Relasi Ekonomi Desa-Kota
Upaya menaikkan posisi tawar masyarakat perdesaan tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, tetapi juga demi keadilan dan kesetaraan dalam relasi ekonomi antara penduduk perdesaan dan warga perkotaan.
Ilmu ekonomi menggambarkan interaksi antarpelaku ekonomi dalam sebuah diagram alir yang disebut Circular Flow of Economic Activity. Dalam model paling sederhana diasumsikan ada dua pelaku ekonomi—rumah tangga dan perusahaan—yang berinteraksi di dua pasar, yakni pasar produk dan pasar faktor produksi (input). Pada dua jenis pasar ini, dua agen ekonomi tersebut berlaku sebagai produsen dan konsumen secara bergantian.
Dalam bingkai circular flow of economic ectivity, kita bisa mengganti dua pelaku ekonomi tersebut dengan desa dan kota. Warga perdesaan dan warga perkotaan bertindak sebagai produsen sekaligus konsumen secara bergantian, berinteraksi di pasar komoditas dan pasar input.
Desa sebagai produsen dan konsumen
Masyarakat perdesaan berperan sebagai produsen biasanya dalam konteks sebagai penghasil komoditas pertanian karena 82 persen desa di Indonesia hidup dari sektor pertanian. Desa persawahan adalah produsen beras, desa nelayan adalah produsen ikan dan hasil laut lain, desa perkebunan adalah produsen hasil kebun, seperti sayuran, kopi, karet, kakao, tembakau, dan lain-lain.
Tidak semua desa bertumpu pada sektor pertanian. Desa yang wilayahnya berbatasan dengan kota banyak warganya yang bekerja di kota. Menjadi buruh pabrik biasanya lebih menarik ketimbang meneruskan mengolah lahan atau sawah leluhurnya. Dalam konteks ini, warga perdesaan menjadi produsen faktor produksi di pasar input.
Sebagai konsumen, masyarakat perdesaan adalah pembeli produk-produk dari luar wilayah mereka, baik barang konsumsi untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari maupun barang modal untuk menunjang mata pencaharian mereka, seperti sarana produksi pertanian, barang-barang modal melaut, dan sebagainya. Di desa yang mayoritas penduduknya bekerja sebagai buruh pabrik, hampir semua barang yang dibeli adalah barang konsumsi.
”Price taker”
Membicarakan relasi ekonomi antara penduduk yang tinggal di wilayah perdesaan dan penduduk yang tinggal di wilayah perkotaan lebih menarik jika melihat seberapa besar nilai barang dan jasa serta faktor produksi yang mengalir dari desa ke kota, dan sebaliknya, dari kota ke desa. Informasi itu dapat menggambarkan bagaimana posisi tawar di antara kedua kelompok masyarakat tersebut.
Memang tidak ada data kuantitatif, semacam data input-output, yang dapat menggambarkan aliran barang dan input relatif antarmasyarakat yang tinggal di kedua wilayah tersebut. Namun, mengamati pihak mana yang lebih berkuasa sebagai penentu harga atas barang dan jasa, baik yang dikonsumsi maupun yang diproduksi, barangkali dapat mewakilinya.
Lebih menarik jika melihat seberapa besar nilai barang dan jasa serta faktor produksi yang mengalir dari desa ke kota, dan sebaliknya, dari kota ke desa. Informasi itu dapat menggambarkan bagaimana posisi tawar di antara kedua kelompok masyarakat tersebut.
Dalam sebuah pelatihan untuk warga desa, kami meminta mereka membawa barang-barang yang dijual di warung setempat. Mereka kemudian memilah barang-barang dalam dua kelompok: komoditas yang dihasilkan oleh desa setempat dan produk yang didatangkan dari luar, lalu melakukan identifikasi siapa penentu harga atas barang-barang tersebut.
Hampir semua barang masuk ke keranjang ”datang dari luar desa”, hasil industri di kota, seperti: rokok, sabun, minyak goreng, gula, makanan kecil, mi instan, air dan minuman kemasan, pupuk, serta benih padi. Satu-satunya barang yang masuk ke keranjang ”hasil produksi desa” adalah beras. Memang desa tersebut adalah desa penghasil beras.
Ketika tiba pada tahap menganalisis siapa pihak yang menentukan harga barang-barang tersebut, hampir semua peserta pelatihan sepakat bahwa mereka bukan pihak yang berkuasa menentukan harga bagi barang-barang yang mereka beli dan beras yang mereka hasilkan.
Sebagai konsumen untuk barang kebutuhan sehari-hari, harga ditentukan oleh penjual. Sebagai konsumen atas barang-barang modal untuk mata pencaharian mereka, warga desa juga berlaku sebagai price taker. Sebagai produsen beras, harga hasil panen petani juga ditentukan oleh pihak di luar petani. Situasi yang kurang lebih sama juga terjadi pada petani penghasil sayur.
Penduduk desa dengan mata pencaharian pengumpul sumber daya alam, seperti nelayan atau pencari produk hasil hutan (kayu dan nonkayu), posisi tawar mereka bisa lebih rendah lagi karena sering kali modal yang digunakan untuk melaut atau pergi ke hutan adalah hasil pinjaman dari para tauke. Mereka tak ubahnya bekerja sebagai buruh bagi para pemilik modal tersebut.
Baca juga : Dana Desa, Ketahanan Pangan, dan Bonus Kelestarian Lingkungan
Posisi tawar masyarakat desa yang lebih rendah menyebabkan relasi ekonomi antara warga perdesaan dan warga perkotaan timpang. Barangkali hal ini yang menyebabkan tingkat kemiskinan di wilayah desa selalu lebih tinggi dibandingkan tingkat kemiskinan di perkotaan. Data BPS menyebutkan bahwa pada semester II-2021, ada 12,53 persen penduduk perdesaan yang masuk kategori miskin, sementara angka untuk wilayah perkotaan adalah 7,6 persen.
Sebetulnya kondisi ini sudah membaik jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya (kecuali tahun 2019). Kecenderungan tingkat kemiskinan yang menurun sudah terjadi bahkan sejak dua puluh tahun yang lalu. Akan tetapi, angka kemiskinan wilayah perdesaan tidak pernah lebih rendah dibandingkan angka kemiskinan wilayah perkotaan.
Posisi tawar masyarakat desa yang lebih rendah menyebabkan relasi ekonomi antara warga perdesaan dan warga perkotaan timpang. Barangkali hal ini yang menyebabkan tingkat kemiskinan di wilayah desa selalu lebih tinggi dibandingkan tingkat kemiskinan di perkotaan.
Meningkatkan posisi tawar
Meningkatkan kesejahteraan penduduk perdesaan dapat dicapai, antara lain, dengan menyelesaikan persoalan rendahnya posisi tawar mereka relatif dibandingkan warga perkotaan. Sebagai konsumen, petani di desa-desa dapat mulai memenuhi kebutuhan akan sarana produksi pertanian secara mandiri, misalnya dengan menghasilkan pupuk (biasanya pupuk kompos) dan benih sendiri.
Upaya ini tidak hanya meningkatkan kedaulatan, tetapi juga menguntungkan secara finansial karena faktor produksi buatan sendiri biasanya menghasilkan produktivitas lebih tinggi.
Baca juga : Desa-desa yang Menggeliat
Salah satu petani padi organik mitra kami yang menggunakan benih hasil budidayanya mampu menghasilkan 12 ton padi per hektar per musim tanam (data BPS tahun 2021 menunjukkan rata-rata produktivitas sawah di Indonesia adalah 5,2 ton per hektar).
Sayangnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2019 tentang Sistem Budidaya Pertanian Berkelanjutan masih bersikap ”abu-abu” antara mengizinkan petani menghasilkan benih secara mandiri dan menganggap tindakan tersebut melanggar hukum. Jangan sampai terjadi lagi kasus petani ditangkap karena menanam benih hasil budidaya sendiri.
Jangan sampai terjadi lagi kasus petani ditangkap karena menanam benih hasil budidaya sendiri.
Sebagai produsen, petani dan nelayan di perdesaan dapat membentuk kelompok atau koperasi yang memperjuangkan kepentingan mereka, antara lain, menjaga harga produknya tidak jatuh berlebihan ketika panen tiba. Berjuang bersama-sama akan lebih kuat dibandingkan berjuang secara individual. Tantangannya adalah selalu menjaga soliditas anggota dan profesionalitas pengurus organisasi.
Semua upaya menaikkan posisi tawar masyarakat perdesaan tidak hanya untuk meningkatkan kesejahteraan penduduk desa, tetapi juga demi keadilan dan kesetaraan dalam relasi ekonomi antara penduduk perdesaan dan warga perkotaan.