Dalam konteks kelestarian alam dan lingkungan di perdesaan, keberhasilan upaya pelestarian lingkungan tidak hanya bergantung pada perilaku ramah lingkungan penduduknya, tetapi juga penduduk di wilayah lain.
Oleh
SIWI NUGRAHENI
·4 menit baca
Sekelompok anak muda yang menamakan diri Pandawara Group ramai diberitakan ketika mereka mengajak masyarakat untuk bersama-sama membersihkan sampah di sejumlah tempat. Pantai Pasir Putih di Desa Sukajaya, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, dan Pantai Labuan di Desa Teluk, Kabupaten Pandeglang, Banten, adalah dua contoh lokasi tempat Pandawara beraksi.
Pemberitaan kiprah mereka secara visual memberi gambaran tentang permasalahan sampah di sebagian besar wilayah di Indonesia, termasuk di perdesaan. Masalah sampah tersebut hingga saat ini bahkan belum ada solusinya.
Melalui Peraturan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Nomor 21 Tahun 2020, Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs) ditetapkan sebagai arah kebijakan pembangunan di perdesaan.
Dalam konteks pembangunan desa, SDGs dimodifikasi menjadi SDGs Desa yang memuat 18 tujuan pembangunan desa. Empat pilar utamanya ialah pembangunan ekonomi, keadilan sosial, kelestarian lingkungan, dan tata kelola yang dinamis dan adaptif.
Tak hanya mengatasi kemiskinan atau mengupayakan distribusi kesejahteraan yang semakin merata, desa-desa di Indonesia juga harus menjaga kelestarian alam dan lingkungan di wilayahnya. Tujuan pembangunan di bidang lingkungan makin relevan jika melihat bahwa salah satu sumber daya penting yang dimiliki desa adalah alam dan lingkungan yang (biasanya) lebih terjaga kelestariannya dibandingkan lingkungan di perkotaan.
Dengan karakteristik desa yang berbeda, setiap desa menghadapi tantangan pelestarian lingkungan yang juga berbeda. Desa yang memiliki wilayah hutan akan berhadapan dengan pelestarian hutan dengan keragaman flora dan faunanya. Baru-baru ini kami berkunjung ke sebuah desa yang menghadapi masalah perburuan burung ilegal di wilayah hutan mereka.
Desa-desa lain dengan jumlah penduduk besar atau yang berlokasi di dekat wilayah dengan permukiman padat, antara lain, menghadapi tantangan pengelolaan sampah, seperti contoh pada awal tulisan ini.
Upaya pelestarian lingkungan akan efektif jika melibatkan semua penduduk desa. Apalagi jika pelestarian lingkungan tersebut menuntut perubahan perilaku.
Upaya pelestarian lingkungan akan efektif jika melibatkan semua penduduk desa. Apalagi jika pelestarian lingkungan tersebut menuntut perubahan perilaku. Penanggulangan sampah yang berkelanjutan, misalnya, memerlukan perilaku warga yang bersedia mengurangi timbunan sampah. Selain itu, juga memilah sampah, mengolah sampah organik mereka, dan mengumpulkan sampah non-organik dalam kondisi bersih untuk meningkatkan potensi daur ulang.
Dalam banyak kasus, kelestarian lingkungan di desa juga dipengaruhi oleh wilayah di luar desa yang bersangkutan. Hubungan antara desa dan wilayah di luar desa itu menjadi penentu keberhasilan upaya pelestarian lingkungan di desa.
Relasi desa dengan wilayah sekitarnya
Pengelolaan sampah kembali saya angkat sebagai contoh. Sumber masalah yang biasanya menjadi sorotan dalam permasalahan sampah di Indonesia adalah kurangnya kesadaran masyarakat untuk membuang sampah pada tempatnya.
Ketika penduduk membuang sampah sembarangan, desa-desa di pesisir menanggung dampaknya. Sampah masuk ke aliran air (selokan, sungai) terbawa hingga ke wilayah pesisir membentuk gunungan sampah.
Desa Sukajaya dan Desa Teluk di awal tulisan ini adalah contohnya. Pencemaran sampah di laut juga menyebabkan menghilangnya ikan dan sumber daya kelautan lain yang menjadi sumber mata pencarian penduduk lokal. Hal ini, antara lain, dialami oleh penduduk Desa Pantai Mekar, Kabupaten Bekasi, Jawa Barat.
Sebetulnya ketaatan penduduk membuang sampah pada tempatnya bukan solusi yang berkelanjutan.
Sebetulnya ketaatan penduduk membuang sampah pada tempatnya bukan solusi yang berkelanjutan. Pengelolaan sampah di sebagian besar wilayah Indonesia masih menganut sistem paling sederhana, yaitu kumpul, angkut, dan buang di tempat pembuangan akhir (TPA).
Kota-kota yang bersih dari sampah sering mengandalkan ”pengorbanan” wilayah lain sebagai TPA sampah mereka. Lokasi TPA dipilih jauh dari permukiman, sebagian di antaranya berada di wilayah perdesaan. Dalam konteks ini, penanganan sampah di perkotaan hanya memindahkan masalah dari wilayah mereka ke perdesaan.
Mengapa warga desa-desa tempat TPA berada tidak keberatan ketika wilayahnya menjadi lokasi pembuangan dan penyimpanan sampah?
Tentu mereka keberatan. Namun, dengan kompensasi finansial, pertukaran antara sampah dan uang dianggap sepadan. Penduduk setempat pun mengorbankan kenyamanan mereka dengan bau sampah dari TPA dan kendaraan pengangkut sampah yang lalu lalang di depan rumah.
Di kemudian hari, jika penduduk di sekitar TPA menganggap bahwa pertukaran tersebut tidak imbang, mereka tidak mampu mengubahnya. Rendahnya status sosial-ekonomi penduduk mengubur kemampuan mereka dalam memperjuangkan hak atas hidup nyaman, bebas dari bau sampah kiriman.
Dengan kompensasi finansial, pertukaran antara sampah dan uang dianggap sepadan. Penduduk setempat pun mengorbankan kenyamanan mereka dengan bau sampah.
Dalam hal ini, dibutuhkan kebijakan yang lebih komprehensif, yang melibatkan semua pihak yang berkepentingan, untuk mencapai kebijakan lebih adil dan berempati. Pejabat pemerintah daerah pengirim sampah harus mampu berempati dengan situasi penduduk desa di lokasi TPA.
Setiap tanggal 5 Juni kita peringati sebagai Hari Lingkungan Hidup Sedunia sebagai upaya menyadarkan masyarakat akan pentingnya kelestarian lingkungan. Dalam konteks kelestarian alam dan lingkungan di perdesaan, keberhasilan upaya pelestarian lingkungan tidak hanya tergantung pada perilaku ramah lingkungan penduduknya, tetapi juga penduduk di wilayah lain.
Permasalahan sampah yang diangkat dalam tulisan ini adalah salah satu contohnya. Kebijakan yang komprehensif, berkeadilan, dan penuh empati diperlukan untuk mencapai kelestarian lingkungan di perdesaan.