Desa Industri
Investasi memang perlu, termasuk investasi di sektor industri. Akan tetapi, investasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka kesempatan kerja di perdesaan harus tetap memperhatikan kelestarian lingkungan.

Tidak semua desa identik dengan pertanian. Banyak juga desa dengan sektor industri sebagai penyangga perekonomian warganya. Pabrik-pabrik yang berlokasi di desa biasanya juga menjadi tempat bekerja warga lokal.
Membangun pabrik memerlukan lahan luas. Keterbatasan lahan di perkotaan menyebabkan munculnya pabrik-pabrik di wilayah perdesaan. Bila tidak dikelola dengan benar, industri di perdesaan dapat memicu hilangnya lahan hijau produktif secara berlebihan dan menjadi sumber pencemaran lingkungan.
Mengutip Badan Pertanahan Nasional (BPN), laju alih fungsi lahan sawah menjadi non-sawah semakin kencang. Tahun 1990an, 30.000 hektar per tahun lahan sawah berubah menjadi lahan terbangun, sebagian besar menjadi kawasan industri dan permukiman.
Pada 2011, alih fungsi lahan ini menjadi 110.000 hektar per tahun, dan tahun 2019 menjadi 150.000 hektar per tahun. Memang ada peraturan yang mewajibkan pencetakan lahan sawah baru untuk mengganti lahan sawah yang dialihfungsikan. Namun, kecepatannya tidak dapat mengimbangi laju sawah yang hilang. Luas sawah secara keseluruhan menyusut.
Ada peraturan yang mewajibkan pencetakan lahan sawah baru untuk mengganti lahan sawah yang dialihfungsikan. Namun, kecepatannya tidak dapat mengimbangi laju sawah yang hilang
Selain itu, pencetakan sawah baru hampir selalu berasal dari lahan hijau lainnya (hutan misalnya), yang memiliki fungsi ekologis, antara lain sebagai penyimpan air, penyerap karbon, dan penghasil oksigen.
Berubahnya lahan hijau menjadi lahan terbangun akan menghilangkan fungsi itu, dan berpotensi menimbulkan masalah. Di antaranya, potensi longsor, bencana banjir di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau, serta naiknya suhu udara di wilayah itu.
Alih fungsi sawah beririgasi teknis jadi kawasan terbangun juga sebuah pemborosan. Saluran dan prasarana irigasi dibangun, dan di kemudian hari sawah-sawah yang mendapatkan air darinya beralih fungsi jadi kawasan industri atau permukiman. Investasi prasarana pertanian pun sia-sia.
Baca juga : Transisi Energi di Perdesaan

Alat berat disiapkan di atas bekas sebuah petak sawah yang sedang dialihfungsikan di Kecamatan Sewon, Bantul, DI Yogyakarta, Rabu (18/1/2023). Alih fungsi lahan pertanian menjadi ancaman terhadap pencapaian ketahanan dan keamanan pangan. Pemerintah menetapkan luas lahan pertanian pangan berkelanjutan di Kabupaten Bantul seluas 14.407,50 hektar sebagai bagian upaya memperlambat laju alih fungsi lahan pertanian.
Salah satu upaya pemerintah menahan laju alih fungsi lahan pertanian adalah dengan menetapkan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B). Namun, wewenang untuk memutuskan alih fungsi lahan ada di tangan pemerintah daerah. Sinergi antara pemerintah pusat dan daerah perlu diuji agar peta fungsi lahan tidak selalu berubah.
Pabrik yang berlokasi di perdesaan juga bisa jadi sumber pencemaran lingkungan. Salah seorang mahasiswa saya meneliti biaya lingkungan akibat pencemaran air di sebuah desa. Sejak berdirinya pabrik tekstil di desa itu, penduduknya tidak bisa lagi memanfaatkan air tanah. Selain berbau, air tanah juga menyebabkan gatal. Penduduk terpaksa membeli air untuk memenuhi kebutuhan.
Problem pencemaran
Meskipun penduduk menanggung biaya tambahan akibat air tanah mereka tercemar limbah pabrik, mereka tidak melakukan protes. Sebagian warga desa menggantungkan penghidupannya pada perusahaan tersebut. Posisi tawar mereka rendah, kerugian akibat pencemaran berhadapan dengan kebutuhan mereka atas pekerjaan yang disediakan pabrik sumber pencemaran.
Kalaupun warga lokal melakukan protes, penyelesaian masalah pencemaran tidak selalu mudah. Kita bisa menyimak kasus pencemaran oleh sebuah pabrik ban bekas di sebuah desa di Kendal. Sejak berdiri tahun 2008, pabrik tersebut sudah meresahkan penduduk yang tinggal di sekitarnya. Udara, air, dan tanah di lokasi mereka tinggal tercemar. Beberapa keluarga bahkan terpaksa mengungsi karena tidak tahan dengan polusi udara dari pabrik.
Jika ditelusuri, berita tentang protes penduduk setempat sudah ada sejak tahun 2015. Namun, sampai tahun 2023, saya masih membaca berita soal itu di surat kabar. Ada kesan terjadi tarik ulur antara ”telanjur investasi” dan dampak kerusakan lingkungan yang ditimbulkan dari investasi tersebut.
Baca juga : Pembangunan Desa Berkelanjutan

Kondisi hulu Sungai Paku di Desa Apar Batu, Kecamatan Awang, Kabupaten Barito Timur, Kalimantan Tengah, Sabtu (30/3/2019), yang rusak akibat penimbunan jalan oleh perusahaan tambang. Sungai tersebut merupakan sumber kehidupan bagi sedikitnya tiga desa di Kecamatan Awang.
Tak hanya pabrik besar, perusahaan-perusahaan kecil pun bisa menjadi sumber pencemaran di desa. Pabrik tahu, perusahaan penyamakan kulit, dan pabrik sablon kain, misalnya, membuang limbahnya langsung ke sungai. Perusahaan kecil sering berlindung di balik status UMKM, dengan investasi kecil, kapasitas terbatas, sehingga tidak memiliki anggaran mengolah limbah.
Membangun instalasi pengolah air limbah (IPAL) sering tidak murah. Akan tetapi, hal itu bukan alasan untuk mengorbankan lingkungan dengan mengotorinya, karena dampaknya akan berbalik kembali pada kualitas hidup manusia. Perlu dicari cara, misalnya penyediaan fasilitas IPAL yang digunakan secara bersama-sama, atau limbah yang diolah menjadi produk baru. Penduduk desa-desa penghasil tahu, seperti Desa Kebon Jati di Sumedang, atau Desa Sambak di Magelang, misalnya, berhasil mengolah limbah tahu hasil produksi mereka menjadi biogas.
Sebetulnya sudah lama Indonesia memiliki mekanisme untuk mengurangi dampak lingkungan dari pembangunan fisik atau sebuah kebijakan. Analisis mengenai dampak lingkungan (amdal) dan kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) adalah instrumen yang, jika dilakukan dengan benar, dapat mencegah kerusakan lingkungan dan perubahan tata ruang, memastikan sistem ekologi berfungsi dengan baik.
Asesmen lingkungan sebelum sebuah proyek atau kebijakan digulirkan, seperti amdal atau KLHS, tidak boleh dipandang sebagai penghambat investasi.
Investasi memang perlu, termasuk investasi di sektor industri. Akan tetapi, investasi yang mendorong pertumbuhan ekonomi dan membuka kesempatan kerja di perdesaan harus tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Asesmen lingkungan sebelum sebuah proyek atau kebijakan digulirkan, seperti amdal atau KLHS, tidak boleh dipandang sebagai penghambat investasi, tetapi justru sebagai pelengkap agar kegiatan ekonomi tidak menimbulkan dampak buruk bagi alam dan lingkungan.
Mengutip Gunter Pauli, penulis buku dan pencetus blue economy, alam adalah sahabat manusia, bukan korban dari pemanfaatan tanpa batas.