Penguatan Sistem Keamanan Pangan
Pemahaman pangan secara parsial, hanya dari perspektif komoditas ekonomi semata, berimplikasi kepada kurangnya kepedulian tentang keamanan pangan. Ancaman keracunan makanan pun ibarat bola salju.

Isu keamanan pangan kembali menjadi topik diskusi menarik di tengah masyarakat belakangan ini. Paling tidak dua kejadian yang patut kita beri perhatian. Pertama, penarikan produk Indonesia dari pasar global karena diduga mengandung residu etilen oksida (EtO); kedua, warga di Bengkalis berebut daging sapi dan kerbau impor ilegal yang disita dan kemudian dibuang oleh Bea dan Cukai Bengkalis di tempat pembuangan sampah.
Kedua kasus tersebut menunjukkan permasalahan tentang pangan selalu saja muncul dan mendapat perhatian warga. Dari soal ketersediaan, rantai pasok, hingga pola konsumsi. Keamanan pangan menjadi satu hal yang tak kalah penting ditangani secara baik dan sifatnya mendesak.
Perserikatan Bangsa–Bangsa (PBB) pada 2018 mendeklarasikan World Food Safety Day yang diperingati setiap 7 Juni. Untuk 2023 peringatan Hari Keamanan Pangan Sedunia (HKPS) kelima mengusung tema ”Food Standard Save Lives”. Tema ini berimplikasi untuk memperkuat sistem keamanan pangan yang menjamin produk pangan dari hulu hingga ke hilir aman dikonsumsi. Ini berkontribusi mengurangi kasus penyakit karena pangan yang untuk berimplikasi menyelamatkan kehidupan.
Baca juga: Menjamin Keamanan Pangan yang Berkelanjutan
Memberikan pelindungan
Maraknya penyelundupan daging ilegal dan berbagai penolakan produk pangan Indonesia di sejumlah negara menggulirkan beberapa pertanyaan. Bagaimana sistem keamanan pangan nasional yang dapat memberi pelindungan konsumen pangan?
Lalu, mengapa pelaku penyeludupan daging ilegal dan peredaran produk pangan yang kurang aman, menggunakan bahan tambahan yang tidak food grade masih kerap terjadi dan dianggap sebagai tindak pidana ringan di pengadilan? Bukankah berbagai produk pangan ilegal ini tidak saja merugikan secara ekonomi, tetapi juga merampas kesehatan konsumen?
Liputan investigasi Kompas (27/2/2023) menyebutkan, 10 juta hingga 22 juta orang di Indonesia mengalami diare karena pangan dan air yang terkontaminasi dengan kerugian ekonomi Rp 70,5 triliun hingga Rp 250,5 triliun dalam setahun. Kerugian bisa jauh lebih besar karena efek jangka panjang pangan dan air yang terkontaminasi bisa menyebabkan lebih dari 200 penyakit, selain masalah gizi hingga tengkes pada anak-anak.

Kenyataan ini berhulu dari suatu paradigma lama bahwa pangan yang amat berkaitan dengan kehidupan dipahami secara parsial, yakni hanya maknai dari perspektif komoditas ekonomi semata untuk mendulang fulus. Pemahaman ini berimplikasi kurangnya kepedulian tentang keamanan pangan sebab untuk menghasilkan produk yang aman memerlukan biaya tambahan.
Paradigma ini akan makin nyata jika diteropong dari tingkat sosial ekonomi masyarakat konsumen yang beragam bisa menuntut mutu produk pangan yang beragam pula. Masyarakat dari kelas ekonomi menengah ke atas akan menuntut produk olahan pangan yang bermutu baik meski harganya lebih mahal. Sebaliknya kelompok masyarakat bawah akan mencari produk yang lebih murah sekalipun kerap diragukan tingkat keamanannya.
Menjadi hal ironis jika pemerintah hanya mengajak masyarakat untuk berhati-hati jika membeli produk pangan di berbagai pasar tradisional karena banyak beredar daging ilegal yang dikhawatirkan bisa mengganggu kesehatan. Bukankah kemiskinan pencetus perdagangan produk pangan ilegal? Dengan daya beli masyarakat Indonesia yang masih rendah, produk pangan yang harganya relatif murah akan dapat dibeli oleh masyarakat dari lapisan menengah dan bawah.
Keracunan pangan lebih kerap terjadi di masyarakat berpendapatan rendah. Defisit daya beli mendorong mereka membeli produk murah yang seringkali tidak memenuhi syarat mutu keamanan pangan.
Seiring dengan itu, dari sekian banyak faktor yang memengaruhi keamanan pangan, tingkat pendapatan masyarakat yang masih rendah menjadi mesin pendorong buruknya keamanan pangan di Indonesia. Hasrat untuk mengonsumsi daging sapi guna memenuhi kecukupan protein, mendorong masyarakat menengah dan bawah membeli daging ilegal meski tidak aman dikonsumsi.
Dari perspektif ini, keracunan pangan lebih kerap terjadi di masyarakat berpendapatan rendah. Defisit daya beli mendorong mereka membeli produk murah yang sering kali tidak memenuhi syarat mutu keamanan pangan. Ini membuktikan pemerintah belum sepenuhnya melindungi konsumen pangan karena membiarkan impor daging ilegal itu terjadi dan berkelanjutan.
Yang memprihatinkan lagi, sistem keamanan pangan belum bisa membumi di tingkat produsen pangan. Rendahnya pemahaman terhadap keamanan pangan sering menghadirkan produk pangan katering rasa ”kecoak” atau sambal ”lalat hijau” yang membuat selera makan hilang. Meski data keracunan makanan yang berasal dari industri jasa boga belum lengkap, kasus keracunan dari tahun ke tahun terus meningkat.
Baca juga: Harmonisasi Standar Keamanan Pangan, bak Pedang Bermata Dua
Jika ditelusuri lebih jauh, ada tiga penyebab utama kasus keracunan dari makanan katering di Indonesia, yaitu penggunaan bahan mentah yang tercemar mikroba patogen karena terjadi kontaminasi silang, makanan didiamkan cukup lama sebelum dikonsumsi dan proses pemanasan kembali yang tidak cukup.
Dengan pemahaman yang memadai tentang teknologi pengawetan pangan, sesungguhnya ketiga masalah utama di atas bisa diatasi guna mengurangi risiko keracunan. Sayangnya, kebanyakan industri jasa boga masih berskala rumah tangga yang amat minim tenaga-tenaga terampil yang paham tentang sistem sanitasi dan higienitas yang terkait dengan teknologi pengolahan pangan.
Dengan kondisi ini, kesiapan industri jasa boga kerap tak memadai untuk menerima pesanan dalam jumlah besar. Makanan katering acap dipersiapkan pada malam hari untuk dihidangkan makan siang pada hari berikutnya, sementara proses pemanasan kembali tak sempat dilakukan. Kondisi ini dapat menjadi media yang baik untuk pembentukan racun yang relatif tahan panas, seperti enterotoksin Staphylococcus aureus.

Petugas kesehatan melakukan perawatan terhadap siswa SD 29 Gunung Sarik yang mengalami keracunan jajanan bakso bakar di Instalasi Gawat Darurat RSUD dr Rasidin Padang, Sumatera Barat, Selasa (11/1/2022). Total ada 30 siswa, serta lima orangtua siswa dan warga keracunan makanan yang dijual di sekitar sekolah tersebut.
Pasang badan
Ancaman keracunan makanan dapat diibaratkan bola salju. Minimnya sistem literasi keamanan pangan menjadi pendorong bola salju untuk bergulir yang pada gilirannya membawa perilaku menyimpang dalam perdagangan produk pangan. Contoh penggunaan formalin, boraks, penggunaan zat pengawet dan pewarna sintetik yang tidak aman oleh produsen makanan masih saja terjadi.
Berbagai penyimpangan ini membuktikan pemerintah perlu meningkatkan pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan keamanan pangan kepada pelaku usaha pangan. Berada pada barisan terdepan untuk pasang badan dalam memberi penguatan sistem keamanan pangan berkelanjutan.
Lantas, apa yang bisa dilakukan guna mencegah efek bola salju keamanan pangan? Paling tidak langkah berikut patut dipertimbangkan untuk dilakukan, yakni pemberdayaan konsumen pangan untuk berani menolak produk makanan yang tak aman.
Proses pemberdayaan ini bisa dilakukan sejak anak-anak mulai masuk taman kanak-kanak dengan membekalinya dengan makanan sehat yang dibawa dari rumah. Si anak tidak lagi jajan di sekolah dan dapat terhindar dari makanan jajanan yang tidak sehat. De facto jajanan yang dijual di sekitar sekolah proses pengolahannya kerap tidak memenuhi standar keamanan pangan karena masih menggunakan pengawet dan pewarna sintetik, air yang diragukan tingkat kebersihannya, kemasan yang karsinogenik, dan lain-lain.
Baca juga: Keracunan Makanan
Akan lebih baik lagi jika penyampaian informasi ini dilakukan lewat metode alat peraga melalui media sosial yang manarik perhatian anak-anak sekolah. Di era digital ini, misalnya, tidak sulit membuat media tik tok untuk memberi ilustrasi seorang anak akan sehat, kuat, dan pintar apabila membawa makanan dari rumah dan sarapan sebelum ke sekolah. Di sisi lain seorang anak yang muntah-muntah sambil memengangi perut, karena mengonsumsi makanan jajanan di sekolah. Pesan ini ingin menyampaikan informasi bahwa makanan jajanan berisiko tingi memunculkan keracunan makanan.
Pemberdayaan ini diharapakan dapat mengubah perilaku konsumsi yang dapat memilih lebih rasional jenis makanan yang aman. Untuk sampai pada tahap ini, masyarakat konsumen harus paham tentang kriteria bahan pangan yang dinyatakan aman untuk dikonsumsi, yaitu bebas dari cemaran dari setiap tahap produksi dan bebas kerusakan fisik untuk mencegah kerusakan mikrobiologis.
Melihat ancaman kesehatan yang melekat pada berbagai produk pangan, pemerintah perlu meningkatkan kolaborasi dengan masyarakat dan pelaku usaha untuk saling mengontrol peredaran produk pangan yang terindikasi membahayakan kesehatan. Muaranya, penguatan sistem keamanan pangan yang menjamin asupan pangan bermutu, aman dan bermanfaat bagi kesehatan dapat terwujud secara berkelanjutan.
Posman Sibuea, Guru Besar Ilmu Pangan di Prodi Teknologi Hasil Pertanian Unika Santo Thomas, Medan; Pengurus Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI); Anggota Pokja Ahli Pangan di Badan Pangan Nasional

Posman Sibuea