Penggerak Elitis
Program Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak perlu dievaluasi. Program ini mengukuhkan ketidakadilan dan ketimpangan perhatian pemerintah kepada sebagian besar guru dan sekolah yang seharusnya dikembangkan pemerintah.
Program Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak yang sudah berjalan hampir tiga tahun ini, alih-alih membawa transformasi pendidikan secara menyeluruh dan adil, justru menciptakan fragmentasi, elitisme, dan ketidakadilan di kalangan pendidik dan sekolah. Kebijakan penggerak elitis seperti ini harus segera dievaluasi.
Fragmentasi
Saat ini, kondisi guru-guru kita sangat terfragmentasi. Para guru dipilah-pilah antara mereka yang memiliki status sebagai guru penggerak dan bukan. Sering dicitrakan bahwa guru penggerak adalah guru yang lebih baik daripada para guru lain yang tidak memiliki status sebagai guru penggerak. Sementara itu, media sosial Kemendikbudristek, baik yang resmi maupun nonresmi, lebih banyak menampilkan narasi glorifikasi tentang guru penggerak dan sekolah penggerak.
Ironisnya, status guru penggerak diberikan bukan karena jalan panjang perjuangan komitmen guru dalam mentransformasi diri dan lingkungannya secara terus-menerus, melainkan diperoleh melalui sebuah proses pendidikan jangka pendek bersertifikat, diadakan oleh Kemendikbudristek, yang begitu selesai proses pendidikan, hasilnya sudah langsung diklaim sebagai prestasi dan status guru tingkat dewa.
Baca juga: Menatap Masa Depan Guru
Guru penggerak adalah yang terbaik, pelaku transformasi, paling paham tentang kebutuhan siswa, berpusat kepada anak, pembelajaran berdiferensiasi, jago dalam hal asesmen, dan mampu menjadi pemimpin instruksional. Karena itu, merekalah yang paling pantas menjadi kepala sekolah dan pengawas.
Kebijakan seperti ini, alih-alih menimbulkan simpati dan empati di kalangan para guru, justru melahirkan jarak dan menjauhkan guru satu sama lain. Yang satu merasa diri lebih super dan diistimewakan dibandingkan dengan yang lain. Yang lain dipaksa menjadi kelompok inferior, harus belajar dari para guru penggerak. Atau kalau tidak belajar dari guru penggerak, mereka akan dicibir apabila tidak belajar di platform Merdeka Mengajar, karena dianggap guru yang tidak terkinikan dan tidak mau move on.
Sementara, banyak para guru berdedikasi yang penuh komitmen dan kesetiaan berjuang mentransformasi pendidikan dalam kesunyian tanpa hiruk-pikuk pencitraan status justru adalah orang-orang yang sungguh-sungguh telah mentransformasi pendidikan di sekolahnya. Mereka inilah orang-orang yang menjadi penggerak dan transformator yang sesungguhnya. Namun, keberadaan mereka tidak diakui.
Elitis
Kebijakan Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak banyak dicap sebagai sebuah kebijakan yang elitis. Elitis bukan sekadar dari sisi perhatian berlebih dan istimewa dari pemerintah kepada para guru penggerak dan sekolah penggerak, lebih dari itu, guru penggerak dan sekolah penggerak akan diberikan berbagai macam keistimewaan, berupa anggaran tambahan pengembangan sekolah, peningkatan prioritas status guru penggerak yang akan memperoleh kemudahan dalam hal sertifikasi dan digadang-gadang (diproyeksikan) akan menjadi pemimpin pendidikan di masa depan, yaitu calon-calon kepala sekolah dan pengawas terbaik.
Apabila kita bandingkan besaran penerima manfaat efektif dari program yang dianggarkan triliunan rupiah ini, maka justru secara gamblang terlihat jelas ada sebagian besar guru terabaikan dan tidak tersentuh melalui kebijakan prioritas Kemendikbudristek ini.
Kebijakan Sekolah Penggerak dan Guru Penggerak banyak dicap sebagai sebuah kebijakan yang elitis.
Salah satu anggota DPR pernah mempertanyakan besaran anggaran untuk pelaksanaan Kurikulum Merdeka dan penerima manfaatnya, yang di dalamnya terdapat pula program Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak. Uji coba Kurikulum Merdeka pada 2021 saja telah menghabiskan biaya sebesar Rp 2,86 triliun. Dari total 2.500 sekolah penggerak, apabila dihitung setiap sekolah penggerak yang menjadi ajang uji coba Kurikulum Merdeka telah menghabiskan biaya Rp 114 miliar. Sementara untuk setiap guru penggerak (total 18.800 dari sekitar 3 juta guru), apabila kita kalkulasi, setiap guru penggerak menghabiskan biaya sekitar Rp 15 miliar.
Tidak memberdayakan
Apa yang menjadi pertanyaan kunci terkait dengan guru penggerak dan sekolah penggerak adalah apakah selain keistimewaan dan prioritas yang diberikan kepada mereka, program-program Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak sungguh-sungguh memberdayakan guru yang sebelumnya tidak berdaya menjadi lebih berdaya?
Di sinilah akar persoalannya. Sebenarnya, status guru penggerak dan sekolah penggerak itu tidak menambahkan satu pun kualitas tambahan dari guru dan sekolah yang terpilih. Guru penggerak diseleksi dengan kriteria tertentu, sebuah kriteria yang selama ini dianggap sebagai kriteria guru yang baik. Maka, guru tersebut kemudian bisa lolos menjadi guru penggerak dan kemudian mendapatkan kesempatan tambahan untuk memperdalam ilmu dan pengalamannya.
Jadi, dalam hal ini, kebijakan Guru Penggerak itu tidak menambahkan hal-hal baru sebab hanya melegitimasi status guru sebelumnya sesuai kriteria baru. Padahal, tanpa ada kriteria seperti ini pun, guru tersebut juga sudah memiliki kompetensi dan kualifikasi yang sama, yang bisa disebut sebagai guru penggerak atau istilah yang lain.
Demikian juga dengan sekolah penggerak. Yang diseleksi sesungguhnya bukan sekolahnya, melainkan kepala sekolah sesuai kriteria Kemendikbudristek. Jadi, apa yang sesungguhnya terjadi dalam seleksi sekolah penggerak? Yang terjadi adalah Kemendikbudristek membuat kriteria lalu menetapkan orang-orang yang sesuai dengan kriteria minimalnya tersebut dengan memberi status sekolah penggerak. Tidak mengherankan apabila sekolah-sekolah yang sudah ditunjuk menjadi sekolah penggerak pun sering kali juga tidak mengalami kemajuan karena yang bergerak hanya kepala sekolahnya, sedangkan seluruh pelaku kunci, yaitu guru, tidak ikut merasa dilibatkan dalam proses transformasi pendidikan.
Kelemahan utama program Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak adalah tidak adanya proses pemberdayaan yang sesungguhnya.
Program Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak selain sifatnya elitis, sebenarnya secara substansi tidak memiliki inovasi baru selain sebuah kebijakan yang sekedar membuat norma dan kriteria lalu melakukan menetapkan status, baik itu sebagai guru penggerak maupun sekolah penggerak.
Kelemahan utama program Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak adalah tidak adanya proses pemberdayaan yang sesungguhnya. Apakah bisa, kebijakan Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak mengintervensi para guru yang sudah enggan belajar, tidak termotivasi, terlalu jenuh dengan beban berat pekerjaan dan administrasi sebagai guru, atau yang sudah putus harapan karena sudah kehabisan asa untuk memperoleh kesejahteraan sebagai guru honorer, akan mendapatkan manfaat dari program Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak? Kalau kebijakan hanya mengintervensi hal-hal yang sebenarnya sudah baik, lalu buat apa kebijakan ini bagi sebagian besar guru dan sekolah yang kondisi tidak baik-baik saja?
Ketidakadilan
Kebijakan yang sering disanjung sebagai kebijakan inovatif dan berbiaya mahal ini, menurut saya, justru mengukuhkan ketidakadilan dan ketimpangan perhatian pemerintah kepada semua pemangku kepentingan, terutama sebagian besar guru dan sekolah yang seharusnya dikembangkan oleh Kemendikbudristek.
Memberikan perhatian dan prioritas kepada segelintir guru dan sekolah, sementara mengabaikan sebagian besar guru dan sekolah, tentu merupakan sebuah kebijakan yang secara moral dipertanyakan. Kemendikbudristek adalah kementerian teknis yang bertanggung jawab pada pencerdasan bangsa di seluruh wilayah NKRI, bukan pada sekelompok kecil orang yang diberi berbagai macam keistimewaan dan kemudahan.
Kebijakan Guru Penggerak dan Sekolah Penggerak harus segera dievaluasi. Yang berhak maju dan menjadi lebih baik adalah semua guru dan sekolah di Indonesia, bukan segelintir guru dan sekolah saja. Penggerak elitis seperti ini sangat jauh dari spirit gotong royong yang seharusnya menjadi jiwa bagi cita-cita pencerdasan bangsa.
Doni Koesoema A, Pemerhati Pendidikan dan Pengajar di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong