Tren digital nomaden berimplikasi pada perpajakan yang perlu diantisipasi pemerintah karena tren ini mengaburkan batasan pengertian residensi untuk perpajakan dan pengakuan atas asal penghasilan.
Oleh
YASINTA WIDYA PARAMITHA
·2 menit baca
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan pada awal April 2023 mengusulkan pengenaan pajak kepada turis asing untuk meningkatkan kualitas turis. Usulan tersebut mengemuka di tengah sorotan publik atas berbagai pelanggaran oleh turis asing.
Dengan merujuk kepada laporan Travel & Tourism Development Index 2021, Menko Kemaritiman menyatakan bahwa negara yang menerapkan quality tourism mendapatkan manfaat ekonomi yang lebih baik dari pengeluaran lebih tinggi wisatawan mancanegara. Walaupun belum ada informasi detail kebijakan ”pajak turis asing” tersebut, tetapi berbagai perkembangan terkini sektor pariwisata sejatinya berkaitan erat dengan isu perpajakan.
Dalam laporan yang sama juga disebutkan, sektor pariwisata mengalami berbagai perubahan dramatis, seperti tren digital nomaden (digital nomad). Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) menginterpretasikan digital nomaden sebagai gaya hidup yang memanfaatkan kemajuan teknologi untuk terlepas dari ketergantungan lokasi tempat tinggal dalam beraktivitas, utamanya untuk bekerja.
Digital nomaden adalah bagian dari tren besar cross-border remote working revolution yang menjadi semakin jamak dalam tiga tahun terakhir akibat perkembangan teknologi, pandemi Covid-19, serta preferensi tenaga kerja generasi milenial dan gen Z yang menyukai petualangan dan pengalaman baru. OECD menyatakan setidaknya terdapat 28 negara (termasuk Indonesia) yang menawarkan izin tinggal untuk menarik digital nomaden.
Para digital nomaden dapat mengajukan visa kunjungan satu kali perjalanan (B211A) untuk masa tinggal 60 hari atau 180 hari (dapat diperpanjang kembali). Alternatif lain, para digital nomad menggunakan jenis visa rumah kedua yang baru diluncurkan pemerintah Indonesia untuk mendapatkan izin tinggal selama lima tahun atau sepuluh tahun.
Digital nomad berpotensi mendatangkan manfaat ekonomi bagi negara tujuan seperti Indonesia dari sisi multiplier effect konsumsi hingga membantu mendorong inovasi untuk mendukung ekosistem ekonomi digital mengingat tak sedikit pelaku digital nomad adalah talent di sektor teknologi. Namun, trendigital nomaden berimplikasi kepada perpajakan yang perlu diantisipasi pemerintah karena tren ini mengaburkan batasan pengertian residensi untuk perpajakan dan pengakuan atas asal penghasilan.
Ketentuan visa bagi digital nomaden di berbagai negara mayoritas menganut prinsip bahwa pemegang visa tersebut tidak dapat bekerja untuk bisnis lokal, memiliki klien lokal, atau mendapatkan penghasilan dari dalam yuridiksi lokasi. Dengan kemudahan yang diberikan bagi para digital nomad, menciptakan tantangan bagi otoritas pajak lokasi bermukim digital nomaden (seperti Indonesia) untuk menjamin perlakuan peraturan pajak yang adil.
Tren digital nomaden berimplikasi kepada perpajakan yang perlu diantisipasi pemerintah karena tren ini mengaburkan batasan pengertian residensi untuk perpajakan dan pengakuan atas asal penghasilan.
Peraturan perpajakan
Warga negara asing (WNA) termasuk digital nomadenyang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, maka WNA tersebut merupakan subyek pajak luar negeri. WNA dapat ditetapkan menjadi subyek pajak dalam negeri apabila berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 18/PMKc03/2021 diatur, WNA dapat memilih dikenai Pajak Penghasilan (PPh) hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh di Indonesia atau memanfaatkan Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antara Pemerintah Indonesia dan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra tempat WNA memperoleh penghasilan dari luar Indonesia. WNA yang memilih untuk dikenai PPh hanya atas penghasilan yang diterima atau diperoleh dari Indonesia dapat mengajukan permohonan.
Dengan kata lain, Indonesia menerapkan prinsip teritorial bagi WNA dan bukan secara prinsip worldwide income. Penerapan prinsip perpajakan secara teritorial dapat diterapkan dengan syarat WNA tersebut memenuhi ketentuan memiliki keahlian tertentu (lampiran II PMK No 18/ PMK.03/2021) dan berlaku selama empat tahun pajak yang dihitung sejak WNA tersebut menjadi subyek pajak dalam negeri.
Dengan ketentuan izin tinggal yang ada saat ini, memungkinkan pelaku digital nomaden untuk tinggal di Indonesia lebih dari 183 hari dalam satu tahun (baik yang menggunakan Visa B211A yang diperpanjang maupun visa second home). Juga terdapat potensi para pelaku digital nomad mendapatkan penghasilan dari dalam Indonesia.
Untuk menjamin terlaksananya ketentuan perpajakan yang adil, otoritas pajak perlu melakukan pengawasan. Kerja sama antara instansi pemerintah juga perlu ditingkatkan, terutama antara Ditjen Imigrasi dan Ditjen Pajak. Kerja sama dibutuhkan seperti untuk tujuan pelaksanaan time test penentuan status subyek pajak, maupun untuk mendeteksi WNA yang melanggar ketentuan baik terkait keimigrasian maupun kewajiban perpajakannya.
Di sisi lain, pengawasan kepatuhan perpajakan kepada para pelaku digital nomaden juga perlu dilakukan dengan hati-hati, jelas dan sesuai ketentuan perundangan, agar tidak menimbulkan dampak negatif bagi usaha pemerintah untuk menjadikan Indonesia destinasi tujuan digital nomaden.