Johnny Plate, antara Pertarungan Politik dan Citra Penegak Hukum
Terlalu ”over-prejudice” terhadap jajaran kejaksaan kalau penahanan Johnny Plate dianggap sebagai dampak dari persaingan politik. Untuk mentersangkakan seseorang kejaksaan harus punya data dan bukti standar. Minimal dua.
Penetapan status menjadi tersangka dan ditahannya Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny G Plate oleh Kejaksaan Agung, Rabu (17/5/2023), dalam dugaan korupsi proyek stasiun pemancar (base transceiver station/BTS) di kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar tampaknya ditafsirkan lebih bermotif politik ketimbang penegakan hukum yang wajar.
Apalagi, di sini instansi yang menangani adalah Kejaksaan Agung, instrumen penegakan hukum (pengacara negara) yang berada di barisan eksekutif atau bisa dikendalikan langsung oleh Presiden.
Penjelasan seperti itu tentu saja gampang diterima oleh masyarakat luas (logika awam) yang larut dalam suasana emosional pertarungan politik terkait perebutan kekuasaan menghadapi pemilu tahun 2024.
Baca juga: Pembangunan Menara BTS dan Jejak Korupsi Menteri Johnny G Plate
Betapa tidak. Pertama, Partai Nasdem dalam dua kali pemilihan presiden sebelumnya, yaitu 2014 dan 2019, adalah bagian dari pengusung dan pendukung serta sekaligus bergabung dalam koalisi pemerintahan Presiden Joko Widodo. Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh berdiri pasang badan mendukung dan membela Jokowi, mulai dari saat pencalonan presiden hingga dalam administrasi pemerintahannya.
Bahkan, dalam Pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, Partai Nasdem (dan terkesan ”bersama Jokowi”) mendukung gubernur petahana, Basuki Tjahaja Purnama, berhadapan dengan pasangan Anies Baswedan-Sandiaga Uno.
Namun, saat ini justru Partai Nasdem yang pertama kali mendeklarasikan dan mengusung Anies sebagai calon presiden pada Pilpres 2024.
Sikap dan langkah politik Surya Paloh dengan Partai Nasdemnya itu tampaknya dianggap ”menyimpang” atau ”tidak etis” karena, pada saat masih berada dalam koalisi pemerintahan dengan jatah tiga posisi menteri di kabinet Jokowi, ia mengajukan figur yang diindikasikan ”tidak disukai” oleh Presiden Jokowi.
Tepatnya, sikap Surya Paloh atau Partai Nasdem dianggap kontroversial dan sekaligus melawan keinginan politik Presiden Jokowi.
Menurut persepsi ini, sepertinya ada prinsip dasar tidak tertulis yang harus dipahami dan ditaati oleh setiap partai politik yang bergabung dalam koalisi pemerintahan Jokowi, yakni bahwa setiap langkah atau kebijakan politik dalam pencapresan harus selalu bersama dalam ”bingkai kepentingan Presiden Jokowi” atau setidaknya dianggap ”haram” hukumnya jika mengajukan figur capres yang tidak disukainya.
Konsekuensi sistem presidensial
Dalam kaitan itu, setidaknya ada dua risiko politik harus siap diterima oleh parpol koalisi pemerintahan yang melanggar prinsip dasar itu. Pertama, harus siap jika para menterinya dikeluarkan (reshuffle) dari barisan pembantu presiden. Kedua, siap-siap dicari-cari masalah hukumnya karena diyakini bahwa setiap pejabat di pemerintahan niscaya memiliki kesalahan atau masalah hukum, baik yang dilakukan sebelumnya maupun saat menjabat sekarang ini.
Kebetulan Johnny Plate memiliki masalah hukum terkait dengan proyek stasiun pemancar itu sehingga mengalami nasib seperti sekarang. Ini artinya, jika asumsi itu benar, Surya Paloh/Partai Nasdem harus siap-siap juga untuk ikhlas jika semua kadernya diganti Presiden Jokowi meskipun risikonya juga Jokowi yang ”harus tidak boleh marah” jika kelak akan dianggap sebagai figur yang tidak menghargai jasa perjuangan politik dalam memperoleh kursi sebagai orang nomor wahid di negeri ini.
Dalam kaitan itu, setidaknya ada dua risiko politik harus siap diterima oleh parpol koalisi pemerintahan yang melanggar prinsip dasar itu.
Mudah-mudahan yang dijelaskan terakhir ini tidak terjadi
Kedua, pertarungan antarparpol dalam koalisi pemerintahan. Dalam hal ini, Jaksa Agung pun dianggap sebagai bagian dari yang ditempatkan oleh parpol atau bagian dari ”petugas parpol” tertentu.
Sebab, sama juga dengan periode sebelumnya, Jaksa Agung Muhammad Prasetyo dianggap sebagai ”orang Nasdem” karena latar belakang (background) terakhirnya saat itu adalah politisi Nasdem; sementara Jaksa Agung yang menjabat saat ini, Sanitiar Burhanuddin, dianggap sebagai ”orang parpol” (PDI Perjuangan?) tertentu di barisan koalisi pemerintahan Jokowi.
Maka, saat terjadi kepentingan politik yang berhadapan atau bersaing dalam Pilpres ataupun Pemilihan Legislatif 2024, barisan kejaksaan pun dijadikan instrumen mencitraburukkan parpol lain. Dalam konteks ini, sekali lagi, Johnny Plate hanya dianggap bagian dari korban perseteruan politik dengan memanfaatkan ”petugas parpol” yang berwenang dalam bidang penegakan hukum itu.
Persepsi seperti ini juga tentu tidak bisa dihindari, sebagai akibat dari pemerintahan yang notabene menggunakan sistem presidensial. Di sini, seharusnya para pembantu presiden adalah figur-figur yang bekerja profesional berdasarkan aturan yang berlaku, yang mengarah pada pencapaian tujuan negara, khususnya dalam pengawalan agenda reformasi, khususnya ke arah terciptanya pemerintahan yang baik dan bersih.
Namun, pada praktiknya, jabatan-jabatan di eksekutif hanyalah produk bagi-bagi jabatan yang dititipkan oleh parpol dalam barisan koalisi pengusung atau pendukung presiden terpilih (Jokowi), termasuk di dalamnya jabatan penegak hukum seperti Jaksa Agung.
Tepatnya, para pembantu presiden itulah yang mengonkretkan istilah ”petugas parpol”, di samping Kepala Negara atau Presiden Jokowi sendiri berposisi juga sebagai petugas partai PDI Perjuangan (versi Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri yang hingga saat ini tak pernah dibantah oleh Presiden Jokowi).
Citra penegak hukum
Namun, persepsi atau tafsir politik subyektif seperti dijelaskan di atas pulalah yang mengganggu citra penegak hukum di satu pihak dan cenderung selalu memosisikan pejabat yang tersangka korupsi ”hanya sebagai korban” atau pihak yang harus dikorbankan dalam pertempuran kepentingan politik demi membangun citra atau sebaliknya merusak citra.
Sementara lembaga atau aktor-aktor penegak hukum tetap saja terlabel sebagai ”masih tetap korup”, apalagi kalau pemosisian jabatan strategis di institusi penegak hukum tidak lepas dari kepentingan atau titipan pejabat politik di barisan penguasa. Dengan demikian, semakin masuk akal kalau aparat penegak hukum (termasuk dalam kasus Johnny Plate) dianggap ”bekerja berdasarkan pesan kepentingan pihak yang berkuasa”.
Maka, rasanya terlalu over-prejudice terhadap jajaran kejaksaan kalau mentersangkakan dan menahannya kali ini dianggap sebagai dampak dari persaingan politik.
Yang mau saya katakan di sini adalah bahwa persepsi subyektif di atas tidak boleh dianggap sebagai kebenaran.
Mengapa? Pertama, label negatif penegak hukum pada dasarnya sekaligus menafikan munculnya generasi baru yang profesional yang memiliki integritas di jajaran penegak hukum, khususnya kejaksaan.
Pada kasus Ferdy Sambo dan istrinya, misalnya, sangat nyata, para jaksa ataupun hakim yang bertugas tidak diragukan integritasnya kendati barangkali ada saja pihak yang berupaya menggoda mereka, termasuk melalui tawaran materi. Kita yakin, penegak hukum seperti itu tak sedikit jumlahnya di negeri ini.
Kedua, ketika mentersangkakan seseorang, harus memiliki data dan/atau bukti standar (minimal dua alat bukti) serta sudah melalui proses penyelidikan, penyidikan, dan gelar kasus. Bukan tiba-tiba seseorang dijadikan tersangka, apalagi konon dalam kasus Johnny Plate sejak 2020 sudah terindikasi koruptifnya. Maka, rasanya terlalu over-prejudice terhadap jajaran kejaksaan kalau menersangkakan dan menahannya kali ini dianggap sebagai dampak dari persaingan politik.
Laode Ida, Wakil Ketua DPD RI 2004-2014, Komisioner Ombudsman RI 2016-2021