Defisit teologis yang menghalangi inovasi beragama dapat diatasi dengan memperbanyak pengalaman interaksi yang intensif dalam rumah-rumah moderasi dan rumah-rumah ibadat pelopor moderasi.
Oleh
JB KLEDEN
·3 menit baca
Gagasan Aji Sofanudin, Kepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), untuk hijrah dari moderasi beragama ke inovasi beragama (Kompas, 11/5/2023) merangsang untuk ditelisik. Moderasi atau inovasi beragama?
Hubungan antarumat beragama merupakan satu soal yang sering muncul dalam urusan agama di Indonesia. Karena itu, sepanjang sejarah kita selalu berupaya menanamkan kesadaran, mengembangkan kecakapan, menata perangkat hukum, dan menciptakan struktur yang membantu kita menyelenggarakan kehidupan yang rukun dalam suasana kebebasan.
Salah satu upaya yang dilakukan sebelum moderasi beragama dimunculkan adalah dialog antarumat beragama. Dialog menjadi prioritas Kementerian Agama sejak Kabinet Pembangunan I, saat Mukti Ali sebagai Menteri Agama, hingga menjelang akhir masa jabatan Lukman Hakim Saifuddin sebagai Menteri Agama (Kabinet Kerja). Tujuan dialog adalah terciptanya trilogi kerukunan: intern-umat, antarumat, serta antara umat dan pemerintah.
Sayangnya dialog yang sebenarnya merupakan cara agama itu menjadi dirinya sendiri, hanya sebagai strategi umat beragama saling berkolaborasi membangun aksi kekompakan dan tukar-menukar informasi secara dangkal tanpa sampai pada pro-eksistensi. Dialog dibangun lebih kepada alasan pragmatis negara karena kerukunan adalah jaminan bagi penyelenggaraan pemerintahan yang berdayaguna. Alasan-alasan pragmatis ini juga dimainkan oleh agama-agama sebagai strategi yang diperlukan untuk dapat hidup dan berkembang di Indonesia, bukan sebagai kewajiban yang lahir dari hakikat agama itu sendiri.
Akibatnya ketika peran negara yang dominan mulai disoroti dan melemah, kita menemukan bahwa kerukunan kita tidak dibangun atas dasar esensial yang kokoh. Sebab itu, kalau kini kita menghadapi ancaman karena sejumlah aksi kekerasan dan perilaku beragama yang intoleran, hal itu tidak hanya menunjukkan kegagalan negara tetapi adalah juga masalah agama-agama itu sendiri.
Sebuah terobosan
Menjelang akhir masa jabatannya, Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin menggelontorkan mantra moderasi beragama, sebuah rekayasa keadaban untuk mengoptimalkan budaya egaliter, menghargai orang lain yang memiliki pandangan dan keyakinan berbeda. Karena itu, moderasi beragama tidak hanya berkisar pada pembentukan cara pandang dan perilaku jalan tengah, tetapi juga menyoal perasaan kehidupan asasi seperti keadilan, nilai-nilai kemanusiaan, kehidupan berbangsa dan bernegara, kearifan lokal dan ketertiban umum.
Kita tidak menampik penilaian Aji Sofanudin bahwa pengarusutamaan moderasi beragama yang dilakukan saat ini cukup efektif untuk menciptakan persatuan bangsa, tetapi tidak cukup efektif untuk memajukan bangsa. Karena inti moderasi beragama adalah membangun internal sift untuk memperkuat ukhuwah.
Untuk membangun demokrasi dan perdamaian dunia, terlebih dahulu orang harus membuat hatinya menjadi benar.
Sulit membayangkan seorang bisa beragama secara moderat apabila tidak memiliki pandangan moderat dalam dirinya. Gagasan ini sebetulnya sesuai dengan proposal new age yang mengusung paradigma the inside out (dari dalam keluar) yang berkembang di awal tahun 2000.
Penelitian Sachiko Murata, profesor studi agama di State University of New York (2000), menyimpulkan, untuk membangun demokrasi dan perdamaian dunia terlebih dahulu orang harus membuat hatinya menjadi benar. Ini prinsip yang sangat filosofis dan sipiritual. Karena memang diri yang benar itu disetir oleh hati dan jiwa yang benar.
Terlibat
Agama tidak pernah ada demi dirinya sendiri. Hidup harian terletak dalam tradisi yang hidup dengan segala kompromi dan ambigiusnya. Karena itu perilaku beragama yang moderat menyangkut bukan hanya membangun kesadaran melainkan hidup.
Dalam perspektif ini rekomendasi Aji Sofanudin untuk meningkatkan moderasi beragama menjadi inovasi beragama menarik untuk diperhatikan. Muara inovasi beragama adalah agar agama mampu menjawab tantangan-tantangan baru dalam kehidupan masyarakat, baik yang berkaitan dengan perkembangan teknologi, kebudayaan, sosial, maupun ekonomi.
Dalam uraiannya kita mendapat kesan sebagai Kepala Pusat Riset Agama dan Kepercayaan, Ilmu Pengetahuan Sosial dan Humaniora BRIN, Aji Sofanudin, berkepentingan untuk mengingatkan kembali agama-agama akan sense of purpose dan sense of mission-nya dalam dunia. Kehidupan agama barulah menjadi aktual kalau diterapkan dalam bidang-bidang yang lebih konkret di luar bidang keagamaan seperti ekonomi, politik, bisnis, sains. Jadi moderasi atau inovasi beragama?
Pada dasarnya kedua pandangan ini merupakan dua bagian yang utuh dari satu visi yang sama: terlibat. Inovasi beragama mengajak kita untuk menjadi umat beragama yang terlibat dan terlibat sebagai umat beragama. Dalam setiap keterlibatan selalu ada bahaya jatuh ke dalam pelagianisme teologis, bahwa hanya kita dan agama kitalah yang bisa.
Moderasi beragama mengeliminasi kecenderungan narsis tersebut dengan membangun tindakan komunikatif terciptanya saling pengertian, bukan tindakan strategis yang mengarah kepada menang kalah. Seyogianya periset BRIN dan penyuluh agama moderat melibatkan diri pada level ini.
Defisit teologis yang menghalangi inovasi beragama sebagaimana disinyalir Aji Sofanudin dapat diatasi dengan memperbanyak pengalaman interaksi yang intensif dalam rumah-rumah moderasi dan rumah-rumah ibadat pelopor moderasi. Dengan demikian, inovasi beragama dapat menjadi magnum opus-nya BRIN mengaktualkan moderasi beragama mewujudkan Indonesia tempat tinggal bersama, semua orang merasa betah, aman, dan nyaman. Karena ukhuwah adalah urusan cinta lebih daripada urusan kebenaran. Wallahualam.
JB Kleden, Kepala Kantor Wilayah Kementerian Agama Kota Kupang