Ikrar Setia Napi Teroris, Bukti Keberhasilan Deradikalisasi?
Ikrar setia kepada NKRI tak bisa dianggap sebagai indikator utama bahwa program deradikalisasi berhasil. Program deradikalisasi harus lebih memperhatikan aspek-aspek psikologis, sosial, ekonomi, dan budaya napi teroris.
Ikrar setia kepada NKRI yang dilakukan oleh 76 warga binaan kasus terorisme di Lembaga Pemasyarakatan Narkotika Gunung Sindur pada 1 Juni 2023 diklaim sebagai bukti keberhasilan pembinaan terpidana terorisme dengan mendorong kesadaran mereka untuk kembali mencintai dan mengakui Tanah Air Indonesia. Namun, ikrar setia ini tidak bisa dijadikan sebagai ukuran mutlak bahwa program deradikalisasi yang dijalankan oleh pemerintah sudah berhasil. Sebab, ada kemungkinan bahwa ikrar setia ini hanya sebagai tampilan luar yang palsu untuk menyembunyikan keberhasilan semu program deradikalisasi yang sesungguhnya.
Apakah ikrar setia kepada NKRI dan Pancasila yang dilakukan oleh para warga binaan tersebut benar-benar menunjukkan perubahan sikap dan transformasi pemikiran mereka? Ataukah ini hanya sebatas klaim keberhasilan semu program deradikalisasi yang dilakukan oleh aparat birokrat keamanan yang hanya melihat bahwa sikap tersebut adalah sebuah perubahan dan dianggap sebagai bukti keberhasilan program deradikalisasi?
Untuk menganalisis ikrar teroris untuk setia kepada NKRI dan Pancasila tersebut, saya meminjam teori agensi Ortner. Menurut Sherry Ortner (2006), salah satu antropolog terkemuka, agensi adalah kapasitas individu atau kelompok untuk mempengaruhi struktur sosial.
Agensi dapat dibedakan menjadi dua jenis, yaitu agensi proyek (agency of project) dan agensi resistensi (agency of power). Agensi proyek adalah agensi yang berorientasi kepada tujuan tertentu, seperti mencapai kesuksesan, kebahagiaan, atau kebebasan. Agensi resistensi adalah agensi yang berorientasi kepada menentang atau melawan struktur kuasa yang ada, seperti dominasi, penindasan, atau ketidakadilan.
Baca juga: Ikrar Setia 76 Warga Binaan Terorisme Disambut Skeptis Pengkaji Terorisme
Agensi proyek
Dalam konteks para warga binaan kasus terorisme Lapas Teroris Gunung Sindur, ikrar setia kepada NKRI dan Pancasila dapat dilihat sebagai bentuk agensi proyek. Para warga binaan ini melihat di hadapannya ada industri terorisme yang kemudian diinternalisasikan ke dalam kesadaran mereka sebagai sebuah proyek siasat untuk mengelabui birokrat keamanan Indonesia.
Kemudian, mereka menyusun rencana dan plot berdasarkan fatwa-fatwa dan pendapat-pendapat ulama yang mereka panuti atau mereka ikuti. Dengan demikian, ikrar setia kepada NKRI dan Pancasila bukanlah sebuah pernyataan yang sebenar-benarnya dan bukan karena tekanan atau rekayasa atau karena siasat tertentu yang sedang dimainkan para warga binaan tersebut.
Ortner (2006) mengatakan bahwa agensi proyek sering kali bersifat strategis dan instrumental. Agensi proyek tidak selalu mencerminkan nilai-nilai atau identitas sejati dari individu atau kelompok yang melakukannya. Agensi proyek juga tidak selalu menghasilkan perubahan sosial yang positif atau progresif. Agensi proyek dapat juga digunakan untuk mempertahankan status quo atau bahkan untuk memperkuat struktur kuasa yang ada.
Oleh karena itu, birokrat keamanan Indonesia sesungguhnya tidak memiliki imajinasi bagaimana menghadapi militansi ideologi dari para warga binaan kasus terorisme tersebut. Militansi ideologi ini bukanlah persoalan ringan dan kalau mereka setelah keluar dari penjara kemudian membuat ikrar setia kepada NKRI dan Pancasila, itu baru pernyataan yang sebenar-benarnya dan bukan karena tekanan atau rekayasa atau karena siasat tertentu yang sedang dimainkan oleh para warga binaan tersebut.
Jika agensi ini dilakukan dalam periode masa tahanan maka ini merupakan sebuah agensi proyek yang dilakukan oleh para warga binaan kasus terorisme yang sengaja menyusun rencana, plot, agenda, ekspresi dan lain-lain yang seakan-akan menunjukkan bahwa mereka sudah mengalami transformasi atau perubahan sikap. Padahal, itu hanyalah sebuah agensi atau kapasitas seorang individu untuk melakukan resistensi atau perlawanan terhadap struktur kuasa yang ada.
Militansi ideologi ini bukanlah persoalan ringan dan kalau mereka setelah keluar dari penjara kemudian membuat ikrar setia kepada NKRI dan Pancasila.
Banyak dari birokrat keamanan Indonesia, khususnya dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), sering mengklaim ikrar setia ini sebagai bukti keberhasilan program deradikalisasi yang sebenarnya perlu dipertanyakan. Ikrar setia ketika dilakukan di dalam penjara oleh napi-napi teroris sesungguhnya adalah sebuah siasat dari napi-napi teroris tersebut untuk menghirup suasana keleluasaan yang mereka ingin dapatkan secara sementara. Didorong oleh keinginan untuk mengubah kondisi tersebutlah maka mereka kemudian bersedia ikut dalam program ikrar setia kepada NKRI dan sebenarnya mereka menerima NKRI dan Pancasila hanya sebagai siasat saja.
Siasat ini dibenarkan dalam fiqih dan juga syariat politik sehingga ada beberapa fatwa dan pernyataan dari ulama-ulama kekerasan yang tidak dipahami oleh birokrat keamanan di Indonesia. Konstruksi tekstual mereka atas sikap dan ikrar setia kepada NKRI ini berasal dari tafsiran-tafsiran ayat-ayat Al Quran dan hadis nabi dan juga Sirah Nabawiyah yang diformulasikan dan diinterpretasi oleh ulama-ulama yang mereka yakini integritasnya.
Mereka tidak lagi merujuk kepada ulama-ulama biasa melainkan ulama-ulama kekerasan yang sudah divonis oleh pemerintah maupun yang belum divonis. Konstruksi tekstual ini kemudian menjadi konstruksi kultural bagi para napi teroris tersebut untuk kemudian diizinkan mengambil sikap ikut dalam ikrar bersama untuk setia kepada NKRI dan Pancasila.
Menetralisasi paham radikal
Program deradikalisasi teroris di Indonesia adalah salah satu upaya pemerintah untuk menanggulangi ancaman terorisme yang masih menghantui negeri ini. Program ini bertujuan untuk menetralisasi paham radikal yang dimiliki oleh para napi teroris, mantan napi teroris, maupun orang atau kelompok yang telah terpapar paham radikal terorisme (Neliti, 2020). Program ini dilaksanakan oleh beberapa lembaga atau institusi pemerintah, seperti BNPT, Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88, dan Kementerian Sosial.
Program deradikalisasi teroris di Indonesia meliputi beberapa tahapan, yaitu identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, dan resosialisasi. Identifikasi adalah proses untuk mengetahui profil dan karakteristik dari para sasaran program deradikalisasi. Rehabilitasi adalah proses untuk memberikan bantuan psikologis dan kesehatan kepada para sasaran program deradikalisasi.
Reedukasi adalah proses untuk memberikan pembekalan mengenai nilai-nilai kebangsaan, Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan pemahaman agama yang moderat kepada para sasaran program deradikalisasi. Resosialisasi adalah proses untuk mengembalikan para sasaran program deradikalisasi ke masyarakat dengan memberikan bantuan ekonomi, sosial, dan hukum.
Baca juga: Terorisme, Anarkisme, dan Deradikalisasi
Program deradikalisasi teroris di Indonesia telah menunjukkan beberapa keberhasilan dalam mengubah sikap dan perilaku dari para sasaran program deradikalisasi. Beberapa studi kasus menunjukkan bahwa program deradikalisasi teroris di Indonesia telah berhasil membuat para mantan teroris berhenti dari kegiatan terorisme dan kembali ke masyarakat dengan cara yang damai dan produktif (Hwang, 2018; Kenney & Hwang, 2021). Program deradikalisasi teroris di Indonesia juga telah berhasil mengungkap beberapa faktor yang mempengaruhi proses disengagement dan deradicalization dari para mantan teroris, seperti faktor personal, sosial, ideologis, religius, politis, dan situasional (Chernov Hwang, 2017; Hwang & Schulze, 2018).
Oleh karena itu, ikrar setia kepada NKRI tidak bisa dianggap sebagai indikator utama bahwa program deradikalisasi sudah berhasil. Program deradikalisasi harus lebih memperhatikan aspek-aspek psikologis, sosial, ekonomi, dan budaya dari para napi teroris agar mereka benar-benar bisa berubah secara mendasar dan tidak lagi terpengaruh oleh paham radikalisme dan terorisme. Selain itu, program deradikalisasi juga harus melibatkan berbagai pihak, seperti keluarga, masyarakat, tokoh agama, akademisi, LSM, media massa, dan lain-lain, agar bisa memberikan dukungan dan pengawasan yang efektif bagi para napi teroris baik saat di dalam maupun di luar penjara.
Salah satu tantangan terbesar dalam penanganan terorisme di Indonesia adalah program deradikalisasi yang bertujuan untuk menetralisasi paham radikal yang dimiliki oleh para napi teroris dan mantan teroris. Program ini dijalankan oleh beberapa instansi, seperti Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Detasemen Khusus Antiteror (Densus) 88, dan dinas sosial. Namun, seberapa efektif program deradikalisasi ini dalam mencegah residivisme atau kembali ke jaringan terorisme?
Program deradikalisasi teroris di Indonesia tampaknya belum berhasil menekan angka residivisme teroris yang terus meningkat.
Faktor-faktor yang menyebabkan keberhasilan semu program deradikalisasi, antara lain, adalah kurangnya koordinasi antara lembaga-lembaga yang terlibat, kurangnya sumber daya manusia yang kompeten dan profesional dalam melakukan deradikalisasi, kurangnya pemahaman tentang paham radikal terorisme dan cara mengatasinya, serta kurangnya dukungan dari masyarakat dan keluarga para napi teroris dan mantan teroris. Selain itu, program deradikalisasi juga harus memperhatikan kondisi sosial ekonomi dari para napi teroris dan mantan teroris yang sering menjadi faktor pendorong mereka untuk bergabung kembali dengan jaringan terorisme lama.
Program deradikalisasi teroris di Indonesia tampaknya belum berhasil menekan angka residivisme teroris yang terus meningkat. Menurut data BNPT, sejak 2010 hingga 2022, ada 116 eks napi terorisme yang kembali melakukan aksi teror setelah bebas dari penjara (Kompas.com, 2022). Hal ini menunjukkan bahwa program deradikalisasi yang dilakukan oleh BNPT dan Densus 88 belum efektif dalam mengubah paham radikal yang dimiliki oleh para napi teroris.
Salah satu faktor yang mempengaruhi ketidakberhasilan program deradikalisasi adalah kurangnya koordinasi antara lembaga-lembaga yang terlibat dalam proses rehabilitasi dan resosialisasi para napi teroris. Menurut Hakim dan Sukabdi (2022: 642), program deradikalisasi harus dilakukan secara terintegrasi dan berkelanjutan, melibatkan berbagai pihak seperti pemerintah, masyarakat, keluarga, dan tokoh agama. Program deradikalisasi juga harus disesuaikan dengan karakteristik dan kebutuhan masing-masing napi teroris, sehingga dapat memberikan dampak positif bagi perkembangan psikologis mereka.
Baca juga: Butuh "Sekampung" Lepaskan Ekstremisme dari Anak Napi Terorisme
Selain itu, faktor lain yang menyebabkan tingginya angka residivisme teroris adalah adanya ancaman aksi lone wolf atau serangan tunggal yang sulit dideteksi dan dicegah. Menurut Sarlito Wirawan Sarwono (2012: 123), aksi lone wolf biasanya dilakukan oleh individu-individu yang memiliki motivasi pribadi untuk melakukan terorisme, tanpa terafiliasi dengan kelompok tertentu. Mereka juga cenderung memiliki akses ke informasi dan senjata yang mudah didapatkan melalui internet atau pasar gelap. Aksi lone wolf menjadi tantangan baru bagi penanggulangan terorisme di Indonesia, karena membutuhkan strategi khusus untuk mengidentifikasi dan menangkap pelakunya.
Al Chaidar,Dosen Departemen Antropologi, Universitas Malikussaleh, Lhokseumawe, Aceh