Poin keberhasilan suatu kalimat adalah makin sederhana, makin ringkas, justru makin efektif. Gaya bahasa berbunga-bunga biasanya malah menyesatkan.
Oleh
Kurnia JR
·2 menit baca
Apa yang terpikir ketika Anda membaca kalimat berikut ini? ”Ia mencoba menepis wajah Marni yang masih terngiang hangat di dalam kepalanya”. Pola kalimat semacam ini ibarat kerikil yang tiba-tiba berserakan di dalam ruangan. Tentu saja, tak pada tempatnya kerikil bagi lantai keramik rumah.
Sayang sekali jika keasyikan membaca sebuah cerita yang dibangun dengan gagasan yang bagus mendadak buyar gara-gara satu kalimat yang makna anasir-anasirnya tidak saling selaras, bahkan justru berbenturan. Problem sintaktis serupa ini relatif sering terjadi pada banyak penulis muda.
Contoh kalimat lain yang aneh tapi nyata: ”Budi merasakan pening di kepala miliknya”. Adakah orang yang mengurusi soal pening di kepala ”milik” orang lain? Adakah yang benar-benar peduli kepala itu milik siapa?
Kita maklum, pada saat menulis demikian, sang pengarang tak bermaksud ingin meyakinkan pembaca bahwa yang ia bicarakan adalah betul-betul kepala milik Budi, bukan milik orang lain.
Banyak gagasan cerita yang bagus dan menarik, tetapi ditulis dengan cara yang naif. Di sinilah pentingnya untuk kembali mengingatkan bahwa seorang penulis perlu memiliki sebuah kamus yang baik. Kamus itu tidak sekadar memerikan makna leksikal atau padanan sebuah lema alias kata, tetapi juga memberikan contoh pemakaiannya di dalam kalimat, terutama untuk kata-kata bermakna abstrak.
Dalam kalimat absurd ”Ia mencoba menepis wajah Marni yang masih terngiang hangat di dalam kepalanya”, ada kemungkinan penulisnya ingin puitis, tetapi salah kaprah. Terngiang adalah kata kerja yang menerangkan suara, bukan rupa. Hal ini tampaknya tidak dipahami oleh si pengarang.
Kejanggalan bertambah dengan adanya kata hangat di situ. Apa hubungan wajah Marni dengan kehangatan yang, konon, terngiang di dalam kepalanya? Terlebih-lebih, di dalam narasi tersebut Marni adalah tokoh sadis, bukan kekasih manis yang memberi rasa hangat kala diingat.
Berbagai kata dipungut dan disusun tak pada tempatnya; dipaksakan jadi satu kalimat. Mustahil terbentuk koherensi makna manakala satu sama lain tidak selaras. Perkara keselarasan elemental perlu dipahami, khususnya oleh generasi mutakhir yang gandrung menulis dan mungkin telanjur mengagumi senior yang kadung yakin dengan gaya tulis yang salah kaprah demikian.
Hal yang berhubungan dengan problem serupa ialah lemahnya pemahaman tentang metafora di samping kelemahan menghayati keselarasan pemaknaan ketika memilih dan menempatkan kata-kata dalam suatu kalimat.
Ada percakapan menarik soal metafora dalam film Il Postino (Michael Radford, 1994). Menerangkan pengertian metafora kepada Mario Ruopollo, si tukang pos muda yang sangat mengagumi dirinya, penyair Chile Pablo Neruda memberi contoh ”langit menangis” untuk menyebut hujan.
Tidak puas dengan contoh metafora sesederhana itu, Ruopollo meminta contoh yang lebih kompleks. Don Pablo hanya mengatakan, dalam hal ini orang tidak berurusan dengan konstruksi sederhana atau ”canggih”.
Secara tak langsung sang penyair ingin menekankan bahwa yang terpenting saat mengungkapkan suatu maksud untuk memperjelas suatu subyek secara kreatif adalah maknanya gamblang dan mudah dimengerti. Makin sederhana, makin baik. Efektivitas ujaran tak berurusan dengan gengsi kompleksitas, apalagi sekadar demi kalimat indah. Gaya bahasa berbunga-bunga biasanya malah hampa dan menyesatkan.
Alangkah mudahnya menyatakan, ”Dia mencoba menepis wajah Marni yang masih terbayang di benaknya” dan ”Budi merasa pening”. Poin keberhasilan suatu kalimat adalah makin sederhana, makin ringkas, justru makin efektif.