Pengembangan Industri Petrokimia untuk Perluasan Kesempatan Kerja dan Substitusi Impor
Untuk mengatasi pengangguran, pemerintah harus mampu membuka lapangan kerja. Industri petrokimia berpotensi mendorong pertumbuhan industri hilir, perluasan kesempatan kerja, serta serapan tenaga kerja 3,2 juta orang.
Badan Pusat Statistik mengumumkan, pada Februari 2023, jumlah penganggur di Indonesia mencapai 7,99 juta orang, berkurang sekitar 410.000 orang dibandingkan Februari 2022 yang berjumlah 8,4 juta orang.
Tingkat pengangguran terbuka (TPT) pada Februari 2023 mencapai 5,45 persen, turun dibandingkan Februari 2022 yang berada di posisi 5,86 persen. Sementara itu, jumlah total angkatan kerja Indonesia pada Februari 2023 mencapai 146,62 juta orang, bertambah 2,61 juta orang dibandingkan Februari 2022.
Jumlah angkatan kerja Indonesia diperkirakan masih melimpah di masa bonus demografi yang diproyeksikan akan berakhir paling cepat pada 2039.
Berdasarkan Sensus Penduduk 2020, Bappenas memperkirakan saat ini Indonesia sudah berada pada periode akhir puncak bonus demografi dengan laju pertumbuhan penduduk melambat secara bertahap pada periode 2020-2050 walaupun proyeksi pertumbuhan penduduk tetap positif (Kompas, 17/5/2023).
Baca juga : Pengangguran Masih Didominasi Lulusan Pendidikan Tinggi
Oleh karena itu, pemerintah harus mampu membuka lapangan kerja yang lebih luas untuk mengatasi pengangguran dan memanfaatkan penduduk usia produktif untuk mempercepat laju pertumbuhan ekonomi sehingga Indonesia dapat keluar dari perangkap negara berpendapatan menengah (middle income trap) menjadi negara berpendapatan tinggi (high income country).
Untuk mencapai hal itu diperlukan pertumbuhan ekonomi sekurang-kurangnya 7 persen dan saat ini pertumbuhan ekonomi Indonesia 5,03 persen (Kompas, 9/5/2023).
Di samping banyak upaya yang sudah dilakukan pemerintah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi, misalnya dengan pembangunan infrastruktur, regulasi dan kelembagaan, dan sumber daya manusia (SDM), Prasetyantoko mengusulkan agar pemerintah mendatang lebih fokus pada usaha percepatan reformasi peningkatan kualitas SDM, penataan kelembagaan setelah diterbitkannya omnibus law Cipta Kerja dan sektor keuangan, serta fokus pada reindustrialisasi (Kompas, 9/5/2023).
Salah satu industri yang menjanjikan dan memerlukan pengembangan serius karena pentingnya untuk mendukung industri hilir adalah industri petrokimia sektor hulu penghasil bahan baku produk jadi plastik.
Tingkat konsumsi plastik di Indonesia saat ini 22 kilogram (kg) per kapita, lebih rendah dari Vietnam 42,1 kg/kapita, Thailand 66,4 kg/kapita, dan Malaysia 79,6 kg/kapita. Konsumsi plastik per kapita di Perjanjian Perdagangan Bebas Amerika Utara (NAFTA) dan Eropa Barat masing-masing 83,1 kg/kapita dan 87,8 kg/kapita.
Jerman dan Korea Selatan menggunakan plastik per kapita yang lebih tinggi, masing-masing 95,8 kg/kapita dan 141 kg/kapita (Inaplas, 2023). Konsumsi plastik di Indonesia setiap tahun tumbuh 6-7 persen dan diperkirakan akan terus naik karena industri plastik memiliki peran penting dalam mendukung industri lain, seperti industri makanan, minuman, kosmetik, farmasi, elektronik, pertanian, perkakas rumah tangga, otomotif, karet sintetis, dan bahan bangunan.
Saat ini Indonesia masih menjadi importir neto bahan baku plastik dengan nilai impor 2,8 miliar dollar AS per tahun.
Dalam rangka untuk substitusi impor bahan baku plastik dan penguatan industri petrokimia nasional, saat ini sedang dibangun tiga megaproyek petrokimia oleh PT Chandra Asri Petrochemical Tbk, PT Lotte Chemical Titan Nusantara, dan PT Pertamina Persero dengan total nilai investasi 18 miliar dollar AS di Cilegon, Banten.
Baca juga : Pabrik Daur Ulang Plastik Terbesar di Indonesia Beroperasi di Pasuruan
Megaproyek ini dimulai pada 2022 dan direncanakan selesai pada 2027, dengan produk antara lain ethylene, propylene, polypropylene, butadiene, high-density polyethylene (HDPE), low-density polyethylene (LDPE), low linear density polyethylene (LLDPE), dan produk-produk petrokimia lain.
Manfaat yang diperoleh dari pembangunan megaproyek ini, antara lain, adalah mendorong pertumbuhan industri hilir, perluasan kesempatan kerja dengan potensi serapan tenaga kerja hingga 3,2 juta orang, perbaikan neraca perdagangan dengan substitusi impor bahan baku produk plastik, dan sumber devisa.
Pemerintah juga mengundang investor untuk membangun industri petrokimia di Kawasan Industri Hijau Indonesia (KIHI), Kalimantan Utara, yang diproyeksikan menjadi industri petrokimia terbesar di dunia.
Tantangan dan hambatan
Industrialisasi tidak dapat hanya dilakukan pemerintah. Peran swasta dalam industrialisasi merupakan keharusan. Terkait dengan hal ini, pemerintah telah melakukan berbagai terobosan untuk memperbaiki iklim investasi dengan mengeluarkan kebijakan untuk mengakomodasi asas kepastian hukum dan kemudahan berusaha.
Meski demikian, kebijakan dan regulasi yang sudah ada belum sepenuhnya mendukung iklim investasi seperti yang diharapkan. Misalnya, pembangunan industri petrokimia yang kompleks dalam kondisi normal, mulai dari fase konstruksi hingga produksi komersial, memerlukan waktu 5-10 tahun. Karena kondisi tertentu, seperti pandemi Covid-19 yang lalu dan dalam kondisi ekonomi global yang melemah, waktu yang diperlukan dapat mundur menjadi 10-15 tahun.
Di sini terdapat persoalan dengan masa pengkreditan pajak masukan Pajak Pertambahan Nilai (PPN), yang dalam peraturan perpajakan ditentukan paling lama lima tahun sejak masa pajak pengkreditan pertama kali pajak masukan untuk sektor usaha yang menghasilkan barang kena pajak. Adapun untuk sektor usaha yang termasuk dalam ketentuan perundang-undangan mengenai percepatan pelaksanaan proyek strategis nasional (PMK No 18/PMK.03/2021), enam tahun.
Dalam usaha pengurangan sampah plastik ke lingkungan, yang harus lebih digalakkan dan dikembangkan adalah penerapan ekonomi sirkular.
Untuk mengakomodasi industri dengan karakteristik tertentu, diperlukan perangkat turunan dari Perppu No 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan pelaksanaannya sehingga asas kepastian hukum dan kemudahan berusaha seperti tercantum dalam Pasal 2 perppu ini dapat diakomodasi.
Tantangan lain yang dihadapi dalam pengembangan industri petrokimia hulu penghasil bahan baku industri petrokimia hilir adalah, pada Februari 2023, Pemerintah Indonesia mengambil posisi akan mengurangi produksi dan distribusi plastik virgin (yang dihasilkan dari sumber minyak bumi nafta dan kondensat), gas alam, batubara, dan/atau biomassa.
Langkah ini ditempuh sebagai upaya pengendalian polusi sampah plastik. Hal itu telah disampaikan kepada Sekretaris Eksekutif Intergovernmental Negotiating Committee (INC) yang dibentuk Majelis Lingkungan PBB (UNEP) berdasarkan mandat dari Resolusi 5/14 United Nations Environment Assembly (UNEA) untuk mengembangkan instrumen hukum yang mengikat secara internasional tentang polusi sampah plastik, termasuk di lingkungan laut.
Posisi ini tidak mendukung pengembangan industri petrokimia hulu di Indonesia untuk memasok bahan baku bagi berbagai industri hilir yang sangat diperlukan dalam industrialisasi. Lagi pula, konsumsi plastik Indonesia masih jauh lebih kecil dibandingkan negara maju dan produksi plastik Indonesia telah memenuhi berbagai standar kualitas, baik nasional maupun internasional, sehingga aman untuk konsumen.
Ekonomi sirkular sampah plastik
Dalam usaha pengurangan sampah plastik ke lingkungan, yang harus lebih digalakkan dan dikembangkan adalah penerapan ekonomi sirkular.
Sistem pengelolaan dan pemilahan sampah (khususnya plastik) menjadi sangat penting untuk dapat sebanyak-banyaknya mendaur ulang sampah plastik menjadi bahan baku baru atau produk lain yang bernilai ekonomi tinggi.
Sampah plastik yang tidak dimungkinkan untuk didaur ulang dapat dipirolisis menjadi bahan bakar cair. Residu yang tidak termasuk dalam kedua jenis sampah plastik tersebut dapat digunakan sebagai komponen bahan bakar padat refuse derived fuel (RDF). Residu ini tidak termasuk PVC.
Baca juga : Jamur Ubah Sampah Plastik di Laut Jadi Bahan Baku Farmasi
Data Sustainable Waste Indonesia (2021) menunjukkan secara ekonomi kontribusi daur ulang polyethylene terephthalate (PET) di Jabodetabek tidak kurang dari Rp 700 juta per hari (total dari rantai pengumpul), melibatkan 57.500 tenaga kerja dan 1.370 UMKM.
Selain itu, untuk mendukung implementasi dari Perpres No 83 Tahun 2018 tentang Penanganan Sampah Laut dengan target menangani sampah plastik di laut sebesar 70 persen sampai tahun 2025, telah dilakukan penggunaan sampah kantong plastik keresek jenis HDPE ke dalam campuran aspal dengan kadar tertentu untuk meningkatkan kualitas ketahanan jalan. Regulasi dan edukasi perubahan perilaku masyarakat sangat penting untuk optimalisasi ekonomi sirkular limbah plastik.
Panut Mulyono, Guru Besar di Departemen Teknik Kimia Fakultas Teknik UGM