Sejumlah partai telah mengumumkan bakal calon presiden yang akan diusung pada Pilpres 2024. Hitung-hitungan modal politik sudah jelas, tetapi apakah para kandidat memiliki komitmen untuk melestarikan lingkungan?
Oleh
DELLY FERDIAN
·2 menit baca
Tidak dapat dimungkiri, akrobatik kepentingan politik makin riuh setelah PDI Perjuangan memutuskan Ganjar Pranowo sebagai bakal calon presiden pilihannya. Eskalasi suhu politik makin panas, berbagai manuver terjadi yang akhirnya mengerucutkan kemungkinan bahwa akan ada tiga poros koalisi yang mengusung pasangan bakal calon presiden dan wakil presiden.
Poros pertama, PDI Perjuangan yang saat ini didukung oleh PPP yang sebelumnya mesra bersama Partai Golkar dan PAN. Dengan mengusung Ganjar Pranowo, poros ini memiliki modal politik 147 kursi atau 25,56 persen dari total kursi di parlemen (PDI Perjuangan 128 kursi, PPP 19 kursi).
Kedua, poros Koalisi Perubahan, yakni Nasdem, Demokrat, dan PKS yang lebih dahulu mendeklarasikan Anies Rasyid Baswedan sebagai bakal calon presiden dengan modal politik 163 kursi atau 28,35 persen dari total kursi parlemen (Nasdem 59 kursi, Demokrat 54 kursi, dan PKS 50 kursi).
Poros ketiga, yakni Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KIR) yang berisi Gerindra dan PKB. Dari koalisi ini, nama Prabowo Subianto masih menjadi nama terkuat untuk menjadi bakal calon presiden meskipun hingga kini belum secara resmi mendeklarasikan diri. Koalisi ini memiliki modal politik 136 kursi atau 23,6 persen dari total kursi di parlemen (Gerindra 78 kursi dan PKB 58 kursi).
Sementara itu, poros Koalisi Indonesia Bersatu yang kini berisi Golkar dan PAN terlihat tidak percaya diri untuk mengusung bakal calon presiden. Apalagi, belum lama ini PAN terlihat mencondongkan diri untuk mendukung Ganjar. Kendati demikian, Golkar dan PAN masih punya peluang untuk mengusung calon karena memiliki modal politik yang cukup kuat, yakni 129 kursi atau 22,43 persen dari total kursi di parlemen (Golkar 85 kursi dan PAN 44 kursi).
Namun, situasi politik masih sangat dinamis, berbagai skema politik yang muncul saat ini masih sangat mungkin untuk berubah tergantung dengan kebutuhan dan kepentingan. Terlepas dari hal ini, bagi saya, makin cepat nama-nama bakal calon diumumkan kepada publik, maka makin komprehensif pula publik untuk menelanjangi kapasitas dan kapabilitas serta rekam jejak (track and record) mereka selama ini.
Dengan cepatnya nama-nama mengapung ke permukaan, membuat para pemilih akan lebih matang untuk memilih sehingga harapannya pemilu kali ini bisa menjadi pemilu yang lebih berkualitas karena kaya akan gagasan politik para calon bukan kaya dengan kampanye hitam, isu suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA), serta politik uang.
Siapa paling ramah lingkungan?
Saat ini, nama Anies dan Ganjar sudah hampir pasti menjadi bakal calon presiden (hampir pasti mengingat situasi politik bisa saja berubah setiap saat), sedangkan Prabowo dan satu nama lagi dari koalisi Partai Golkar dan PAN masih berkemungkinan. Kendati demikian, sejak saat ini publik sudah bisa mengukur kelayakan para kandidat untuk dipilih pada Pilpres 2024 ini.
Ada dua poin penting yang menurut hemat saya harus dilihat pemilih dari para kandidat politik. Pertama, kemampuan personal yang berkaitan dengan kapasitas dan kapabilitas seorang kandidat. Kedua, rekam jejaknya dalam menghadapi dan mengelola isu yang menuntutnya untuk bertanggung jawab dan ikut andil dalam menangani persoalan.
Banyak isu publik yang harus dibicarakan dan menjadi pusat perhatian, salah satunya tentu isu terkait dengan masa depan lingkungan.
Isu publik harus menjadi arus utama pemilih untuk memilih kandidat. Jika isu publik gagal menjadi arus utama, artinya pemilu yang kaya akan gagasan politik belum bisa terwujud karena kalah dengan politik uang atau juga politik identitas yang lebih mengakar.
Banyak isu publik yang harus dibicarakan dan menjadi pusat perhatian, salah satunya tentu isu terkait dengan masa depan lingkungan. Isu lingkungan kontemporer memiliki ruang lingkup yang besar bahkan untuk saat ini isu ini seharusnya menjadi isu prioritas karena sifatnya teramat mendesak. Isu lingkungan, seperti isu perubahan iklim atau krisis iklim, dapat dikatakan sebagai isu yang harus diprioritaskan lantaran kondisinya yang bak telur di ujung tanduk.
Untuk menilai seorang calon dengan kacamata isu lingkungan, hal utama yang harus diperhatikan adalah rekam jejak mereka yang berhubungan dengan lingkungan itu sendiri.
Beberapa pertanyaan kunci yang dapat menjadi patokan, pertama, apakah kandidat terlihat pernah memiliki komitmen untuk melestarikan lingkungan? Hal ini bisa dilihat dari komitmen lingkungan dari bisnis yang mereka jalankan, pernyataan-pertanyaan di media, juga andil dan kontribusi dalam aksi nyata pelestarian lingkungan.
Kedua, bagaimana kandidat tersebut menghadapi persoalan lingkungan yang menjadi tanggung jawabnya? Hal ini tentu terkait dengan persoalan yang muncul ketika seorang kandidat menjadi pihak yang memiliki kewenangan, baik dalam konteks bisnis maupun konteks pemerintahan. Misalnya saja, pada saat menjadi pejabat publik, kandidat mengambil sikap terkait banjir yang melanda daerahnya, atau sebagai seorang pimpinan perusahaan, kandidat mengambil keputusan yang berkaitan dengan lingkungan di sekitarnya.
Ketiga, apakah kandidat memiliki gagasan politik seperti visi dan misi yang memperhatikan lingkungan? Untuk mewujudkan masa depan yang lebih baik dengan lingkungan yang berkelanjutan, gagasan politik kandidat menjadi kunci penting. Tanpa ada ini, pemilih sulit untuk menagih komitmen lingkungan para kandidat terpilih nantinya.
Saya rasa nama-nama kandidat yang muncul seperti Anies Baswedan, Ganjar Pranowo, Prabowo Subianto, atau nama lainnya yang juga kerap muncul seperti Airlangga Hartarto, Muhaimin Iskandar, Sandiaga Uno, Zulkifli Hasan, Khofifah Indar Parawansa, Puan Maharani, Agus Harimurti Yudhoyono, Mahfud MD, dan banyak lainnya, sudah lulus dari ambang batas kelayakan kapasitas dan kapabilitas secara personal.
Namun, siapa di antara mereka yang paling ramah lingkungan? Silakan cermati dengan saksama.