Subsidi adalah salah satu isu tersensitif secara politis pada perjanjian WTO. Investasi asing dan melindungi industri dalam negeri merupakan upaya mengatasi subsidi yang menimbulkan distorsi perdagangan internasional.
Oleh
FUJI ANRINA
·4 menit baca
Sepanjang 2022, Indonesia berhasil meraup investasi senilai Rp 1.207,2 triliun. Realisasi ini meningkat 34 persen dibandingkan pada tahun 2021 dan menjadi rekor pertumbuhan investasi terbesar sepanjang sejarah Indonesia. Sebesar 54,2 persen merupakan investasi asing, antara lain dari Singapura, China, dan Hong Kong.
Peningkatan investasi diyakini berkontribusi positif pada pertumbuhan ekonomi nasional, termasuk dengan mendorong ekspor. Namun, tantangan perdagangan internasional kian kompleks dengan munculnya konsep subsidi transnasional.
Pemberian subsidi diatur secara internasional dalam perjanjian WTO, di antaranya Agreement on Subsidies and Countervailing Measures (ASCM). Aturan ini diciptakan untuk mencegah praktik perdagangan tidak adil akibat subsidi dari pemerintah yang menimbulkan distorsi harga di pasar. Bea masuk imbalan (BMI) dapat diterapkan terhadap produk impor yang mengandung subsidi dan kemudian menyebabkan kerugian bagi industri dalam negeri di negara pengimpor.
ASCM pada dasarnya disusun untuk mengatasi situasi di mana negara anggota WTO memberikan subsidi atas produksi atau penjualan produknya. Belum ada kejelasan apakah ketentuan ASCM berlaku dalam situasi di mana entitas yang memberikan subsidi tak berada dalam wilayah negara anggota WTO yang produknya diduga mengandung subsidi. Perdebatan pun muncul, apakah produk yang menerima subsidi lintas batas itu merupakan obyek penyelidikan antisubsidi di perjanjian WTO.
Uni Eropa (UE) memiliki pandangan tersendiri untuk hal ini. Penanaman modal asing di negara ketiga melalui Inisiatif Sabuk dan Jalan (BRI) yang dilakukan Pemerintah China dikategorikan sebagai bentuk subsidi lintas batas yang melanggar ketentuan WTO.
Melalui skema itu, Pemerintah China dinilai memberikan berbagai jenis bantuan keuangan guna memfasilitasi perusahaan China untuk melakukan ekspansi di negara ketiga. Dampaknya, produk yang diekspor oleh negara ketiga itu telah beberapa kali menjadi obyek penyelidikan antisubsidi oleh UE. Salah satunya produk glass fibre fabrics asal Mesir.
.
Otoritas UE menilai produsen di Mesir mendapat keuntungan dari kontribusi keuangan yang diberikan badan publik China. Perusahaan dengan pemegang saham entitas China itu didirikan di zona ekonomi khusus (China-Egypt Suez Economic and Trade Cooperation Zone) berdasarkan perjanjian antara Pemerintah China dan Mesir. BMI 13,1 persen pun diberlakukan UE terhadap produk asal Mesir tersebut pada 2020.
Pengadilan Umum UE, melalui keputusan 1 Maret 2023, membenarkan interpretasi otoritas penyelidik UE dalam mengenakan BMI terhadap produk glass fibre fabrics asal Mesir. Artinya, Otoritas UE dimungkinkan melakukan penyelidikan serupa di masa depan terhadap produk impor yang berasal dari negara ketiga yang mendapatkan kontribusi finansial khususnya dari China.
Dukungan keuangan dalam rangka kerja sama bilateral dianggap subsidi dan masuk dalam cakupan penyelidikan antisubsidi UE. Namun, keputusan akhir berada di Mahkamah UE apabila ada banding.
Indonesia juga menghadapi kasus serupa dengan Mesir. Sejak Maret 2022, ekspor stainless steel cold-rolled flat products Indonesia ke UE dikenai BMI hingga 21,4 persen. Skema yang menjadi isu dalam penyelidikan termasuk kerja sama bilateral Pemerintah RI dan China mengenai Kawasan Industri Morowali di Sulawesi Tengah di mana kedua negara sepakat mengembangkan industri stainless steel.
UE menilai investasi China itu bentuk subsidi transnasional yang tak sesuai ketentuan ASCM. Kasus ini telah dibawa Indonesia ke badan penyelesaian sengketa WTO pada Januari 2023. Diperkirakan keputusan Panel WTO keluar lebih kurang dalam setahun.
Pada Januari 2023, UE juga telah memberlakukan ketentuan yang lebih ketat terhadap subsidi asing yang masuk di kawasan tersebut. Komisi Eropa akan memiliki wewenang untuk menyelidiki kontribusi keuangan yang diberikan oleh pemerintah non-UE kepada perusahaan yang aktif di UE. Apabila subsidi asing terbukti mendistorsi pasar UE, Komisi Eropa dapat menerapkan kebijakan untuk mengatasi dampak negatif akibat subsidi itu.
Isu sensitif
Subsidi adalah salah satu isu yang paling sensitif secara politis dalam perjanjian WTO. Setiap negara memiliki prioritas, bentuk, dan anggaran subsidi yang berbeda-beda. Salah satunya dipengaruhi oleh level ekonomi negara itu. Dalam ASCM pun negara berkembang mendapat perlakuan khusus dan berbeda karena subsidi memiliki peran penting dalam program pengembangan ekonomi.
Pendanaan lintas batas yang dilakukan Pemerintah China diyakini memiliki andil dalam mendukung pembangunan ekonomi negara penerima. Di sisi lain, kontribusi finansial itu dianggap menyebabkan distorsi terhadap perdagangan internasional, khususnya oleh UE.
Ilustrasi
Konsistensi penyelidikan antisubsidi UE terhadap ketentuan ASCM masih menunggu keputusan badan penyelesaian sengketa WTO. Namun, yang pasti, perubahan pola perdagangan internasional menuntut adanya pembaruan dalam aturan multilateral, termasuk ASCM. Kebutuhan negara berkembang untuk menarik investasi asing perlu jadi faktor penyeimbang dalam upaya mencari solusi guna mengatasi subsidi yang menimbulkan distorsi perdagangan internasional.
Di sisi lain, kita bisa belajar dari UE dalam upayanya melindungi industri dalam negeri. Pelaku usaha diberi perlindungan, baik dari produk impor yang mengandung subsidi maupun dari subsidi asing di kawasan itu yang mendistorsi pasar. Regulasi dalam negeri untuk melindungi pelaku usaha dari praktik perdagangan tak adil juga perlu diperkuat dengan turut mempertimbangkan perkembangan kebijakan terbaru negara lain.
Fuji Anrina,Analis Investigasi dan Pengamanan Perdagangan di Kementerian Perdagangan, Intern di WTO Tahun 2018