Imperialisme Regulasi Eropa
Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa yang ditujukan untuk menghentikan deforestasi di luar UE dengan menerapkan sejumlah hambatan atas ekspor komoditas bermasalah secara mendasar. EUDR bertentangan dengan Deklarasi Rio.
Atas desakan asosiasi petani minyak nabati dan raksasa industri minyak nabati Uni Eropa atau UE serta LSM anti- sawit, UE memutuskan Regulasi Bebas Deforestasi Uni Eropa (European Union Deforestation- free Regulation/EUDR) pada 6 Desember 2022.
Niatan UE menyusun regulasi ini adalah untuk menghentikan deforestasi di luar UE dengan menerapkan sejumlah hambatan atas ekspor produk tropis, seperti sawit, kopi, kakao, dan karet, dari negara berkembang dan kurang berkembang ke UE.
UE menyatakan bahwa EUDR tidak diskriminatif dan bermaksud baik.
Enam bukti
Paling tidak ada enam bukti bahwa regulasi ini bermasalah secara mendasar. Pertama, UE percaya bahwa deforestasi tak terjadi di Eropa dan karena itu tak perlu suatu regulasi yang mengatur secara ketat seperti EUDR. Faktanya, deforestasi di Eropa terjadi masif seperti laporan JRC EU 2020 di mana ”clear-cut harvest” atau ”panen tebang habis” 2016- 2018 lebih tinggi 49 persen daripada ”panen tebang-habis” 2011-2015.
UE juga gagal menjaga lingkungan lahan gambut. Lahan gambut di Eropa dikeringkan dan dirusak untuk pertanian. Bocoran laporan internal UE dari Euractive menyebutkan bahwa UE harus membasahi paling tidak 70 persen dari 26,8 juta hektar gambut. Pembasahan gambut Eropa berarti melawan petani dan peternak Eropa yang sangat kuat kemampuan politisnya.
Hal ini tidak pernah dibahas secara global oleh LSM karena memang dana kampanye anti-deforestasi UE hanya untuk kampanye di negara lain. Selain itu, LSM di negara berkembang memang enggan, unable or unwilling, mengkritik kerusakan lingkungan di UE.
Hal ini tidak pernah dibahas secara global oleh LSM karena memang dana kampanye anti-deforestasi UE hanya untuk kampanye di negara lain.
Kedua, produk yang disasar bukan produk asal UE karena proteksi terhadap produk petani UE sendiri. Sawit disasar karena sawit adalah saingan langsung minyak nabati Eropa, yang luas kebunnya kian membesar dari tahun ke tahun. Luasan gambut rusak di UE dan luasan lahan minyak nabati lebih dari 25 juta hektar, jauh lebih luas daripada kebun sawit kita yang sekitar 16,8 juta hektar atau lebih dari 20 kali luasan kebun kopi Indonesia yang sekitar 1,2 juta hektar.
Data ini tak akan menggugah UE karena kepentingan utama mereka melindungi produk petani UE yang telah menerima subsidi 436 miliar dollar AS (2021-2027) atau lebih dari produk domestik bruto Malaysia sebesar 373 miliar dollar AS melalui bantuan langsung tunai, intervensi pasar dengan proteksionisme, dan pembangunan pedesaan.
Ketiga, sementara regulasi perlindungan data UE, yaitu General Data Protection Regulation (GDPR), melarang data warganya yang berdomisili di dalam atau di luar UE diberikan kepada pihak asing, UE mensyaratkan agar semua petani dengan produk-produk yang disasar EUDR menyerahkan data geolokasi kebun mereka tanpa ada jaminan hukum bahwa data mereka akan dilindungi, tidak dipublikasikan tanpa izin, tidak dijual ke pihak ketiga atau dapat menjaga agar tidak dicuri pihak ketiga.
Secara arogan, birokrasi UE menyatakan bahwa ini soal mudah: petani-petani membeli saja smartphone dan melakukan geo-tagging sendiri. Bagi mereka yang tidak paham proses sertifikasi keterlacakan, gagasan ini terlihat modern, tetapi sebenarnya menggelikan.
Sertifikasi keterlacakan bukan hanya melakukan geo-tagging, melainkan juga mempersiapkan dokumen yang lengkap, termasuk hubungan hukum petani dan tanah, yang akan menjadi beban biaya para petani. Biaya-biaya dokumentasi ini akan menumpuk dari tingkat pengumpul dan proses awal produk tani.
Apabila satu pusat proses awal mengambil sawit, kopi, kakao, atau karet dari puluhan atau ratusan petani, dokumentasinya akan semakin tebal. Hasilnya: industri sawit besar hanya akan menggunakan sawit di kebun sendiri dan menolak sawit dari petani kecil, atau memaksa petani kecil mengurangi harganya. Alih-alih menolong petani kecil, EUDR adalah regulasi yang sangat anti- petani kecil, pro pekebun besar, pro multinasional, pro konglomerasi.
Keempat, Prinsip 12 Deklarasi Rio menyatakan, ”Tindakan sepihak untuk menyikapi tantangan lingkungan di luar yurisdiksi negara pengimpor harus dihindari. Kebijakan terkait lingkungan untuk mengatasi masalah lintas batas atau global sejauh mungkin harus didasarkan pada konsensus internasional”.
Prinsip 11 Deklarasi Rio menegaskan, ”Standar lingkungan, sasaran dan prioritas pengelolaan, harus mencerminkan konteks lingkungan dan pembangunan yang mereka terapkan. Standar yang diterapkan oleh beberapa negara mungkin tidak sesuai dan menimbulkan biaya ekonomi dan sosial bagi negara lain, khususnya negara berkembang".
Baca juga : Uni Eropa Coba Tekan Indonesia lewat EUDR
Tanpa harus melakukan analisis mendalam, jelas bahwa EUDR bertentangan dengan Deklarasi Rio dari sisi unilateralisme dan pemaksaan kepentingan politik UE atas dasar keperluan proteksionisme dalam negeri ke negara lain.
Kini bahkan sudah mulai terdapat beberapa pihak di UE yang menjajakan blockchain untuk petani-petani kecil di seluruh dunia agar produk mereka bisa diterima UE. Tampaknya penderitaan petani kecil di berbagai belahan dunia merupakan lahan bisnis baru bagi segelintir orang di UE.
Kelima, EUDR akan mengelompokkan negara dalam tiga kategori: risiko rendah, risiko sedang, dan risiko tinggi. Kategorisasi ini tentu dilakukan secara unilateral dan tak mungkin melalui mekanisme konsultasi. Bagi negara yang memiliki komoditas yang disasar, misalnya Indonesia (seperti sawit, kayu, kopi, kakao, dan karet)—apabila atas desakan politik LSM anti-sawit, kekuatan petani minyak nabati dan industri minyak nabati UE—dikategorikan sebagai negara dengan risiko tinggi untuk sawit; komoditas lain seperti kopi, kakao, dan karet pasti akan terimbas.
Selain itu, keberhasilan Indonesia mengelola gambut yang jauh lebih baik daripada UE akan dinilai sebagai kegagalan. Bagi LSM anti-sawit, ini luar biasa suksesnya; tetapi bagi lebih dari 15 juta petani sawit, kopi, kakao, dan karet, hajat hidup mereka akan sangat terganggu. Ambisi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) untuk menurunkan kemiskinan juga tak akan terpenuhi.
Keenam, UE menyatakan siap membantu negara-negara dengan pendanaan yang memadai agar produk-produk yang disasar EUDR dapat masuk dengan mudah. Dana bantuan UE ke seluruh Asia saat ini hanya 2,9 miliar euro. Bandingkan dengan investasi yang masuk ke Indonesia saat Hannover Messe 2023 senilai 2 miliar euro hanya dalam empat hari. Dana ini sangat kecil karena harus dibagi ke seluruh negara Asia, dari Asia Tengah hingga Pasifik.
UE seharusnya mengalokasikan dana jauh lebih besar lagi. Sebab, sesuai Perjanjian Paris, negara-negara maju wajib membantu negara-negara berkembang dalam menghadapi perubahan iklim. Dan bukankah negara-negara maju berjanji sejak 2015 akan menyisihkan dana 100 miliar dollar AS untuk membantu negara berkembang? Tujuh tahun berlalu dan dana ini tak pernah ada. Janji dana EUDR hanya untuk menutupi ketidakmampuan UE membantu secara nyata sesuai kewajiban hukum mereka.
Ciri-ciri imperialisme
Eropa memang bukan lagi kekuatan kolonial dan imperial. Hal ini berlaku bagi semua kekuatan di Eropa, baik Barat maupun Timur. Namun, budaya menjadi kekuatan kolonial dan imperial selama lebih dari 500 tahun tak mudah dihapuskan. Nilai-nilai demokrasi dan HAM Eropa adalah nilai-nilai yang baru diterapkan sejak Perang Dunia II.
Eropa lebih akrab dengan pelanggaran fundamental HAM dalam sejarahnya. Bahkan saat negara-negara Eropa menandatangani Deklarasi Universal HAM 1945, mereka masih memiliki koloni di berbagai penjuru dunia, Belanda pun masih menolak keluar dari Indonesia.
Memang, apabila imperialisme didefinisikan secara kaku dengan penguasaan orang dan wilayah negara lain, UE bukanlah kekuatan imperialisme. Namun, apabila dari ciri-ciri imperialisme seperti otoritas supra nasional yang memaksakan otoritas nasional internal UE dan juga di luar EU di berbagai bidang seperti perdagangan, data, lingkungan hidup, dan standar produk misalnya, UE adalah suatu kekuatan imperial. Tengok saja analisis Timothy Snyder dan Arne Westad, sejarawan dari Yale, serta Anu Bradford dalam analisis tajamnya, ”How the EU Rules the World”, yang menegaskan bahwa UE adalah ”global unilateral regulatory power”.
Baca juga : Indonesia Kembali Protes Diskriminasi Uni Eropa
Ciri utama regulasi EUDR yang memaksa orang dan negara lain tunduk pada mekanisme internal UE—dengan atau tanpa bantuan keuangan dan dengan atau tanpa memakai agen kolaborator di luar negeri, baik media maupun LSM—adalah imperialisme regulasi yang kini harus dihadapi Global South.
Dalam kasus lain, imperialisme regulasi UE diarahkan ke Amerika Latin agar mengikuti standar perkembangan teknologi informasi (IT) di UE agar tercipta blok besar UE-Amerika Latin melawan perkembangan IT di AS dan Asia.
Untuk kasus nikel, imperialisme regulasi ini kentara sekali, di mana UE yang membeli nikel mentah hanya 1,6 juta dollar AS dari Indonesia merasa perlu menggugat Indonesia di WTO karena Indonesia mengambil kebijakan hukum yang bertentangan dengan European Critical Raw Materials Act.
Bagi UE, ini bukan soal nilai impor, melainkan fakta bahwa Indonesia melanggar hukum UE, yang kemudian dibungkus seolah-olah Indonesia melanggar WTO. Kini bahkan beredar rumor di Brussels bahwa RI akan mengalah kepada UE soal nikel dengan bayaran impor sawit ke UE yang mudah. Suatu rumor aneh karena Kanada, Jerman, dan Perancis telah masuk ke industri hilir nikel tanpa peduli kepentingan UE.
Apa yang bisa dilakukan oleh Global South? Kebijakan bisa dinegosiasikan, tetapi regulasi hanya bisa dihentikan dengan keputusan hukum. Dan keputusan hukum yang berada di atas hukum UE adalah hukum internasional. Tidak hanya negara yang dapat menggugat EUDR, tetapi sebaiknya juga asosiasi petani sawit, kopi, kakao, dan karet. Gugatan rakyat ini bisa dilakukan di berbagai forum, termasuk di UE sendiri, yaitu European Court of Justice.
Sama dengan titik awal jatuhnya kolonialisme Belanda di Indonesia melalui pembahasan kasus Indonesia di Dewan Keamanan PBB tahun 1946, kekuatan imperialisme hanya dapat dihentikan melalui mekanisme hukum internasional dan multilateralisme.
Dan multilateralisme abad ke-21 memberikan banyak ruang bagi rakyat kecil, termasuk petani sawit, kopi, kakao, dan karet; baik di forum hukum maupun forum global yang relevan bagi petani kecil seperti SDG, FAO, dan ILO; dalam memerangi imperialisme regulasi UE.
Arif Havas OegrosenoAlumnus Harvard Law School 1992, Presiden Konferensi Ke-20 Konvensi Hukum Laut 1982