Lebih dari 20 negara di dunia telah memberlakukan visa khusus nomaden digital. Visa ini disebut-sebut bisa mendorong negara meraih penghasilan besar dari fenomena pekerja jarak jauh yang bisa berpindah-pindah negara.
Oleh
MEDIANA
·6 menit baca
Pada Senin (19/9/2022), Euronews.com menurunkan tulisan berjudul ”Malaysia Becomes the Latest Country to Entice Digital Nomads with Low Cost of Living”. Dalam artikel ini tertulis Malaysia telah resmi meluncurkan visa nomaden digital ”DE Rantau Nomad Pass”. Langkah ini dinilai sebagai upaya untuk memosisikan Malaysia menjadi pusat besar berikutnya di Asia Tenggara bagi pekerja jarak jauh yang sering kali menjadi nomaden digital. Malaysia Digital Economy Corporation, sebuah inisiatif Pemerintah Malaysia untuk mendorong revolusi digital dan ekonomi negara , mengumumkan, visa nomaden digital akan tersedia bagi mereka yang berpenghasilan lebih dari 24.000 euro per tahun.
Biaya visa adalah 1.000 ringgit Malaysia atau setara 221 euro dan penerimanya akan menerima penawaran eksklusif dari pusat kerja jarak jauh Malaysia. Agar memenuhi syarat sebagai penerima, warga negara asing harus berstatus pekerja lepas, kontraktor independen, atau karyawan tetap sedang bekerja jarak jauh di perusahaan sektor digital. Profesi di bidang teknologi digital adalah target utama penerima DE Rantau Nomad Pass. Mereka wajib menunjukkan bukti pekerjaan, seperti kontrak kerja aktif.
Pemerintah Malaysia mulai membuka pendaftaran DE Rantau Nomad Pass pada 1 Oktober 2022. Visa ini berdurasi 3-12 bulan serta dapat diperpanjang 12 bulan lagi. Sebelum keluar kebijakan visa ini, Pemerintah Malaysia memberlakukan pekerja jarak jauh dari negara-negara yang telah memenuhi syarat, seperti Uni Eropa, Inggris, dan Amerika Serikat, dapat tinggal tanpa visa hingga 90 hari. Dalam promosi DE Rantau Digital Nomad Pass, Malaysia Digital Economy Corporation selalu menekankan biaya tinggal di Malaysia yang terjangkau, selain tingkat kriminalitas rendah dan masyarakat multikultural.
Beberapa hari sebelum Euronews.com menurunkan tulisan itu, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Sandiga S Uno dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (12/9/2022), menyampaikan, nomaden digital sudah bisa masuk ke Indonesia menggunakan visa B211 atau visa tujuan sosial budaya. Ia menyatakan bahwa ruang kerja bersama atau co-working space semestinya perlu dipersiapkan untuk menunjang kebutuhan nomaden digital.
Visa B211 atau visa tujuan sosial budaya sebenarnya sudah ada jauh-jauh hari. Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia bahkan membuka pengajuan visa jenis itu pada saat pandemi Covid-19. Durasinya adalah 60 hari dan bisa diperpanjang 180 hari.
Hal yang kemudian memunculkan kebingungan di masyarakat adalah, formulir aplikasi untuk visa B211 atau visa sosial budaya menawarkan masuk ke Indonesia karena salah satu dari lima alasan: kegiatan kemanusiaan, acara olahraga, studi, acara seni atau budaya, serta mengunjungi keluarga dan teman. Pekerjaan jarak jauh tidak muncul dalam daftar. Selain itu, ketentuan kartu izin tinggal terbatas (kitas) tidak tersedia sebagai perpanjangan visa tujuan sosial budaya. Kitas dikeluarkan hanya untuk orang asing yang telah memperoleh pekerjaan dari bisnis atau badan amal Indonesia.
The South China Morning Post melalui artikel ”Bali’s Digital Nomad Visa — What’s Going On? Indonesia Raises Hopes Again This Month, but the Saga Continues” (28/9/2022) menuliskan, sebelum formulir aplikasi khusus untuk visa nomaden digital muncul di laman konsulat dan kedutaan Indonesia, semua informasi kebijakan visa nomaden digital tetap dianggap bersifat spekulatif. Pengembara digital yang ingin tinggal di Bali mungkin harus terus mengajukan permohonan kelas visa lain dengan alasan yang salah atau berinvestasi di perusahaan baru Indonesia melalui skema yang sering kali rumit dan panjang yang menarik bagi sedikit orang.
Terlepas dari kebingungan mencari kejelasan kebijakan visa khusus nomaden digital, yang mungkin sebenarnya masih digodok lintas kementerian/lembaga, kita harus mengakui adanya fenomena jumlah orang di seluruh dunia yang bekerja dari rumah atau lokasi lain, selain kantornya, telah bertambah dalam beberapa tahun terakhir.
Pandemi Covid-19 telah mengakselerasi bekerja jarak jauh, yang berarti ada konsekuensi penting bagi kebijakan imigrasi di suatu negara. Bahkan, saat pandemi mereda, fleksibilitas cara bekerja seperti itu diprediksi akan terus ada di masa mendatang. Sejumlah pengusaha diperkirakan mendukung, entah karena ingin merampingkan operasionalisasi ataupun sebagai cara mempertahankan pekerja yang semakin menuntut adanya pilihan bekerja jarak jauh.
Di antara pekerja yang suka bekerja jarak jauh merupakan nomaden digital yang berpindah-pindah negara. Cara bekerja mereka cukup mengandalkan komunikasi melalui internet; tidak terikat ruang, negara, waktu; serta dapat menjalankan gaya hidup yang diinginkan. Fenomena kemunculan mereka ini mulai populer pada 2009-2010, diikuti dengan berdirinya sejumlah co-working space atau ruang kerja bersama untuk memfasilitasi mereka bekerja jarak jauh.
Penyedia solusi kerja fleksibel asal Inggris, Instant Offices, melalui riset berjudul ”Best Places to be a Digital Nomad 2022” menyebutkan, ada 77 kota terbaik bagi nomaden digital di dunia. Jakarta masuk dalam urutan ke-25. Bangkok menjadi kota terbaik kedua di dunia untuk bekerja sebagai nomaden digital karena perpaduan akomodasi, tempat WiFi melimpah, transportasi, dan ragam kulinernya. Adapun Kuala Lumpur berada di urutan ke-18.
Pada tahun 2021, Bali meraih predikat sebagai tujuan paling populer pascapandemi oleh Traveller’s Choice Award TripAdvisor. Canggu, pusat pariwisata, hiburan, dan selancar di pantai barat Bali, dinilai sebagai tujuan paling menarik kedua bagi nomaden digital, setelah Lisabon (Portugal), menurut NomadList.com.
Migration Policy Institute melalui riset ”The Future of Remote Work, Digital Nomads and Implications for Immigration Systems” (Juni, 2022) menyebutkan, per Juni 2022 terdapat 25 negara yang telah memiliki kebijakan visa khusus nomaden digital untuk mengakomodasi warga negara asing bekerja jarak jauh dalam kurun waktu bulanan ataupun tahunan. Estonia menjadi negara yang pertama kali memperkenalkan visa khusus bagi nomaden digital.
Visa khusus nomaden digital mampu menjadi alat pemasaran kuat bagi pemerintah yang ingin menarik pekerja jarak jauh serta sarana yang berguna untuk memperjelas kedudukan warga negara asing para nomaden digital. Penyusunan kebijakan jenis visa itu memerlukan sejumlah kejelasan kebijakan yang tak kalah kompleks, seperti durasi waktu, apakah pemegang visa pengembara digital perlu dimasukkan penuh dalam sistem jaminan sosial, perpajakan, dan pekerjaan lokal.
Di Estonia, misalnya, pemerintah mengizinkan pemegang visa nomaden digital untuk terlibat dalam beberapa pekerjaan lokal secara terbatas, asalkan pekerjaan jarak jauh tetap jadi tujuan utama mereka tinggal. Contoh lain, di Bermuda, pemerintah memberlakukan larangan bagi pemegang visa nomaden digital ikut dalam pekerjaan lokal.
Skema alternatif
Pembatasan sosial karena pandemi Covid-19 telah berdampak besar terhadap industri pariwisata yang amat membutuhkan pergerakan orang. Sejumlah negara yang bergantung pada sektor industri pariwisata mulai tertarik mengembangkan visa nomaden digital untuk pengganti turis jangka pendek agar perekonomian lekas pulih.
Pada saat bersamaan, lanskap pekerjaan terus berubah. Pesatnya perkembangan teknologi digital mengubah bukan hanya cara bekerja (dari bekerja di kantor menjadi bisa dilakukan jarak jauh), melainkan juga kompetensi dan keahlian pekerja. Artinya, pemerintah harus memiliki pemahaman lebih luas, melampaui kebijakan migrasi. Misalnya, cara terbaik mengatasi masalah kekurangan tenaga kerja terampil dalam negeri.
Profesor sosiologi West Virginia University, Rachael A Woldoff, dan associate professor dari Business Washington & Jefferson College, Robert Litchfield, dalam artikel ”Indonesia hingga Meksiko Berupaya Menarik ’Digital Nomads’, tapi Penduduk Lokal Berkata ’Tak Semudah Itu’ (The Conversation, 27/9/2022)” menyebutkan sejumlah kekurangan. Misalnya, keinginan pekerja jarak jauh untuk punya gaya hidup ala liburan ini seakan mengharuskan mereka untuk memilih destinasi dengan biaya hidup murah. Akibatnya, mereka bisa saja berkontribusi terhadap gentrifikasi—proses perpindahan kelompok berpendapatan tinggi ke kawasan berpendapatan rendah—yang akhirnya cenderung merugikan penduduk kawasan tersebut, demi mencari tempat yang menghargai dollar AS mereka paling mahal.
Kekurangan lain adalah potensi komodifikasi budaya. Keduanya menyebutkan, dalam pariwisata, neokolonialisme merujuk pada bagaimana pariwisata berlebihan menimbulkan ketidakseimbangan kuasa yang menguntungkan pendatang dan mengikis cara hidup lokal.
Tidak perlu terburu-buru menerapkan kebijakan visa khusus nomaden digital. Sebab, pada akhirnya, dampak yang akan dihasilkan barangkali bisa lebih dari sekadar menghasilkan pendapatan negara dari program visa pengembara digital.