Agama yang Menyejukkan
Agar agama tidak dijauhi oleh pemeluknya, maka para elite agama harus mampu menjawab tantangan-tantangan yang semakin kompleks seiring dengan perubahan zaman yang semakin cepat.
Saat ini umat beragama dihadapkan pada problem kemanusiaan universal yang semakin kompleks seiring kemajuan zaman yang terus melaju cepat.
Dengan demikian, umat beragama dituntut mampu memahami dan menjelaskan doktrin agama sekaligus mampu memberikan jawaban terhadap problem kemanusiaan secara menyeluruh seperti demokrasi, keadilan, HAM, lingkungan dan segala macam jenis pemihakan terhadap masyarakat.
Hal ini karena dimensi agama tidak hanya bersifat teosentris, melainkan juga sarat dengan dimensi sosiologis dan kosmologis.
Tiga kesatuan relasi
Agama diturunkan oleh Tuhan untuk manusia, sementara manusia tidak bisa lepas dari ketergantungannya kepada manusia lain atau kepada alam makro secara keseluruhan. Di sinilah perlunya kita memahami tiga kesatuan relasi yaitu: relasi manusia dengan Tuhannya (hablun min Allah), relasi manusia dengan sesama manusia (hablun min al-nas) dan relasi manusia dengan alam semesta (hablun min al-’alam).
Inilah etika universal yang lebih dari sekadar masalah sopan santun. Konsep etika universal meliputi berbuat kebajikan ke semua, termasuk menjaga keseimbangan alam semesta. Jika ini yang dipahami, maka materi pelajaran etika menjadi wajib di semua lembaga pendidikan, apapun jenis dan jenjangnya.
Inilah etika universal yang lebih dari sekadar masalah sopan santun.
Sebagaimana kata adab yang memiliki ekstensi makna pembangunan peradaban. Karena itu Nabi besar Muhammad diutus oleh Tuhan ke dunia untuk memperbaiki etika universal (akhlak) ini yang sepadan dengan Ihsan, yang merupakan inti ajaran agama dan sebagai perwujudan iman dan Islam.
Bahwa manusia —sebagai hamba sekaligus sebagai pemimpin— memiliki tiga relasi, yaitu, pertama, relasi manusia dengan Tuhan-nya yang secara vertikal dilakukan melalui ibadah kepada Tuhan-nya. Kedua, relasi manusia dengan sesama manusia yang dilakukan dengan perilaku terpuji seperti jujur, amanah, adil, tanggung jawab, toleran dan seterusnya.
Ketiga, relasi manusia dengan alam semesta yang dilakukan dengan merawat dan menjaga kelestarian alam dan ekosistem, termasuk merawat lingkungan darat maupun laut.
Konsep di atas sejalan dengan perintah Tuhan dalam surat Al Qashash: 77 yang dapat dijelaskan makna kandungannya secara ilmiah, yaitu bahwa secara teologis, manusia diperintahkan Allah untuk beribadah kepada-Nya, dan pada saat yang sama juga harus mencari kehidupan (bekerja) di dunia.
Secara sosiologis, manusia harus berbuat baik pada sesama manusia, melintas batas sektarianisme dan primordialisme. Secara kosmologis, manusia harus mendayagunakan alam seisinya untuk kemaslahatan umat dan tak boleh melakukan eksploitasi yang mengakibatkan rusaknya alam dan lingkungannya.
Jika manusia bersedia menaati perintah Tuhan di atas dan konsisten menegakkan tiga aspek dalam hidupnya, maka harmoni dunia akan terjaga dan akan tenteram selamanya. Dalam konteks kehidupan berbangsa dan bernegara, negara akan menjadi gemah ripah loh jinawi. Untuk mencapai tujuan ini, maka harus dimulai dari pembangunan kampung yang baik (smart village).
Indikator kampung yang baik adalah aman, tenteram guyub-rukun, taat asas, lingkungan yang bersih, asri dan makmur warganya, dan untuk mencapai kampung yang baik ini, maka harus dimulai dari keluarga yang baik (smart family). Indikator dari keluarga yang baik adalah adanya rasa aman, tenteram dan sejahtera, penuh kasih sayang dan harmonis. Inilah yang disebut dengan tri pusat pendidikan kewarganegaraan, yaitu negara (baldah), kampung (qaryah) dan keluarga (zurriyah).
Sejalan dengan QS Al-Qashas di atas, Allah juga menegaskan bahwa kemakmuran dan kesejahteraan sosial berbanding lurus dengan warga bangsa atau SDM yang memiliki kekuatan ortodoksi (iman) dan ortopraksis (amal saleh) atau takwa, dan sebaliknya kerusakan alam dan lingkungan hidup karena distruksi dan dishuman yang dilakukan manusia.
Dalam praktik keberagamaan sehari-sehari kita dapat menyaksikan bahwa antara ortodoksi dan ortopraksis sering tampak tidak berimbang.
Dalam konteks ini Allah menegaskan, bahwa kerusakan alam (baik darat maupun laut) terjadi karena ulah manusia (QS Al Rum: 41). Dalam Al Quran surah Al Qashas 59 juga ditegaskan bahwa Allah tidak akan menghancurkan suatu negara kecuali penduduknya berbuat aniaya (zalim). Demikian juga disebutkan dalam surah Al A’raf: 96.
Kesenjangan ortodoksi-ortopraksis
Dalam praktik keberagamaan sehari-sehari kita dapat menyaksikan bahwa antara ortodoksi dan ortopraksis sering tampak tidak berimbang. Dengan kata lain, penghayatan dalam nilai-nilai keimanan sering terpisahkan dari peran sosialnya. Ini disebabkan dalam merumuskan pengertian iman dalam agama tak mengaitkan realitas empiriknya.
Sementara di pihak lain, antara nilai iman (ortodoksi) dan nilai amal (ortopraksis) dalam agama terlalu banyak mengalami kontradiksi dan gap. Akibat -nya, agama tak bisa hadir dalam ruang publik dan perannya tak bisa difungsikan secara baik. Padahal agama dikenal sebagai pembawa rahmat dan penyelamat umat, dan secara normatif agama juga dianggap sebagai kontrol sosial, pembimbing dan pemersatu umat.
Dom H Camara, seorang aktivis dan uskup agung, menyerukan agar semua umat beragama bersatu dan membuka kembali kitab suci masing-masing untuk menemukan ajaran kemanusiaan universal dalam rangka melawan musuh nyata ketidakadilan. Lalu aktivis Muslim, Asghar Ali Engineer mengimbau perlunya memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material kehidupan manusia dengan menata kembali kehidupan sosial yang adil dan egaliter.
Oleh sebab itu, orang beriman sejati adalah bukan hanya mereka yang mengucapkan kalimah syahadat, melainkan mereka yang menegakkan keadilan dan memperjuangkan kelompok yang tertindas (al-mustadh’afin). Untuk menuju ke arah kedamaian dan keutuhan umat itu, keadilan harus terus diperjuangkan.
Tantangan agama
Jika kita perhatikan secara serius, baik secara normatif-doktriner maupun obyektif-empiris dalam sejarah kerasulan (historis-profetik), sesungguhnya musuh agama adalah ketidakadilan dan ketimpangan sosial. Jika masih ada ketidakadilan dan ketimpangan sosial di muka bumi, maka jadi tanggung jawab semua umat beragama, karena pada dasarnya semua agama tak menghendaki segala macam bentuk kezaliman.
Di sinilah letak kebenaran universal agama itu. Semua ajaran agama menghendaki wujud kebaikan di masyarakat dan menentang semua bentuk kezaliman. Dalam pandangan Islam, orang yang masih membiarkan ketimpangan sosial (tidak peduli kepada orang miskin, anak yatim, orang yang terlantar dan tertindas) maka disebut sebagai pendusta dan pengkhianat agama.
Termasuk musuh agama adalah orang yang mengakumulasi kekayaan yang tidak ada kemanfaatan bagi orang lain. Oleh sebab itu bisa dipahami ketika Nabi Muhammad SAW pertama kali menyiarkan agama yang ditentang mati-matian oleh kafir Quraisy, saat itu adalah karena beliau dianggap menghalang-halangi praktik akumulasi dan monopoli kekayaan para konglomerat Arab.
Baca juga : Beragama yang Mencerahkan
Agar agama tidak dijauhi oleh pemeluknya, maka para elite agama harus mampu menjawab tantangan-tantangan yang semakin kompleks seiring dengan perubahan zaman yang semakin cepat. Tantangan-tantangan itu antara lain menyangkut: pemahaman ajaran agama dan politisasi agama.
Sementara pluralitas agama bisa menjadi bagian dari khazanah bangsa jika dipahami sebagai anugerah Tuhan dengan cara menjalin kerja sama untuk membangun persatuan dan kesatuan antar-umat beragama demi terwujudnya kemakmuran dunia. Jika pluralitas agama menemukan satu wadah visi maupun misi teologisnya yang sama, maka agama akan mampu menjawab berbagai tantangan yang akan dihadapi baik sekarang maupun mendatang.
Namun fenomena yang nampak selama ini adalah, agama lebih diorientasikan pada status quo ketimbang misi kemanusiaannya.
Namun fenomena yang nampak selama ini adalah, agama lebih diorientasikan pada status quo ketimbang misi kemanusiaannya. Agama lebih cenderung diposisikan di balik kepentingan para penguasa atau pemimpin formal agama. Oleh sebab itu, pengertian agama samawi-ardhi harus didudukkan secara benar. Agama yang benar adalah agama samawat wa al-ardh dalam arti ideal-riil, terpadunya cita-cita dan realita, ibarat air yang turun dari gunung ke telaga, sejuk dan menyejukkan. Semoga.
M Zainuddin Guru Besar Sosiologi Agama, Rektor UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.