Butuh "Sekampung" Lepaskan Ekstremisme dari Anak Napi Terorisme
Bukan hal yang mudah untuk membuat anak-anak narapidana terorisme keluar dari jerat ekstremisme. Keluarga berperan vital. Tak kalah penting, peran dari sekolah, lingkungan tempat anak tinggal, dan pemerintah.
Sejumlah pemahaman keliru soal Islam secara perlahan coba diinjeksi oleh Sofyan Tsauri kepada anaknya, AYA, sejak usianya masih belia. Beragam cara digunakan, seperti mengajaknya membaca bersama majalah-majalah soal jihad hingga menonton video-video propaganda dari kelompok teroris Negara Islam di Irak dan Suriah dan Al-Qaeda.
Upaya Sofyan tak surut meski ia mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, akibat terbukti menjual senjata pada jaringan teroris di Aceh, 6 Maret 2010. Pernah satu saat ketika AYA bersama istri Sofyan, Astri Rahayu, berkunjung ke lembaga pemasyarakatan, Sofyan berpesan kepada anaknya yang kala itu masih berusia sekitar tujuh tahun untuk melanjutkan perjuangannya. Astri bahkan sempat mendengar, Sofyan memberi tahu AYA terkait keberadaan sejumlah video bernarasi jihad di rumah.
Tak setuju dengan upaya Sofyan itu, Astri langsung mengingatkan anaknya sepulang dari menjenguk Sofyan. ”Sudah enggak usah, enggak usah diperhatikan. Pokoknya, intinya kamu belajar, sekolah yang bener,” ujar Astri, mengulang pesan yang disampaikan kepada AYA sekitar 13 tahun lalu.
Astri juga menyadarkan anak sulungnya tersebut, bahwa ajaran yang dianut ayahnya keliru. Begitu pula tindakan ayahnya, telah melanggar hukum. ”Nah, dari situ aku mulai tersadar, dari umi (ibu) saja begitu. Umi, kan, orangnya keras, teguh pendirian. Kami sering-sering curhat berdua, ngobrol,” kenang AYA yang kini berusia 20 tahun.
Baca juga: Beban Berganda Anak Narapidana Terorisme
AYA yang sempat terpapar ajaran keliru dari ayahnya secara perlahan pulih. Terlebih selepas mendekam di lembaga pemasyarakatan selama enam tahun, Sofyan tak lagi menganut ajaran keliru itu, dan turut membimbing AYA. Pria kelahiran Bogor tahun 1976 itu, misalnya, menyekolahkan anaknya ke pondok pesantren yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU) saat mengetahui masih ada sisa ajaran keliru dalam benak AYA.
AYA yang kala itu duduk di kelas VIII SMP terlihat mudah sekali mengucapkan bidah atau sesat terhadap suatu ajaran atau kebiasaan yang tidak sesuai dengan apa yang diyakininya.
”Wah, ini ada yang salah. Itu mengajarkan kebencian. Oke, mereka belum berbuat teror sampai ngebunuh. Tetapi, kan, nilai itu sudah tertanam di jiwanya. Kita tidak tahu pemantiknya apa nanti. Inilah sebabnya saya pindahkan ke pondok pesantren (beraliran) NU. Ternyata, di NU, pengajarannya lebih obyektif. Pemahaman mereka lebih beda dan lebih kaya. Referensi juga lebih banyak,” ucap Sofyan.
Kisah keluarga Sofyan ini setidaknya menunjukkan betapa pentingnya peran keluarga bagi anak agar tidak kian terjerumus dalam ajaran ekstrem yang mungkin didapatinya dari anggota keluarga sendiri. Namun, tak semua anak dari narapidana terorisme seberuntung AYA.
Seorang pendamping anak narapidana terorisme di sebuah pondok pesantren di Tangerang, berinisial N, menyampaikan, ketika awal ingin mendampingi anak narapidana terorisme yang berasal dari Poso, Sulawesi Tengah, gelombang penolakan justru datang dari orangtua anak tersebut. Orangtua menarik kembali anaknya dan tidak ingin anaknya sampai mengikuti program pendidikan ulama di pondok pesantren tersebut.
”Jadi, tidak mudah memang kalau dari keluarga sendiri sudah menolak, apalagi kalau perlawanannya keras,” kata N.
Baca juga: Seribu Akal Demi Bekal Anak "Napiter"
Dukungan semua pihak
Selain keluarga, andil dari sekolah tidak kalah penting.
Menurut X, pemimpin dari pondok pesantren di kawasan Tangerang tersebut, sebelum pondok pesantren memutuskan untuk mendidik anak-anak dari narapidana terorisme, penolakan muncul di kalangan internal pondok pesantren. Penolakan didasari adanya kekhawatiran bahwa kehadiran mereka akan memperburuk citra pesantren. Dikhawatirkan pula anak-anak tersebut justru akan memengaruhi anak-anak yang lain.
”Semua itu, kan, menjadi bahan pertimbangan. Namun, setelah bermusyawarah, saling tukar pandangan di internal, kami memutuskan untuk menerima mereka. Toh, sekarang sudah berjalan lebih dari tiga tahun, tidak ada masalah apa-apa. Niat kami, kan, juga baik, agar anak-anak ini kelak bisa kembali ke lingkungannya, menjadi ulama dan role model di sana. Jadi, kami bukan saja mengubah cara pandang mereka, tetapi juga keterampilan mereka dari sisi agama,” ujar X.
Dalam proses kembali ke masyarakat inilah, pekerja sosial berinisial TL menyampaikan, peran serta masyarakat diuji. Masyarakat harus bisa menerima anak-anak itu, bukan justru mengucilkannya. Jika anak tidak mendapat perhatian atau bahkan dikucilkan, lambat laun akan membuat luka baru bagi anak. Anak itu bisa saja mengenang lagi pengalamannya di masa lampau, dan rentan tertarik kembali.
TL memiliki pengalaman buruk ketika ingin melakukan proses integrasi sosial terhadap anak dari pelaku bom bunuh diri satu keluarga di Markas Polrestabes Surabaya.
Perkembangan anak itu sebenarnya sudah sangat cepat. Sang anak sudah ceria dan tidak lagi memikirkan situasi yang menimpa keluarganya. ”Problemnya, masyarakat di sekitar sana masih merasa takut sehingga pada saat mau dipulangin, warga-warganya masih takut. Jadi, ini belum tahu, mau dipulangin ke mana,” kata TL.
Ilustrasi
Kompas pun mencoba mendatangi perumahan tempat keluarga anak itu dahulu tinggal. Sejumlah warga yang ditemui mengaku tak mudah untuk bisa menerima anak dari pelaku bom bunuh diri di Markas Polrestabes Surabaya.
”Saya khawatir kalau daya ingatnya kuat, kan, bisa sewaktu-waktu teringat. Saya lebih khawatir anak saya karena teman main anak (pelaku bom bunuh diri) itu,” ujar salah satu warga, Surati.
Baca juga: Pendekatan Kemanusiaan agar Tak Ada Lagi ”Family Tree” Terorisme
Kompas juga mendatangi sebuah perumahan di Makassar, Sulawesi Selatan, tempat tinggal dari bekas petinggi kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang terlibat aksi bom bunuh diri di Makassar. Saat ini, rumah tersebut masih ditinggali putra dari pelaku, berinisial FR (13). Namun, sejumlah warga pun tampak acuh tak acuh dengan keberadaannya.
Menurut salah satu warga, Boby (43), banyak pendatang di perumahan tersebut sehingga lumrah saja satu sama lain tidak saling mengenal, termasuk FR. ”Bagaimana ya, kami pada umumnya di sini tidak ada sistem jalan-jalan ke tetangga-tetangga begitu. Tidak ada silaturahmi begitu,” kata pria asal Sumba, Nusa Tenggara Timur, tersebut.
Pendekatan holistik
Peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Alif Satria berpandangan, negara harus lebih holistik dalam melindungi anak-anak yang ditinggal orangtuanya akibat kejahatan terorisme. Holistik di sini berarti holistik secara substansi, dan juga holistik secara aktor.
Secara substansi, misalnya, negara tidak bisa hanya menyekolahkan anak-anak ini, tetapi juga harus bisa membangun jaringan pendukung yang efektif di tingkat keluarga dan komunitas. Hal ini dapat dilakukan dengan mengadakan proses reintegrasi yang tidak hanya fokus pada individu, tetapi juga pada komunitas, seperti penyuluhan terhadap masyarakat sekitar agar bisa merespons dan mendukung proses reintegrasi sosial anak-anak ini.
Hal itu harus pula diikuti dengan proses pendampingan dan evaluasi yang kontinu dan konsisten dari pemerintah. Pemerintah tidak bisa hanya menyekolahkan dan memberikan penyuluhan, tanpa adanya pemantauan apakah semua upaya ini berjalan seharusnya.
Secara aktor, pemerintah tidak bisa hanya mengandalkan peran Detasemen Khusus (Densus) 88. Ada banyak aktor yang juga memiliki tanggung jawab untuk mengurus isu ini, khususnya aktor-aktor di tingkat lokal, seperti pemerintah daerah, lembaga nonprofit (NGO), dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT).
”Masalahnya adalah memang koordinasi dan pertukaran informasi terkait siapa melakukan apa di tingkat daerah belum dilakukan secara terstruktur. Alhasil, banyak anak-anak yang tidak terdampingi,” ucap Alif.
Jika kondisi ini dibiarkan, lanjut Alif, sangat mungkin mereka yang tak terdampingi itu menjadi teroris ketika kelak dewasa atau mereka tergiring kembali masuk ke dalam jaringan terorisme.
Baca juga: Penerimaan Publik terhadap Anak Narapidana Terorisme
Pemerintah perlu mewaspadai, bahwa anak-anak dari narapidana terorisme ini kerap menjadi sasaran dari kelompok-kelompok teroris. Mereka diberikan layanan sosial dan edukasi, seperti diajak masuk ke pesantren-pesantren radikal yang biasanya menyubsidi anak-anak pelaku tindakan terorisme. Tak hanya itu, keluarga dari anak-anak ini juga diberikan santunan oleh jaringan kelompok terorisme, baik secara langsung maupun melalui yayasan-yayasannya.
”Faktanya, memang organisasi-organisasi seperti Jamaah Islamiyah (JI) dan Daulah Islamiyah (DI) memiliki divisi dan program-program khusus yang fokus pada pemberian bantuan terhadap keluarga narapidana terorisme,” tutur Alif.