaknya kajian ini dapat menyajikan peristiwa masa lalu dari sudut pandang yang obyektif.
Baca Berita Seputar Pemilu 2024
Profesor LJ Van Apeldoorn mengemukakan, sejarah hukum merupakan pertelaan sejumlah peristiwa yuridis dari zaman dahulu yang disusun secara kronologis, terus bergerak dan hidup. Penyelidikan sejarah bersifat membebaskan prasangka sehingga dituntut untuk kritis dalam segala hal.
Baca juga: Proporsional Terbuka atau Tertutup
Tiga penyelidikan sejarah yang relevan: pertama, dari sisi sejarah hukum pemilu. Peristiwa yuridis berlakunya sistem pemilu di masa reformasi, secara kronologis, diawali pada Pemilu 1999. Dasar penyelenggaraan Pemilu 1999 adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1999 tentang Pemilu. Pilihan sistem pemilu dituangkan dalam Pasal 1 Ayat (7) yang berbunyi, ”Pemilu dilaksanakan dengan menggunakan sistem proporsional berdasarkan stelsel daftar”.
Pada Pemilu 2004 terjadi pergeseran pilihan sistem pemilu. DPR menetapkan UU 12/2003 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD sebagai landasan penyelenggaraan pemilu. Pilihan sistem ”proporsional terbuka yang relatif tertutup” dituangkan dalam Pasal 6 Ayat (1) UU 12/2003, yang berbunyi, ”Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional dengan daftar calon terbuka”.
Pilihan sistem tersebut tergambar dari isi Pasal 107 Ayat (2) UU 12/2003. Penetapan calon terpilih anggota DPR, DPRD Provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dari partai politik (parpol) peserta pemilu didasarkan kepada perolehan kursi parpol peserta pemilu di suatu daerah pemilihan (dapil), dengan ketentuan: calon yang mencapai angka bilangan pembagi pemilih (BPP) ditetapkan sebagai calon terpilih; dan nama calon yang tidak mencapai angka BPP, penetapan calon terpilih ditetapkan berdasarkan nomor urut di dapil yang bersangkutan.
Hasil penyelidikan sejarah tersebut mematahkan prasangka historikal tentang perubahan dari tertutup ke terbuka karena putusan MK.
Berbeda halnya dengan Pemilu 2009 yang diselenggarakan berdasarkan UU 10/2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD. Pilihan sistem pemilu dituangkan dalam Pasal 5 Ayat (1) yang berbunyi, ”Pemilu untuk memilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka”.
Pilihan tersebut juga digunakan untuk Pemilu 2014, 2019, dan sesuai ketentuan UU akan digunakan pada Pemilu 2024. Dari pertelaan peristiwa sejarah hukum pemilu tergambar kronologis pergeseran pilihan sistem pemilu oleh pembentuk UU. Hasil penyelidikan sejarah tersebut mematahkan prasangka historikal tentang perubahan dari tertutup ke terbuka karena putusan MK.
Uji materi UU Pemilu
Penyelidikan kedua, dari perspektif sejarah putusan MK terhadap uji materi UU 10/2008, yang terdapat dalam Putusan MK No 22-24/PUU-VI/2008 tanggal 23 Desember 2008. Secara kronologis, norma pilihan sistem proporsional terbuka dalam Pasal 5 Ayat (1) UU 10/2008 berlaku sejak UU tersebut diundangkan pada 31 Maret 2008.
Dari sisi waktu, norma sistem proporsional terbuka tersebut telah ada sebelum ada putusan MK. Maka, catatan sejarah telah menepis prasangka historis tentang siapa yang mengubah sistem pemilu menjadi terbuka.
Dari sisi materi muatan, dalam putusan tersebut, ada tiga norma yang diuji: Pasal 55 Ayat (2) soal kuota caleg perempuan, Pasal 205 Ayat (4) sampai (7) soal penghitungan perolehan kursi tahap kedua, dan Pasal 214 huruf a) sampai e) soal penetapan kursi dengan BPP 30 persen. MK hanya membatalkan Pasal 214 UU 10/2008. Maka, yang tercatat dari sejarah putusan MK, sistem pemilu dalam Pasal 5 Ayat (1) UU 10/2008 tidak pernah dimohonkan uji materi.
Baca juga: Sistem Pemilu Bukan Isu Konstitusional
Bagaimana dengan alasan permintaan uji materi Pasal 168 UU 7/2017 untuk kembali ke tertutup dengan anggapan MK yang dahulu memberlakukan terbuka? Karena alasan tersebut dibangun dari prasangka seolah MK yang mengubah sistem dari tertutup ke terbuka, kajian yuridisnya ditelusuri melalui penyelidikan ketiga, dari perspektif sejarah pendapat hukum MK dalam Putusan No 22-24/PUU-VI/2008.
Dari penelusuran putusan tersebut tidak ditemukan pendapat hukum yang membahas alasan-alasan permintaan perubahan sistem pemilu dari tertutup ke terbuka. Yang ditemukan adalah pendapat MK terhadap penetapan caleg terpilih dalam sistem pemilu proporsional terbuka.
Mahkamah Konstitusi menilai, dengan sistem proporsional terbuka yang diberlakukan dengan UU 10/2008 pada Pemilu Legislatif 2009, keinginan rakyat memilih wakil sesuai kehendaknya dapat terwujud. Demikian pula harapan agar wakil terpilih tidak hanya mementingkan parpol, tetapi mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. Hak untuk menentukan pilihan dengan suara terbanyak juga lebih adil bagi caleg. Kemenangan tidak lagi digantungkan kepada parpol, tetapi pada besarnya dukungan suara rakyat, dan konflik internal parpol dapat dikurangi.
Oleh karena itu, penetapan calon terpilih atas dasar perolehan suara di atas 30 persen dari BPP atau menempati nomor urut lebih kecil jika tidak ada yang memperoleh angka BPP, atau yang menempati nomor urut lebih kecil jika yang memperoleh angka BPP lebih dari jumlah kursi proporsional yang diatur Pasal 214 UU 10/2008 adalah inkonstitusional karena bertentangan dengan makna substantif kedaulatan rakyat. Jika kehendak rakyat atas pilihannya tidak diindahkan dalam penetapan legislatif, dan jika calon yang mendapat suara lebih banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil, adalah melanggar kedaulatan rakyat.
Dilihat dari dimensi keadilan, Indonesia telah menganut sistem pemilihan langsung untuk presiden dan wakil presiden, DPR, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah. Menjadi adil pula jika pemilihan legislatif juga langsung memilih orang tanpa mengurangi hak-hak politik parpol. Setiap calon dapat menjadi anggota legislatif sesuai dengan perjuangan dan perolehan dukungan suaranya.
Jika kehendak rakyat atas pilihannya tidak diindahkan dalam penetapan legislatif, dan jika calon yang mendapat suara lebih banyak dikalahkan oleh calon yang mendapat suara kecil, adalah melanggar kedaulatan rakyat.
Dari filosofi penentuan pemenang berdasarkan suara terbanyak, calon terpilih harus pula ditentukan atas suara terbanyak secara berurutan, bukan atas dasar nomor urut terkecil. Memberlakukan ketentuan calon terpilih berdasarkan nomor urut berarti memasung hak suara rakyat untuk memilih sesuai dengan pilihannya dan mengabaikan tingkat legitimasi politik calon terpilih berdasarkan jumlah suara terbanyak.
Pendapat hukum MK di atas sesungguhkan memberi penguatan sekaligus legitimasi atas pilihan sistem proporsional terbuka dalam pemilu legislatif oleh pembentuk undang-undang.
Optimisme
Sebagai penutup, dengan terbebasnya dari prasangka masa lalu, melalui pendekatan teori siklus, tumbuh perasaan optimisme dalam menatap putusan MK nanti. Dalam teori siklus, sejarah itu bergerak melingkar. Setiap peristiwa historis akan selalu berulang kembali, yang dikenal dengan ”I’histoire se repete”. Demikian pula peristiwa historis perubahan sistem pemilu oleh pembentuk undang-undang yang tidak pernah dicampuri oleh putusan MK.
Dalam situasi politik apa pun, fungsi MK tetap sebagai the guardian of the constitution. Sebagai pengawal konstitusi, MK selalu memastikan tidak ada UU yang melanggar hak konstitusional warga negara semata-mata karena alasan menciptakan tertib hukum. Di lain pihak, MK juga memastikan tidak terjadi keadaan yang dengan alasan melindungi hak konstitusional warga negara, mengesampingkan kepentingan masyarakat.
Pilihan sistem pemilu terdapat dalam satu pohon variabel pemilu. Dari preseden berbagai putusan, setiap uji meteri terhadap variabel pemilu, semua diputus MK sebagai open legal policy (OLP) pembentuk UU. Putusan MK No 16/PUU-V/2007 dan No 52/PUU-X/2012 menetapkan, ambang batas perwakilan (parliamentary thereshold) sebagai OLP. Putusan No 55/PUU-XVII/2019, dan No 16/PUU-XIX/2021 soal jadwal pemilu atau model keserentakan pemilu, juga ditetapkan sebagai OLP. Putusan No 51-52-59/PUU-VI/2008 dan Putusan No 53/PUU-XV/2017 soal ambang batas pencalonan presiden juga ditetapkan sebagai OLP.
Merujuk kepada catatan sejarah dalam Naskah Rapat Paripurna Pengesahan RUU Pemilu tanggal 20 Juli 2017, ternyata norma sistem pemilu proporsional terbuka berada dalam satu paket variabel sistem pemilu. Paket tersebut terdiri dari lima variabel pemilu, yaitu ambang batas pencalonan presiden, ambang batas parlemen, sistem pemilihan umum proporsional terbuka, alokasi kursi per dapil, dan metode konversi suara.
Maka, dalam menjalankan fungsinya sebagai pengawal konstitusi, MK akan self restrain, tidak sampai kepada pembatalan sistem pemilu terbuka dalam UU 7/2017. Tidak lain karena norma tersebut berada dalam satu pohon variable pemilu yang menjadi OLP pembentuk UU.
Baca juga: Menanti Putusan Sistem Pemilu
Seandainya pun isi norma proporsional terbuka dinilai buruk oleh sebagian kalangan, tetapi saya optimistis MK tidak tergoda untuk melakukan judicial activism, mengubah sistem pemilu. Mengapa demikian? Sebab, yang dinilai buruk tidak selalu berarti inkonstitusional, kecuali kalau produk OLP tersebut melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Tidak ada moralitas, rasionalitas, maupun keadilan yang dilanggar pembentuk UU ketika menetapkan sistem proporsional terbuka dalam Pasal 168 Ayat (2) UU 7/1017.
Heru Widodo, Praktisi Hukum dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam As-Syafi'iyah Jakarta