Pengawasan terhadap penyediaan bahan pangan olahan yang aman di masyarakat masih lemah. Pengawasan keamanan pangan perlu dilakukan secara rutin dan untuk ini perlu kerja sama multisektoral.
Oleh
MOH VICKY INDRA PRADICTA
·5 menit baca
DIDIE SW
-
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) baru-baru ini mengumumkan menarik sementara produk cokelat merek Kinder di pasaran. Dasarnya adalah surat peringatan dari Food Safety Agency mengenai adanya kontaminasi bakteri patogen Salmonella pada jajanan anak tersebut.
Imbasnya, sejumlah negara, antara lain Irlandia, Perancis, Jerman, Belanda, Swedia, bahkan Singapura, memutuskan menarik produk Kinder yang beredar di masyarakat. Hal ini dilakukan karena dugaan gejala keracunan mulai demam, mual, dan kram perut pada anak-anak.
Produk yang ditarik yakni produk cokelat merek Kinder Surprise dalam kemasan tunggal 20 gram dan kemasan isi 3 dalam 20 gram. Selain itu, beberapa varian juga diputuskan untuk ditarik, misalnya Kinder Mini Eggs, Kinder Hunt Kid, Kinder Schokobons, dan Kinder Surprise 100 gram yang memiliki tanggal kedaluwarsa 20 April-21 Agustus 2022. Seluruh produk tersebut diproduksi oleh Ferrero NV/SA di Belgia.
Sementara produk Kinder tersebut berbeda dengan variasi yang terdaftar di BPOM. Produk Kinder yang terdaftar yakni diproduksi di India dengan merek Kinder Joy, Kinder Joy for Boys, dan Kinder Joy for Girls. Artinya, kalau boleh jujur, sebenarnya tidak ada keterkaitan antara produk yang ditarik di Belgia dengan yang ada di Indonesia.
Namun, langkah ini diambil sebagai tindakan pencegahan. Secara bersamaan, BPOM akan melakukan pengujian secara acak untuk memastikan apakah ditemukan juga kontaminasi bakteri Salmonella pada produk Kinder Joy atau tidak.
KOMPAS
Badan Pengawas Obat dan Makanan menghentikan peredaran produk cokelat merek Kinder untuk sementara waktu. Langkah ini merespons temuan kontaminasi produk cokelat merek Kinder Surprise di sejumlah negara di Eropa.
Bukan prioritas utama
Adanya kontaminasi pada bahan pangan seperti yang terjadi pada kasus Kinder ini biasa dikenal dengan foodborne diseases. Artinya, penyakit yang timbul akibat mengonsumsi makanan atau minuman yang telah terkontaminasi bakteri, virus, parasit, dan racun.
Gejala yang ditimbulkan umumnya adalah diare, mual, muntah, pusing, kram perut, hingga demam. Relatif ringan sebenarnya tetapi apabila terlambat dalam penanganan dapat berisiko tinggi hingga menyebabkan kematian.
Sayangnya, meskipun dapat menyebabkan kejadian fatal sekalipun, isu terkait keamanan pangan sering kali bukan menjadi prioritas utama. Hal ini bisa terlihat dari jumlah kasus keracunan pangan olahan relatif tinggi.
Sayangnya, meskipun dapat menyebabkan kejadian fatal sekalipun, isu terkait keamanan pangan sering kali bukan menjadi prioritas utama.
Berdasarkan laporan BPOM tahun 2019, lebih dari 6.000 kasus keracunan sepanjang 2019. Sebanyak 20 persen di antaranya akibat mengonsumsi makanan dan minuman yang telah terkontaminasi.
Tingginya jumlah kasus tersebut menunjukkan lemahnya pengawasan terhadap penyediaan bahan pangan olahan yang aman di masyarakat. Belum lagi ditambah tidak adanya program yang sifatnya terstruktur, sistematis, dan berkelanjutan dalam mengatasi foodborne diseases di Indonesia. Hal ini mengakibatkan penanganan kasus keracunan pada makanan tidak pernah sampai ke akarnya.
Jika pun ada, kebijakan tersebut masih sifatnya seasonal atau musiman. Hanya dilakukan pada bulan-bulan tertentu saja dilakukan pengawasan yang masif terhadap bahan pangan yang beredar di masyarakat.
Contohnya pada bulan Ramadhan saat ini, kita akan sering menjumpai tim BPOM dan dinas kesehatan setempat melakukan sidak di beberapa tempat mulai pasar tradisional, pasar modern, dan swalayan. Sidak yang dilakukan untuk melakukan sampling pengujian makanan dan minuman yang dijual di pasaran. Hal ini untuk memastikan pangan olahan yang dijual termasuk dalam kategori ASUH (aman, sehat, utuh, dan halal).
KOMPAS/CORNELIUS HELMY HERLAMBANG
Osid Suryadi (kanan), petugas pemeriksa keamanan pangan segar Mini Lab Food Security Pasar Kosambi, Kota Bandung, Jawa Barat, menguji sampel daging ayam segar, Senin (7/1/2019). Inovasi Mini Lab ini menjadi penjamin mutu pangan segar di Kota Bandung yang diterapkan di semua pasar tradisional dan modern di Kota Bandung.
Program yang berkelanjutan
Tentu langkah tersebut kita perlu apresiasi. Namun, masalah keamanan pangan tidak bisa dilakukan sendiri dan sifatnya sporadis. Perlu kerja sama multi sektoral agar dapat mengatasi masalah keamanan pangan di Indonesia.
Ada empat cara yang bisa dilakukan agar pengawasan terkait keamanan pangan dapat berkelanjutan. Langkah yang pertama yakni pengawasan produk pangan baik retail maupun yang dijual bebas langsung ke pelanggan dilakukan secara berkala.
Misalnya BPOM menjadwalkan sidak dan audit rutin untuk industri-industri dan UKM berkala minimal satu tahun sekali. Meskipun memang perlu diakui tidak bisa mencakup keseluruhan, setidaknya pengawasan secara berkala dapat memberikan gambaran singkat mengenai apakah produk yang beredar di masyarakat sudah termasuk kategori aman dan layai dikonsumsi.
Masalah keamanan pangan tidak bisa dilakukan sendiri dan sifatnya sporadis. Perlu kerja sama multisektoral.
Cara yang kedua adalah pemerintah berkerja sama dengan lembaga laboratorium eksternal untuk mengatur harga tertinggi pengujian mikrobiologi misalnya. Biaya pengujian untuk mikrobiologi yang tinggi merupakan tantangan tersendiri bagi seluruh industri makanan. Oleh karena itu, pengaturan harga yang lebih terjangkau sangat diperlukan.
Ketiga, memberikan pelatihan mengenai food safety management system atau cara produksi pangan yang baik bagi pengusaha lokal dan UKM. Hal ini penting agar dapat meningkatkan kesadaran masyarakat mengenai bagaimana cara memproduksi pangan yang aman, sehat, dan halal.
Pelatihan ini tentu tidak hanya dilakukan oleh BPOM sendirian karena sumber daya yang terbatas. Bisa dilakukan melalui kerja sama dengan lembaga-lembaga pelatihan. Saat ini cukup banyak lembaga pelatihan yang kompeten yang mudah kita jumpai di Indonesia.
Langkah terakhir adalah implementasi food safety culture atau budaya keamanan pangan untuk konsumen, produsen, dan pemerintah. Sebagai konsumen juga perlu mulai lebih kritis terhadap bahan pangan yang akan dikonsumsi. Misalnya dengan selalu memperhatikan kondisi kemasan, label, izin edar, dan masa kedaluwarsa dari setiap bahan pangan yang akan dibeli.
Sementara produsen dan pemerintah bersama-sama memiliki komitmen yang tinggi untuk menyediakan pangan yang ASUH, yaitu dengan selalu memperhatikan dan mematuhi prinsip CPPOB (cara produksi pangan olahan yang baik).
Kasus penarikan produk Kinder harus dijadikan momentum mengenai pentingnya keamanan pangan. Oleh karena itu, perlu program yang sistematis dan terstruktur agar dapat berkelanjutan dan tidak sporadis semata.
Moh Vicky Indra Pradicta, Dokter Hewan yang Bekerja di Food Industry sebagai Food Safety and Quality Leader dan Pegiat One Health